Terungkap, Ini Pemicu Kenaikan Harga Kedelai yang Membuat Pengusaha Tempe Menjerit

Terungkap, Ini Pemicu Kenaikan Harga Kedelai yang Membuat Pengusaha Tempe Menjerit

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Harga kedelai sebagai bahan baku utama pembuatan tempe dan tahu sejak beberapa pekan terakhir mengalami kenaikan. Hingga berita ini diturunkan, Jumat (18/2/2022), harga kedelai impor di angka Rp 11.000 per kilogramnya.

Kondisi ini tentu membuat para perajin tempe dan tahu di Kabupaten Bantul mengeluh. Pasalnya tingginya bahan baku membuat mereka harus memutar otak agar produksi tetap berjalan dan usaha mereka tetap bisa bertahan.

Budi Setiawan Laksono (35 tahun) pedagang tempe asal Kalurahan Guwosari, Pajangan mengatakan, kondisi yang ada membuat mereka pusing dan harus mencari cara agar tetap eksis berjualan.
"Kami rasanya menjerit dengan kenaikan harga kedelai yang terus merangkak setiap saat. Kini sudah Rp 11.000," kata Budi kepada koranbernas.id ketika ditemui di tempat usahanya.

Bukan hanya pedagang saja yang terdampak, namun pembeli juga khawatir jika harga tempe ikut melonjak.

"Kalau harga naik saya khawatir yang beli juga menurun. Maka solusinya untuk ukuran tempe sedikit kita kecilkan dari biasanya dengan harga yang tetap. Karena kalau harga dinaikan pasti penjualan sepi," kata Budi.

Belum lagi ketika ada bantuan sosial lewat Program Keluarga Harapan (PKH) yang berwujud sembako dan lauk pauk, otomatis penjualan tempe juga terdampak.

"Kalau ditambah harga tempenya dinaikan, apa nggak semakin drop kita?" keluhnya.

Perhatian pemerintah

Untuk itu dirinya berharap ada perhatian khusus dari pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat terkait pengendalian harga kedelai. Ia berharap Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Kopti) agar ikut berperan dan memastikan pasokan kedelai bisa lancar
di Bantul.

Terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY), Widarta MM mengatakan, kenaikan harga kedelai impor yang menjadi bahan baku utama tempe dan tahu dipicu karena berbagai sebab.

Salah satunya berdasarkan informasi dari Direktur Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, bahwa produksi kedelai dunia mengalami gangguan sehingga terjadi penurunan produksi.

"Misalnya negara Brasil sebagai pengimpor kedelai di Indonesia mengalami penurunan produksi dari 140 juta ton menjadi 125 juta ton. Belum negara pengimpor lain seperti Amerika dan Argentina," katanya.

Maka solusi yang bisa dilakukan adalah perlunya campur tangan pemerintah dalam tata niaga kedelai agar harga bisa stabil. Perlu juga didorong kemandirian atau swasembada kedelai seperti yang terjadi tahun 1992 agar tidak ada ketergantungan pada kedelai impor.

"Untuk bisa mencapai swasembada tentu pemerintah harus memberikan perhatian dan kebijakan khusus kepada petani kedelai kita. Sehingga mereka juga bersemangat untuk menanam,"katanya. Juga ada program perluasan lahan sehingga produksi kedelai lokal naik dan bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri. "Kenapa kita impor? Ya karena produksi kedelai kita tidak mencukupi. Padahal minat masyarakat terhadap olahan kedelai seperti tempe dan
tahu terus mengalami kenaikan. Untuk itu harus ada langkah konkrit mengatasi hal ini, agar ke depan kita bisa mandiri kedelai," katanya. (*)