Gagap Menghadapi Corona

Gagap Menghadapi Corona

KORANBERNAS, JOGJA Sinar matahari mulai lingsir dari kawasan kompleks Candi Prambanan ketika Koran Bernas hendak meliput prosesi atur piuning yang dilakukan Panitia Nyepi Nasional, Sabtu (14/3), di Candi Syiwa, candi terbesar di Prambanan. “Susah ya mas kalau berniat baik. Dikira cari panggung,” kata Nyoman Suartana, salah satu Koordinator Panitia Nasional Hari Suci Nyepi, membuka percakapan.

 

Pria paruh baya yang bekerja di Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta itu membela langkah cepat gubernurnya, Anies Baswedan, dalam mengatasi wabah Corona yang kini telah menjadi pandemi dunia itu. Nyoman mengaku cukup paham rumitnya penanganan wabah Corona dan tumpang tindih (overlapping) yang terjadi saat ini.

 

Menurut dokter yang tinggal di Kota Bekasi, Jawa Barat ini, Indonesia ‘tak siap’ menghadapi serangan wabah Corona. Ia menyontohkan kondisi Indonesia saat ini mirip dengan apa yang terjadi di Italia yang meremehkan dampak Corona di masa-masa awal.

“Saya sendiri tidak berharap kita seperti Italia. Tapi kita juga tidak ingin seperti di China atau Korea Utara yang penangannya seperti itu,” katanya.

Salah satu yang dikritik Nyoman Suartana adalah sikap pemerintah yang bersikeras pengujian sampel suspect Corona hanya dari satu pintu, yaitu Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes). “Kalau cuma satu, antriannya kan panjang. Ini yang disayangkan. Sekarang pemerintah daerah juga berlomba-lomba ingin mengumumkan adanya pasien Corona, tapi seperti ‘dilarang’ dan harus satu pintu,” tambah Nyoman.

 

Kritik Nyoman Suartana itu akhirnya memperoleh jawaban. Belakangan, pemerintah mulai membuka pintu bagi sejumlah lembaga penelitian daerah untuk ikut menguji sampel suspect Corona.

 

Komunikasi dan Jubir

Kritik tentang ketidaksiapan pemerintah pusat dalam hal penanganan wabah Corona juga dilontarkan mantan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, KRMT Roy Suryo Notodiprodjo. Mantan Menpora ini mengkritik tumpang tindihnya pengambil kebijakan dan siapa yang sebenarnya menjadi pemimpin gugus tugas penanganan Corona di Tanah Air. Roy menyontohkan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), penanganan wabah flu burung (H5N1) langsung berada di bawah kendali presiden.

“Saat itu pemerintah langsung membentuk gugus tugas yang dikepalai oleh orang yang selevel Menko, bukan seperti saat ini. Artinya apa? Ketika awal gejala ini, diawali dengan pemerintah mengevakuasi 238 pelajar (dari Wuhan), waktu itu tidak ada spoke person dari pemerintah yang bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat,” tutur Roy.

Apa yang dimaksud mantan legislator dari Yogyakarta itu adalah pernyataan publik yang buruk dan komunikasi tak sinkron dari para pembantu Jokowi dan juga Wakil Presiden akhirnya berujung petaka.

“Misalnya saja Menteri Kesehatan, dengan segala hormat saya kepada dr Terawan, itu penjelasannya dengan bahasa kedokteran. Dokter ya seperti itu, menenangkan, tidak boleh membuat takut atau membuat gelisah, tetapi bahasa yang digunakan bukan penjelasan kepada masyarakat,” ujarnya, Minggu (15/3) lalu.

Roy lantas menyontohkan ketika Terawan menantang University of Harvard di Amerika untuk membuktikan hasil penelitian mereka yang memprediksi virus Corona semestinya sudah masuk ke Tanah Air. Pernyataan pada 11 Februari lalu itu terkesan meremehkan dan menandakan Indonesia tak waspada akan bahaya Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

“Belum lagi ada yang, mohon maaf, bilang masyarakat Indonesia kebal Corona karena makan nasi kucing. Kemudian, Corona tidak akan masuk ke Indonesia karena sering baca doa qunut dan tahlil. Ada juga yang bilang Corona malas masuk Indonesia karena perizinan berbelit. Sikap seperti itu yang menandakan pemerintah seakan tak serius,” paparnya.

Roy juga mengkritik penunjukkan Achmad Yurianto selaku juru bicara pemerintah dalam Covid Center. Hal itu menandakan pemerintah hanya memandang wabah Corona sebagai musibah penyakit, dan belum melihat secara holistik dari sisi makro lainnya seperti sosial dan ekonomi.

“Jadi cikal bakalnya karena penunjukkan spoke person dari pemerintah itu melihat Corona ini hanya di level medik, jadi tidak level ketika dia hendak mengomentari misalnya Gubernur DKI kasih statemen, Gubernur Jabar memberi statemen, bahkan Walikota Solo pun dia (Achmad Yurianto) tidak level karena dia dulunya hanya Dirjen,” ungkap Roy.

