Tolak Kenaikan Cukai, Petani Tembakau Kirim Lukisan ke Jokowi

Tolak Kenaikan Cukai, Petani Tembakau Kirim Lukisan ke Jokowi

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Isu kenaikan cukai tembakau pada 2022 terus bergulir. Buruh linting, paguyuban pekerja dan industri rokok pun terus menyuarakan penolakan rencana tersebut dalam banyak diskusi.

Adalah MN Wibowo, petani tembakau sekaligus perupa, memiliki cara lain dalam menyikapi wacana tersebut. Alih-alih berunjukrasa, Wibowo memilih protes kenaikan cukai tembakau melalui karya seni.

Dalam diskusi "Penghancuran Industri Hasil Tembakau di Balik Regulasi Cukai Hasil Tembakau Indonesia" di Ingkung Grobog Yogyakarta, Senin (04/10/2021), Wibowo melakukan aksi Melukis on The Spot. Tema yang dipilih jelas terkait isu pertembakauan dan kenaikan cukai yang merugikan petani, buruh dan industri rokok Indonesia.

Di kanvas berukuran 2 x 1,5 meter Wibowo menggambarkan kehidupan petani dan buruh linting rokok. Sebagai garda terdepan industri rokok, mereka dibelenggu rantai dan tak bisa berbuat apa-apa.

"Pesan dari lukisan ini tentang kehidupan petani dan buruh linting rokok yang terbelenggu aturan dan persaingan industri rokok," jelasnya.

Wibowo memilih mengirim lukisan tersebut kepada Presiden Jokowi, bukan tanpa sebab. Lukisan yang menggambarkan kritik tersebut disampaikannya karena presidenlah yang memiliki wewenang akan nasib industri rokok di Indonesia.

Dia ingin presiden memperhatikan nasib petani, buruh dan industri rokok di tengah persaingan global. Perhatian ini sangat penting karena Indonesia tidak hanya memiliki sumber daya manusia (SDM) namun juga lahan dan alat produksi.

"Banyak bangsa besar tidak punya pertanian, tapi kita punya. Kami hanya ingin mendapatkan kesempatan untuk memproduksi rokok sebagai bentuk kecintaan pada bangsa," tandasnya.

Sementara Dosen Prodi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Gugun El Guyanie, mengungkapkan RUU Pertembakauan mendesak disahkan. Sebab selama sepuluh tahun terakhir tak ada gerakan sama sekali.

"Pengesahan RUU Pertembakauan ini akan menjadi payung hukum bagi industri rokok," ujarnya.

Adanya regulasi yang jelas dari pengampu kebijakan, maka harmonisasi soal cukai, tata niaga, tenaga kerja, kesejateraan petani dan lainnya bisa terwujud. Dengan demikian tidak ada wacana kenaikan cukai yang merugikan industri rokok.

"Sekarang ini setiap ada wacana kenaikan cukai, ada saja yang menolak karena desain kenaikan cukai setiap tahun itu sangat bertentangan dengan kondisi sosialogis kita. Kenaikan cukai tidak hanya untuk menaikkan penerimaan negara, tetapi karena ada intervensi asing," paparnya.

Gugun menambahkan, bila negara mengambil penerimaan cukai yang tinggi sebenarnya bisa saja didukung. Namun kebijakan tersebut harus selaras dan tidak merugikan rakyat.

Sebab, bila kenaikan cukai terus dilakukan, maka industri rokok akan dirugikan. Bahkan perusahaan rokok akan semakin gulung tikar. Contohnya pada 2017 ada 700-an pabrik rokok di Indonesia, namun saat ini tinggal 400-an pabrik rokok.

"Dari jumlah itu, hanya di bawah 100 perusahaan yang rutin produksi bersama. Ini fakta penurunan jumlah industri. Politik hukum di bidang pertembakauan ini sangat rumit, paling rumit," ungkapnya. (*)