Tak Hanya Pameran, Lahirnya Komikus Pemula Menjadi Target YKW

Tak Hanya Pameran, Lahirnya Komikus Pemula Menjadi Target YKW

KORANBERNAS.ID--Di tengah maraknya gempuran komik-komik luar negeri, generasi muda saat ini seperti tidak punya banyak pilihan. Mereka sekadar menjadi penikmat, penggemar, membaca dan atau menjadi peniru karakter mereka (komik luar).

Tapi, sebenarnya kita juga mempunyai sejarah komik yang cukup panjang. Dari era 30-an sampai sekarang. Di era 70-an, komik Indonesia sempat berjaya di masanya. Seiring munculnya komikus-komikus tenar seperti RA Kosasih, Ganes TH, Hasmi, Jan Mintaraga dengan karakter gambar yang kuat dominasi komik silat juga dibarengi munculnya tema-tema fiksi sejarah, roman hingga superhero.

Tak hanya Gundala Putra Petir yang kini booming karena diangkat menjadi sebuah film oleh Sutradara Joko Anwar, masih ada komik lain seperti Mahabarata, Si Buta dari Goa Hantu dan masih banyak lagi komik dalam negeri yang menjadi bacaan wajib generasi saat itu.

Demi menjaring komikus-komikus muda, Mulyakarya dan Dinas Kebudayaan Yogyakarta menggelar workshop dan lomba komik Kukuruyug #5 yang melibatkan siswa-siswi dari 100 sekolah menengah atas dan kejuruan se-DIY.

Acara yang berlangsung selama tiga hari ini, bertujuan untuk memupuk kreatifitas, kemampuan bertutur dan bercerita lewat bahasa gambar (komik).

Seniman peran Broto Wijayanto ikut memberikan materi kepada peserta workshop dan lomba komik. Dalam tiga hari pelatihan yang dilaksanakan di Omah Petroek yang terletak tak jauh dari Gunung Merapi ini, peserta tak hanya diajarkan menggambar komik.

“Saya ditugasi merusak imajinasi anak-anak ini,” kelakar Broto kepada koranbernas.id selepas pembukaan Yogyakarta Komik Weeks di Museum Sonobudoyo (8/10/2019) siang.

Banyak hal penting yang terhubung antara seni peran dan komik. Oleh karena itu, Broto melanjutkan, pemahaman komikus-komikus muda ini harus diberikan penyegaran. Mereka diberi asupan sudut pandang yang berbeda saat mereka harus merespon sebuah bentuk.

“Misal imajinasi mereka saat melihat topeng gundala tapi tubuhnya karung beras. Maka para komikus muda ini harus melanjutkan menjadi tokoh superhero yang berbeda dan bebas menurut imajinasi mereka masing-masing,” lanjut pengampu teater anak Taman Budaya dan pendiri Deaf Art Community ini.

Dari 100 peserta workshop dan lomba komik, terpilih 30 karya anak yang layak mengikuti pameran di Museum Sonobudoyo Yogyakarta (8-21 oktober 2019). Pameran dalam rangka Yogyakarta Komik Weeks (YKW) memamerkan karya komikus profesional dan komikus pemula tingkat SMU digelar selama dua pekan.

Muhammad Dimas Pamungkas (16) adalah salah seorang dari 30 peserta lomba komik yang karyanya terpilih. Dengan gaya minimalis dan clean draw, Dimas menceritakan tentang seorang “Sobat Ambyar” (sebutan untuk penggemar Didi Kempot-red) mengikuti audisi ajang pencarian bakat.

Dalam tujuh panel komik karya Dimas disampaikan, bagaimana peserta audisi yang baru satu bait menyanyikan lagu Didi Kempot, langsung mempengaruhi juri untuk ikut menyanyikan syair lagu pada bait berikutnya.

Sederhana dan lugas, bahwa antara peserta audisi dan juri, adalah sama-sama penggemar Seniman Didi Kempot yang belakangan ini kembali booming.

Ending menggelitik justru saat juri menasehati peserta dengan kata “Sing Bakoh”. Terlihat bahwa antara peserta dan juri justru seperti karib yang sama-sama memiliki pengalaman patah hati hingga akhirnya saling menasehati.

Dimas mengaku tidak suka menggambar, apalagi membuat komik. Hal ini dibenarkan Emi Rahmawati selaku Koordinator Kurikulum SMA Tumbuh. Di kelasnya Dimas memang kurang terlihat dalam hal gores menggores.

Awalnya pihak sekolah mengirim dua siswa yang mewakili.

“Kedua siswa tersebut, menurut kami lebih punya passion di bidang seni khususnya menggambar. Tapi karena slot masih tersedia, panitia workshop menghubungi sekolah agar menambah perwakilan yang ikut. Dari situlah kami mengikutsertakan Dimas. Itu pun motivasi Dimas untuk ikut hanya karena boleh bolos sekolah selama tiga hari karena workshop komik,” kenang Emi.

Dimas, menurut Emi lebih menyukai pelajaran kinestetis ketimbang seni. Hal-hal yang berkaitan dengan olah tubuh dan gerak membuat Dimas lebih tertarik.

“Positifnya setelah workshop selesai, Dimas menjadi lebih percaya diri dalam menggoreskan gambar. Apalagi sekarang dia menjadi salah satu pemenang,” tandas Emi.

Dimas mengakui, bahwa dia lebih tertarik jualan barang-barang preloved di media sosial ketimbang menggambar. Namun setelah menjadi salah satu pemenang, Dimas punya keinginan berbeda.

“Saya itu blas gak suka menggambar. Kemarin ikut karena disuruh guru saya untuk ikut lomba ini. Alhamdulillah menang. Setelah ini mungkin akan meneruskan menggambar ini sebagai hobi baru,” pungkas Dimas. (SM)