Upaya Pencegahan Politik Uang pada Pemilu pada Masa Pandemi

Upaya Pencegahan Politik Uang pada Pemilu pada Masa Pandemi

PEMERINTAH, DPR, dan lembaga penyelenggara pemungutan suara menyepakati Pilkada serentak 2020 yang sebelumnya akan digelar pada 23 September, diubah menjadi 9 Desember mendatang. Kesepakatan itu didasarkan pada penjelasan KPU, kebijakan dan pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah saat pandemi virus corona, sekaligus saran serta dukungan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Pemungutan suara pilkada serentak dilakukan untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota di sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Ratna Dewi Pettalolo mengimbau masyarakat untuk lebih waspada terhadap praktik politik uang menjelang Pilkada 2020. Di tengah melemahnya kondisi ekonomi Indonesia akibat pandemi Covid-19, politik uang menjadi praktik yang lebih rawan terjadi. "Di masa pandemi ini, ada kekhawatiran kami, politik uang akan semakin meningkat," kata Ratna melalui keterangan tertulis, Jumat (15/5/2020). "Dalam kondisi ini masyarakat memerlukan bantuan sehingga ada kekuatan baru untuk memberikan uang atau memberikan barang tapi sebagai kepentingan politik," tuturnya. 

Politik uang (money politic) di setiap ajang pilkada tidak bisa dipungkiri nyata adanya. Selama ini, angka politik uang yang dicatat Bawaslu sudah cukup tinggi. Apalagi pilkada serentak tahun ini digelar di tengah suasana pandemi Covid-19. Kondisi semakin diperparah dengan sulitnya ekonomi akibat pandemi virus corona. Selama pandemi terjadi, tercatat lebih dari 3,7 juta buruh di Indonesia terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Akibatnya, banyak masyarakat mengeluh kekurangan. Di satu sisi, kesempatan itu digunakan calon petahana untuk turun langsung menyalurkan bantuan ke masyarakat. Bertemunya dua kepentingan antara bakal calon dan penerima dikhawatirkan akan meningkatkan angka politik uang.

Pilkada atau pemilihan kepala daerah adalah suatu agenda demokrasi yang harus dilaksanakan untuk melakukan transformasi kepemimpinan bagi suatu daerah. Setiap peserta pilkada yang maju tentu akan menggunakan berbagai cara, baik itu cara konstitusional maupun inkonstitusional. Salah satu praktik inkonstitusional yang sering dilakukan peserta pilkada adalah politik uang. Dampak nyata dari pilkada yang dimasuki oleh praktik politik uang dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin kepala daerah yang dipilih masyarakatnya bukan berdasarkan kriteria yang semestinya. Namun, pemimpin yang dipilih tersebut hasil pemikiran subjektif masyarakat karena pengaruh pemberian atau dijanjikan oleh calon kepala daerah tersebut. Masyarakat tidak tahu bahwa barter politik uang dengan suara akan menghasilkan pemimpin yang tidak berkualitas. Pemimpin yang lahir dari hasil yang tidak benar cenderung melakukan praktik kepemimpinan dalam masa jabatannya dengan tidak benar juga.

Nah, pertanyaannya bagaimana upaya mencegah agar politik uang tidak terjadi dalam suatu proses pilkada suatu daerah? Pertama, pendidikan politik kepada masyarakat. Pendidikan ini dapat dilakukan oleh siapapun baik dari penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu dan DKPP, atau lembaga non pemerintah yang peduli terhadap jalannya demokrasi seperti LSM atau bahkan partai politik dan tokoh masyarakat. Masyarakat harus tahu bagaimana dampak politik uang baik dampak hukum yang menjerat bagi penerima dan pemberi maupun dampak jangka panjang bagi daerah yang ditinggalinya. Masyarakat juga harus diedukasi untuk menolak politik uang dan berani melaporkan pelaku yang melakukan praktik politik uang. Jika masyarakat mampu berparatisipasi dalam hal pengawasan saat pilakada dan telah memiliki pengetahuan yang baik mengenai bagaimana bahayanya politik uang dalam demokrasi maka praktik politik uang akan mudah untuk ditekan.

