Teruslah Berlayar Mengarungi Samudera Kontestasi

Langkah Jimly dalam mengambil keputusan di MKMK, sebuah terobosan penting untuk menyelamatkan agenda besar nasional bangsa Indonesia, yakni Pemilu 2024 berjalan sesuai tahapan yang sudah dirancang. Terobosan itu adalah, MKMK tidak sepenuhnya patuh pada Peraturan MK No. 1 Tahun 2023, khususnya pasal yang mengatur tentang sanksi. Pasal 41 Peraturan MK itu menyebutkan ada tiga tingkatan sanksi, teguran lisan, teguran tertulis dan pemberhentian tidak dengan hormat. Bila MKMK patuh sepenuhnya pada aturan, tentu sanksi untuk Anwar Usman adalah “pemberhentian tidak dengan hormat”. Ini sebagaimana yang diungkapkan oleh anggota MKMK Bintan R Saragih melalui dissenting opinion (pendapat berbeda), bahwa Peraturan MK hanya mengenal tiga tingkatan sanksi itu. Sementara, putusan yang diambil MKMK adalah memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK dan ia masih tetap berstatus sebagai hakim MK dengan berbagai ketentuan tambahan larangan.

Teruslah Berlayar Mengarungi Samudera Kontestasi

PUPUS sudah, harapan sebagian orang yang menginginkan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden diganti. Tak ada lagi celah untuk mewujudkan keinginan itu. Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie, dalam sidang putusan Selasa sore (7/11/2023) menegaskan, materi putusan MK yang mengubah UU dan memungkinkan orang berusia di bawah 40 tahun mengikuti kontestasi Pilpres 2024, bisa saja diperbaiki. Upaya ke arah itu terbuka dengan melakukan uji materi UU yang sama dengan dalil baru. Keputusan MK terhadap uji materi itu, bisa saja berbeda dengan apa yang sudah diputuskan MK di bawah pimpinan Anwar Usman. Hanya saja, itu baru akan digunakan untuk Pemilu 2029. Tak bisa digunakan untuk Pilpres 2024.

Langkah Jimly dalam mengambil keputusan di MKMK, sebuah terobosan penting untuk menyelamatkan agenda besar nasional bangsa Indonesia, yakni Pemilu 2024 berjalan sesuai tahapan yang sudah dirancang. Terobosan itu adalah, MKMK tidak sepenuhnya patuh pada Peraturan MK No. 1 Tahun 2023, khususnya pasal yang mengatur tentang sanksi. Pasal 41 Peraturan MK itu menyebutkan ada tiga tingkatan sanksi, teguran lisan, teguran tertulis dan pemberhentian tidak dengan hormat. Bila MKMK patuh sepenuhnya pada aturan, tentu sanksi untuk Anwar Usman adalah “pemberhentian tidak dengan hormat”. Ini sebagaimana yang diungkapkan oleh anggota MKMK Bintan R Saragih melalui dissenting opinion (pendapat berbeda), bahwa Peraturan MK hanya mengenal tiga tingkatan sanksi itu. Sementara, putusan yang diambil MKMK adalah memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK dan ia masih tetap berstatus sebagai hakim MK dengan berbagai ketentuan tambahan larangan.

Bila mengikuti pendapat Bintan R Saragih, MKMK memang sepenuhnya patuh pada Peraturan MK No. 1 Tahun 2023. Namun, buntutnya akan panjang, karena Anwar Usman wajib diberi kesempatan membela diri melalui Majelis Kehormatan Banding. Padahal, MK belum membuat peraturan tentang Majelis Kehormatan Banding. Kalau alur ini diikuti, putusan MKMK Selasa (7/11/2023) belum final. Belum ada kepastian hukum.

Langkah Jimly dan Wahiduddin Adams dengan memberikan sanksi Hakim Terlapor (Anwar Usman) diberhentikan hanya sebagai Ketua MK, menyebabkan Anwar Usman tak bisa mengajukan banding. Memang, putusan MKMK tak sesuai aturan yang berlaku, tetapi langkah terobosan hukum Jimly dan Adams, membuat putusan MKMK final dan harus ditaati MK. Persoalan selesai sampai di sini dalam konteks pelanggaran etika seluruh hakim Mahkamah Konstitusi. Hari-hari selanjutnya, tahapan Pemilu 2024 akan berjalan sesuai rencana.

Ruang bagi berubahnya putusan MK masih terbuka lebar. Uji materi terhadap UU yang sama, tetapi dengan dalil baru dibolehkan. Dan bisa saja putusan MK yang baru menganulir keputusan MK yang lama.

Jimly membuat perumpamaan. Pertandingan bola sudah mulai berlangsung, tiba-tiba FIFA mengumumkan aturan baru, orang dengan tinggi di atas 170 dan kurang dari 150 tidak boleh bermain bola. Padahal di lapangan ada pemain dengan tinggi 180 dan 140 cm. Maka, aturan FIFA tak bisa serta merta berlaku. Mereka yang ada di lapangan tetap meneruskan pertandingan sampai selesai.

Apakah putusan MKMK serta merta mengakhiri polemik dalam masyarakat? Apakah semua orang mau menerima putusan ini dengan lapang dada? Belum tentu!

Ada sejumlah fakta sosial yang harus diakui. Sejumlah pendukung Jokowi, yang tergabung dalam Projo, kecewa dan melepas baju Projo kemudian memilih mendukung pasangan Ganjar – Mahfud. PDI Perjuangan, diakui atau tidak menjadi pihak yang sangat tersakiti karena tiga kadernya dalam satu keluarga, tak patuh putusan partai dan memilih membangkang dengan mengambil jalan politik lain. Mereka adalah Presiden Joko Widodo, Walikota Surakarta Gibran Rakabuming Raka dan Walikota Medan Bobby Nasution. Ketiganya, mendapatkan jabatan politik melalui kendaraan PDI Perjuangan.

Masygul, kecewa, sakit hati, memendam amarah boleh jadi hari-hari ini menjangkiti kalangan PDI Perjuangan dari tingkat elite sampai akar rumput. Harapan agar seluruh kader PDI Perjuangan solid menuju pesta demokrasi 2024, ternyata tidak mewujud. Sejumlah kader potensial, mulai mengambil langkah berbeda dengan arah kebijakan PDI Perjuangan. Ada akibat, tentu bermula dari sebab.

Bila rasa masygul terus berkepanjangan, tentu akan menghabiskan energi yang semestinya dapat digunakan untuk mendayung perahu mengarungi samudera kontestasi demokrasi. Menghilangkan rasa itu seratus persen, mungkin mustahil, tetapi melangkah mewujudkan keinginan ada pilihan yang tersedia. Semua mengandung konsekuensi. **