Warga Dua Kalurahan Menolak Tambang Pasir
KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Warga di dua kalurahan, yakni Srigading Kapanewon Sanden dan Tirtohargo Kapanewon Kretek, melakukan aksi demo di lokasi hutan mangrove Baros, Minggu (18/4/2021). Warga tersebut merupakan gabungan dari Dusun Baros, KP2B, Warga Dusun Muneng, petani lahan Sultan Ground, nelayan, Pokdarwis, peternak dan unsur lainya.
Mereka memasang beberapa spanduk penolakan tambang pasir di bantaran hingga muara Opak perbatasan dua kalurahan. Juga di jalan kampung menuju lokasi. Pendemo juga membawa poster senada saat melakukan aksi dengan koordinator lapangan Setiyo.
Dalam orasinya Setiyo mengatakan, adanya penambangan di bantaran Sungai Opak hingga Muara Opak dan sekitarnya telah banyak menimbulkan polemik di tengah warga.
“Diantaranya terganggunya aksebilitas nelayan serta petani. Juga rusaknya lingkungan karena kurangnya kesadaran dalam mitigasi bencana secara bersama,” katanya.
Selain itu adanya abrasi air laut menyebabkan sekitar 10 hektar lahan SG yang digarap petani hilang. Belum lagi dampak lainya.
Untuk itulah warga memberikan pernyataan sikap. Pertama, menolak penambangan pasir di muara Sungai Opak dan sekitarnya. Jarak 1-3 kilometer harus bersih dari aktivitas tambang sebagai upaya konservasi dan pelestarian.
Kedua, melarang penggunaan mesin perahu tempel untuk penambangan pasir pantai maupun alat lainnya di muara Opak serta menutup jalur angkutan truk wilayah penambangan.
Ketiga, adanya monitoring dan koordinasi unsur dinas terkait yang bertanggung jawab dengan masyarakat lokal sebagai bentuk monitoring dan pelestarian ekosistem sehingga tidak terkesan lepas tanggung jawab.
Keempat, segala bentuk penegakan hukum diserahkan kepada yang berwajib untuk menyelesaikan dengan jelas dan transparan. Kelima, membuat rencana tindak lanjut yang kongkrit dan teradvokasi kepada seluruh komponen masyarakat sekitar.
“Warga sendiri sudah beberapa kali memberikan peringatan namun tidak digubris dan disepelekan. Hingga saat ini aktivitas tambang pasir masih berjalan,” katanya.
Dalam sehari puluhan perahu wira wiri mengangkut pasir ke darat, untuk kemudian diangkut menggunakan truk. Adapun bentangan yang ditambang mencapai 500 meter dan itu bisa dihabiskan dalam kurun seminggu.
Lurah Srigading, Prabawa Suganda, yang hadir di lokasi mengatakan kawasan mangrove sudah dikembangkan sejak 15 tahun oleh masyarakat dan dinas terkait sebagai upaya mitigasi bencana.
“Dengan adanya penambangan pasir, tentu akan berdampak pada ekosistem. Ada kekhawatiran masyarakat Tirtohargo dan Srigading jika (penambangan) ini akan merusak lingkungan ke depanya,” katanya.
Sesuai dengan undang-undang, penegakan terhadap penambang pasir ini harus dilakukan aparat kepolisian, bukan lagi Satpol PP. “Tentu kita akan ikut back up. Kita pantau agar tidak ada kerusakan sumber daya alam di wilayah ini,” katanya.
Senada dikatakan Lurah Tirtohargo, Sugiyatmo, yang menyatakan tambang pasir tersebut memberi dampak merugikan bagi masyarakat.
Harus dihentikan
Sementara itu anggota DPRD Bantul, Pambudi Mulyo, yang hadir menemui pendemo mengatakan penambangan pasir harus dihentikan. “Penambangan tanpa ijin, ilegal, ini harus dihentikan,” katanya.
Politisi PDIP tersebut pernah menemui para penambang dan mendapat jawaban jika mereka menambang karena kebutuhan makan atau kebutuhan perut.
“Maka agar menjadi solusi bagi semua pihak, penambangan ilegal tanpa ijin ini harus stop. Dan jika ada yang ingin menambang, harus mengurus ijin ke provinsi,” katanya.
Saat mengajukan ijin, tentu nanti akan dilihat segala persyaratan, termasuk jarak berapa yang boleh ditambang agar tidak merusak lingkungan.
“Misalnya, berapa jarak aman yang boleh ditambang dari titik jembatan atau jalan. Sehingga tidak ada dampak seperti ke JJLS. Ini harus dipertimbangkan,” katanya.
Sebab, jika tidak memperhatikan aspek keamanan, misal ada air laut rob, tentu akan merusak jalan yang baru dibangun tersebut. (*)