Kedua, menggencarkan sosialisasi politik. Pendidikan dan sosialisasi politik adalah dua jurus yang diharapkan mampu menjadi senjata dalam memberantas budaya politik uang. Sosialisasi politik pada masa pandemi dapat dilakukan dengan pemanfaatan teknologi informasi sebagai solusi sosialisasi masif di media sosial tanpa harus mengumpulkan massa. Sosialisasi yang dilakukan lebih terkhusus pada penyuluhun tentang sistem, budaya dan segala hal yang menyangkut politik. Diharapkan nantinya sosialisasi politik dapat menjadi magnet untuk mengubah budaya politik uang di negara ini.

Ketiga, meningkatkan peran pengawas pemilu. Peningkatan peran pengawas pemilu dilakukan dengan pengkajian kebijakan pemerintah di bidang pengawasan pemilu, penyampaian laporan pelaksanaan pengawasan, serta pembinaan kepada pengawas. Seorang pengawas pemilu hendaknya mengerti bahwa dirinya sebagai seorang pengawas pemilu yang melakukan tugas-tugas pokok dan fungsi pengawasan. Sosok pengawas pemilu diambil dari orang yang kuat akan motivasi, kuat etos kerja, dan berprinsip berani karena benar. Pengawas pemilu juga harus memiliki jiwa yang tegas, tanggap, trengginas dan personal yang petarung. Selain itu, pengawas pemilu haruslah personal yang tidak pandang bulu ketika menangani perkara serta harus bisa menyampingkan risiko-risiko yang ditakuti pihak lain.

Keempat, membentuk desa antipolitik uang. Menurut Ratna, praktik politik uang menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi seluruh elemen, baik masyarakat atau penyelenggara pilkada. Namun, ia mengaku bahwa Bawaslu akan terus melakukan tindakan pencegahan. "Sebagai bagian penting untuk mencegah terjadinya politik uang, kami sudah meluncurkan beberapa desa antipolitik uang.”  Tujuan adanya desa antipolitik uang ini adalah untuk menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif serta terciptanya pemilu yang adil, bersih, dan berintegritas. Hal ini juga dilakukan agar budaya antipolitik uang bisa menular ke desa-desa lainnya.

Kelima, penegakan hukum terhadap pelaku politik uang. Berkenaan dengan praktik politik uang yang dirumuskan sebagai delik pidana dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2016, maka logika hukumnya terhadap pelaku haruslah diproses sesuai sistem hukum yang berlaku, yakni diproses berdasarkan proses peradilan pidana. Dengan kata lain, aparat penegak hukum harus menindaklanjuti dan melakukan penegakan hukum terhadap setiap temuan praktik politik uang dalam pelaksanaan pemilu, khususnya dalam pemilukada. Hukum merupakan pedoman dan dasar yang dipegang suatu negara dalam menjalankan suatu pemerintahan. Jika hukum bisa dipermainkan dan dibuat goyah dengan suatu alasan, maka pelaku politik uang tidak akan ada yang jera dan angka kejahatan akan terus meningkat.

Praktik politik uang adalah kejahatan yang luar biasa. Politik uang akan menghasilkan pemimpin yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan hanya berorientasi kepada kepentingan pribadi. Pemimpin berkualitas hanya bisa dilahirkan dari hasil demokrasi yang berkualitas termasuk demokrasi tanpa politik uang. Jika semua elemen masyarakat dan pemerintah mau bekerja sama melaksanakan upaya pencegahan, diharapkan pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020 dapat melahirkan pemimpin berkualitas. *

Nurmalita Sari Rahma Putri

Mahasiswi Kebidanan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta