Uang Denda Telat Bayar BPJS Kesehatan untuk Bayar Bunga Bank

Uang Denda Telat Bayar BPJS Kesehatan untuk Bayar Bunga Bank

KORANBERNAS.ID – Masyarakat pengguna jasa layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang terlambat alias telat bayar iuran dikenai denda. Uang yang terkumpul kemudian digunakan untuk membayar bunga bank.

“Kita bekerja sama dengan bank memberikan dana talangan ke rumah sakit. Secara teori yang bayar bunga bank adalah BPJS,” ungkap Deded Chandra, Asisten Deputi BPJS Kesehatan Pusat, Senin (16/12/2019) di DPRD DIY.

DPRD DIY melalui Panitia Khusus (Pansus) Pengawasan Kebijakan Kesehatan di DIY sengaja mengundang Deded dan Mega Yuda Ratna selaku Deputi Direksi BPJS Kesehatan Pusat menjadi narasumber rapat dengar pendapat (RDP).

Ini dimaksudkan supaya masalah-masalah tunggakan BPJS Kesehatan yang membuat rumah sakit-rumah sakit di provinsi ini kalang kabut, dapat segera teratasi.

Menurut Deded, dana talangan merupakan solusi tepat saat ini supaya tidak mengganggu likuiditas keuangan rumah sakit.

Persoalan yang terjadi di BPJS Kesehatan, tidak ada regulasi yang mengatur pembayaran bunga bank. Demikian pula di dalam PP Nomor 53 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 87 Tahun 2103 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Nasional, aturan tersebut sama sekali tidak tercantum. “Tidak ada kalimat bayar bunga bank,” ungkap Deded.

Berbeda dengan persoalan di daerah. Deden kemudian mencontohkan di Provinsi Jawa Timur (Jatim) masih ada RSUD tidak bisa pinjam uang ke bank karena tidak ada regulasinya berupa peraturan bupati (perbup) maupun peraturan gubernur (pergub).

Dia mengapresiasi langkah DKI Jakarta dan Jawa Barat yang menerbitkan pergub. “Kita belajar ke Pemda DKI Jakarta dan Jawa Barat yang menerbitkan pergub,” tambahnya.

BPJS Kesehatan sama sekali tidak bermaksud memberatkan rumah sakit berutang ke bank. Bahkan dia meyakinkan rumah sakit tidak perlu khawatir.

“Rumah sakit tetap terima pembayaran sesuai jatuh tempo dari bank. Bukan dari BPJS. Program ini sudah didiskusikan dengan OJK dan Kementerian Keuangan. Kami akan membantu rumah sakit yang kesulitan pinjam bank,” kata dia.

Deded mengakui BPJS Kesehatan  pernah terlambat bayar klaim rumah sakit selama 90 hari. Prinsipnya tidak ada satu rupiah pun yang ditahan. “Tidak ada yang kita tahan sepeser pun,” tegasnya.

Apalagi Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan maupun Dewan Jaminan Sosial terus melakukan pemantauan.

Defisit Rp 30 triliun

Dalam forum kali ini terungkap sampai akhir tahun 2019, BPJS Kesehatan masih memiliki utang sebesar Rp 15 triliun. Meski sudah menaikkan iuran namun defisit yang diproyeksikan sebesar Rp 30 triliun belum bisa ditutup.

Berdasarkan hitung-hitungan, setiap bulan BPJS Kesehatan berhasil mengumpulkan iuran sebesar Rp 7 triliun, sebagian dibayar oleh pemerintah.

Sedangkan pengeluaran setiap bulan Rp 9 triliun untuk membayar klaim rumah sakit, puskesmas maupun fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).

BPJS Kesehatan tetap akan membayar klaim rumah sakit. “Bukan tidak dibayar tetapi terlambat,” ujarnya di hadapan anggota pansus maupun jajaran kepala Dinas Kesehatan se-DIY.

Dari pertemuan tersebut, Muhammad Yazid selaku pimpinan pansus menyampaikan miskomunikasi yang terjadi selama ini perlu diselesaikan melalui pertemuan secara periodik.

Begitu tugas pansus selesai maka komunikasi bisa dijalin dengan Komisi D. “Fakta, di lapangan banyak masalah. Pansus akan memberikan rekomendasi ke eksekutif. Yang sangat mendesak adalah rujukan berjenjang,” ujarnya.

Meski sistem rujukan sifatnya saklek hitam putih namun masih ada kompromi maupun peluang penerapan kearifan lokal. “Ini mungkin jadi rekomendasi kami pula,” kata dia.

DPRD DIY juga merasa prihatin data yang yang dipegang Dinas Sosial DIY kurang valid. “Salah satu rekomendasi kami adalah validasi data ini sangat penting,” tegasnya.

Kepala Dinas Kesehatan DIY  Pembayun Setyaning Astutie menyatakan prinsipnya rumah sakit siap memberikan layanan berdasarkan sistem rujukan. Pihaknya juga siap memperbaiki sistem rujukan. (sol)