Terjadi 20 Kasus Leptospirosis di Sleman, Tiga Orang Meninggal

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri leptospira yang terkandung dalam urine hewan utamanya tikus.

Terjadi 20 Kasus Leptospirosis di Sleman, Tiga Orang Meninggal
Petugas sedang meneliti seekor tikus terkait leptospirosis. (istimewa)

KORANBERNAS.ID, SLEMAN -- Sampai pekan ke-22 (Mei 2024), di Kabupaten Sleman telah terjadi kasus Leptospirosis sebanyak 20 kasus dengan suspek sebanyak 21. Tiga orang meninggal akibat penyakit itu.

Kepala Bidang Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, dr Khamidah Yuliati, menyampaikan kasus tersebut tersebut rata-rata ditemukan di Kapanewon Moyudan, Kapanewon Seyegan, Kapanewon Cangkringan dan Kapanewon Prambanan.

"Masing-masing kapanewon terdapat tiga kasus leptospirosis. Adapun total kasus kematian sebanyak tiga kasus, dan terjadi di wilayah Kapanewon Gamping, Kapanewon Berbah dan Kapanewon Prambanan," ujarnya, Rabu (12/6/2024).

Yuliati menjelaskan leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang menyerang manusia dan hewan. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri leptospira yang terkandung dalam urine hewan utamanya tikus. Bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit (yang terdapat luka) atau selaput lendir.

Kemudian bakteri tersebut memasuki aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Pada jenis yang ringan, leptospirosis dapat muncul seperti influenza dengan sakit kepala dan myalgia atau nyeri otot.

Masa inkubasi

Yuliati mengatakan masa inkubasi dari leptospirosis sekitar 7 sampai 13 hari dengan rerata 10 hari. Leptospirosis mempunyai dua fase penyakit khas yaitu fase leptospiremia dan fase imun.

“Gejala awal fase leptospiremia secara umum berupa sakit kepala, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pinggang. Fase ini berlangsung sekitar 4 sampai 7 hari,” jelasnya.

Sedangkan fase imun ditandai demam yang mencapai suhu 40°C disertai menggigil dan kelemahan umum. Lebih lanjut, pada fase ini juga dapat terjadi perdarahan, gejala kerusakan ginjal dan hati, serta uremia dan ikterik.

Pengobatan yang diberikan kepada penderita leptospirosis bisa efektif apabila dilakukan dengan cepat. Meski begitu, tindakan pencegahan merupakan hal utama yang harus dilakukan untuk mengantisipasi penyakit tersebut.

Adapun pengendalian vector pembawa leptospirosis dapat dilakukan masyarakat dengan membudayakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), di antaranya dengan menerapkan hidup bersih dan sehat dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

Alat pelindung

Kemudian, membasmi tikus dan sarangnya baik di rumah atau lingkungan sekitar, setelah beraktivitas selalu mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, membersihkan dengan desinfektan benda-benda yang terindikasi terkena kencing tikus, menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus secara tertutup.

Lebih baik menggunakan alat pelindung diri saat berkontak dengan hewan atau lingkungan yang berisiko tinggi seperti menggunakan sepatu boot, sarung tangan dan masker.

“Kami mengajak masyarakat membudayakan PHBS mulai dari keluarga terutama untuk mengendalikan tikus di rumah. Makanan atau sumber air yang tercemar urine tikus berisiko menjadi penularan leptospirosis,” ungkap Yuliati.

Bagi masyarakat yang mengalami gejala demam, sakit kepala, nyeri otot betis atau paha silakan segera periksa di Puskesmas atau fasilitas kesehatan terdekat.

Informasi lebih lanjut terkait leptospirosis dapat diakses masyarakat melalui media resmi Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman (https://dinkes.slemankab.go.id/ dan instagram @dinkessleman), maupun melalui Puskesmas di Kabupaten Sleman.

Apabila terdapat pertanyaan dan pelaporan informasi terkait leptospirosis dapat menghubungi Bidang P2PL Dinkes Kabupaten Sleman melalui nomor (0274) 868409. (*)