Fasilitas minim

Kebingungan di masyarakat juga bertambah soal gugus tugas (task force) penanganan Corona. Awalnya, Presiden Jokowi mengungkapkan langsung bahwa sedari awal dirinya yang memimpin gugus tugas. Namun pada 15 Maret 2020, Ketua Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) Letjen TNI Doni Monardo ditunjuk sebagai Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19.

Nah yang jadi pertanyaan saya adalah, sebelum Pak Doni (dilantik), juru bicara presiden ini pada ke mana? Kan banyak to, beliau punya juru bicara, staf khusus dan ada juga KSP, tapi komunikasi ke publik nggak jelas,” kata Roy.

Kegagapan pemerintah yang terkesan menutupi ataupun mengalihkan isu Corona di Indonesia juga tak luput dari kritikan. Roy kerap melayangkan kritik menohok lewat twitter tentang kebijakan pemerintah memberikan insentif senilai Rp 72 miliar untuk mendongkrak sektor perekonomian dan pariwisata yang terguncang akibat Corona.

“Di sisi lain, dengan segala hormat saya, Gubernur DKI melakukan langkah yang lebih tertata. Dia malah telah menunjukkan peta penyebaran. Walikota Solo juga langkahnya saya rasa bagus sekali,” ujarnya.

Mantan anggota Komisi I dan VI DPR RI itu juga mengkhawatirkan kegagapan pemerintah dari sisi fasilitas kesehatan dan tim medis penanganan Corona. Indonesia pun sempat menolak bantuan alat penguji (test kit) Corona dari Temasek Foundation Singapore yang menawarkan bantuan VereCov Detection Kit yang mampu mendeteksi virus Corona hanya dalam tempo 2,5 jam saja.

“Kita tahu kapasitas RSPI Sulianti Saroso berapa sih? Cuma 13 tempat tidur untuk menangani Corona.  Terus, berapa yang ada di RS Persahabatan? Lha kalau Menkes pernah menyatakan Puskesmas juga akan disiapkan untuk penanganan  Corona, Anda bayangkan sendiri bagaimana fasilitas di Puskesmas di Indonesia,” katanya.

Keseriusan penanganan Corona juga dipersoalkan oleh Kepala Hukum dan Humas RSUP Prof Dr Sardjito Yogyakarta, Banu Hermawan. Menurutnya, salah satu yang membuat rumit penanganan Corona di Tanah Air adalah pemeriksaan lab yang harus diuji di Balitbangkes Jakarta. Namun Banu mengapresiasi langkah Kemenkes yang mengoperasikan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) yang berjumlah 10 balai di Tanah Air.

“Ya kalau ada itu semakin cepat pemeriksaan, tidak perlu menunggu tiga hari seperti saat ini. Pasien kalau sudah negatif bisa langsung pulang dan tempat tidur bisa digunakan untuk pasien lainnya,” papar Banu.

 

BBTKLPP di DIY yang terletak di Jalan Wonosari ketika berita ini ditulis akan mulai dioperasikan untuk dapat menguji sampel pasien suspect Corona. Meski demikian Banu berharap, sejak awal pemerintah seharusnya memproduksi test kit Corona dalam jumlah besar seperti yang dilakukan Korea Selatan.

“Kami inginnya seperti itu, tapi kami berharap dengan adanya BBTKLPP ya lebih mudah,” jelasnya.

Tak hanya soal fasilitas kesehatan, pemerintah juga dinilai gagap soal pencegahan berkelanjutan dari penyebaran Corona. Yogi Zul Fadhli, Direktur LBH Yogyakarta yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil menyebutkan, seharusnya ketika wabah itu terdeteksi dengan adanya kasus nomor 01, 02 dan 03, pemerintah pusat langsung melakukan tracing (pelacakan) dengan siapa dan di mana saja suspect berinteraksi.

“Namun ini tidak dilakukan. Dan yang melakukan malah Pemprov DKI Jakarata. Sedangkan saat Anies Baswedan mengumumkan tracing itu, pemerintah pusat tidak merespons dengan cepat,” ujar Yogi.

Kesan ketidakterbukaan informasi kepada publik tentang penanganan Coron memang terasa kentara. Yogi menilai, kebijakan pemerintah yang tak ingin membuat kepanikan yang berimbas pada macetnya roda perekonomian, merupakan langkah blunder.

Dirinya menyontohkan langkah Pemda DIY yang terkesan lambat dalam memberikan informasi ke publik, seperti jumlah Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), maupun suspect yang akhirnya positif COVID-19.

“Seharusnya informasi itu dibuka seluas-luasnya secara transparan, akuntabel dan kredibel. Pemerintah DIY juga jauh tertinggal dibanding sejumlah daerah seperti Jakarta dan Jawa Barat yang secara real time menyajikan data dan peta prsebaran Covid-19 yang bisa diupdate publik,” ulasnya. (ros)