Sultan HB X Ungkap Sosok di Balik Penetapan Sumbu Filosofi Saat Pidato Kebudayaan di GIK UGM

Dalam benak saya, Kebudayaan Indonesia Baru, adalah pengandaian Indonesia yang maju dan beradab.

Sultan HB X Ungkap Sosok di Balik Penetapan Sumbu Filosofi Saat Pidato Kebudayaan di GIK UGM
Gubernur DIY Sri Sultan HB X menyampaikan pidato kebudayaan di GIK UGM, Selasa (28/1/2025). (Istimewa)

KORANBERNAS.ID, SLEMAN – Gubernur DIY yang juga Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengungkap sosok yang berperan di balik Sumbu Filosofi Yogyakarta. Peran dan kiprahnya selama ini menorehkan hasil The Cosmological Axis of Yogyakarta and It’s Historic Landmarks atau Sumbu Filosofi yang memperoleh pengakuan dunia.

Sosok itulah yang secara khusus disebut Sultan HB X tatkala menyampaikan Pidato Kebudayaan pada gelaran Diskusi Arkipelagis: Refleksi Kebudayaan yang berlangsung di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas Universitas Gadjah Mada (GIK UGM) Selasa (28/1/2025).

Dia adalah Dirjen Kebudayaan periode 2015-2024, Hilmar Farid BA MA Ph D yang saat ini memasuki purnatugas.

 “Yogyakarta akan mengingat sosok Hilmar Farid sebagai suporter, mentor dan motivator khususnya dalam upaya penetapan The Cosmological Axis of Yogyakarta and It’s Historic Landmarks sebagai Warisan Dunia,” kata Sultan HB X.

Suasana gelaran Diskusi Arkipelagis: Refleksi Kebudayaan di GIK UGM. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Di hadapan budayawan, seniman, praktisi, akademisi dan kaum intelektual publik, melalui pidatonya berjudul Revitalisasi Semangat Nusantara Untuk Kebudayaan Indonesia Baru, Sultan HB X menyatakan pentingnya membangun budaya yang visioner.

Berikut isi pidato Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam rangka mengiringi purnatugas Hilmar Farid:

Merupakan sebuah kehormatan, untuk dapat turut “mangayubagya” purnatugas Bapak Hilmar Farid, yang telah menorehkan dedikasi, sebagai Dirjen Kebudayaan periode 2015-2024.  Di antara berbagai kiprahnya itu, Yogyakarta, akan mengingat sosok Hilmar Farid sebagai suporter, mentor dan motivator, khususnya dalam upaya penetapan “The Cosmological Axis of Yogyakarta and It’s Historic Landmarks” sebagai Warisan Dunia.

Di momentum ini pula, saya beserta masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta, menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada Bapak Hilmar Farid, atas berbagai dukungan yang diberikan, baik selama masa persiapan pengajuan, dan proses sidang atas nominasi “The Cosmological Axis of Yogyakarta and It’s Historic Landmarks” atau Sumbu Filosofi, yang puncaknya dilaksanakan dalam agenda “World Heritage Center” (WHC) ke 45, di Riyadh Saudi Arabia, pada tanggal 18 September 2023 silam. Tentunya, pasca sertifikasi itu, dukungan dari Bapak Hilmar Farid dalam berbagai pemikiran, ide dan gagasan, diharapkan dapat terus berlanjut, untuk memperkuat eksistensi dan gemilang kiprah Sumbu Filosofi, khususnya dalam perspektif global.

Bapak Hilmar Farid dan saudara-saudara sekalian,

Dalam berbagai kesempatan, saya menyampaikan urgensi membangun budaya yang visioner, melalui konsep Kebudayaan Indonesia Baru. Apabila menarik kesimpulan awal dari “Term Of Reference” agenda ini,  konsep Kebudayaan Indonesia Baru, sejatinya berkelindan dengan ide besar ARKIPELAGIS. Sebuah gagasan, yang merangkai akar tradisi, dengan energi pembaruan untuk masa depan bangsa. Sebuah visi, yang memadukan kearifan lokal dengan dinamika zaman, demi kemaslahatan rakyat Indonesia. Dalam hal ini, hendaknya Bhinneka Tunggal Ika, bukan hanya digunakan sebatas slogan, tetapi sebagai strategi kebudayaan, yang dituangkan ke dalam kebijakan publik.

Sejarah telah memberikan pelajaran, bahwa hidup dalam multikulturalisme, yang penuh toleransi dan saling menghargai, dapat menjadi sumber kemajuan. Di Spanyol, Andalusia adalah simbol kerukunan hidup antara Yahudi, Nasrani dan Islam. Saat itu, ilmu pengetahuan dan kebudayaan berkembang maju, karena semua saling belajar dari kebudayaan yang lain. Sejarah juga menunjukkan, proses integrasi berbagai budaya dan bangsa, adalah keniscayaan dalam sejarah Nusantara.

Dari contoh itu, dapatlah disimpulkan: alangkah besarnya manfaat, jika pluralitas budaya, menjadi serat-serat yang saling memperkuat, sehingga suatu resiprokalitas budaya yang sangat kaya akan tercipta. Lebih dari itu, kita juga akan sanggup melaksanakan rencana-rencana pembangunan, dengan sesedikit mungkin distorsi, saling curiga dan kesalahmengertian.

Dalam benak saya, Kebudayaan Indonesia Baru, adalah pengandaian Indonesia yang maju dan beradab. Indonesia haruslah mampu memakmurkan, memajukan, dan memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyatnya, dari generasi ke generasi. Tentu saja, semua itu harus dikembangkan dari nilai-nilai, yang mengalir di pembuluh darah masyarakat sendiri. Melupakan nilai-nilai budaya Etnik dan Masyarakat Adat, hanya akan menciptakan Indonesia tumbuh tanpa jiwa dan identitas. Yang pada akhirnya, kita tidak akan memperoleh hasil pembangunan kebudayaan yang konstruktif, visioner, antisipatif, progresif, kritis dan berkelanjutan.

Bapak Hilmar Farid dan hadirin sekalian,

DI TATARAN global, dinamika pergeseran pusat perhatian dan kegiatan dunia semakin bergeser ke arah timur. Sebagaimana telah diramalkan oleh Naisbitt dan Aberdene, pusat perkembangan dunia, yang dulunya berada di Mediterania dan Atlantik, kini telah beralih ke Indo-Pasifik. Sejumlah negara, telah menyiapkan dan melaksanakan strategi menghadapi pergeseran ini, baik secara bilateral maupun multilateral.

Negara-negara di sekitar Samudra Hindia telah tergabung dalam Indian Ocean Rim Association. Tiongkok menginisiasi strategi “Belt and Road”, sedangkan Jepang meluncurkan strategi "Free and Open Indo-Pacific". Sementara itu, Amerika memiliki program “Indo-Pacific Strategy”, dan pada saat yang sama Amerika – Jepang – India – Australia bersama-sama membentuk QUAD, yang kini meluas dengan bergabungnya sejumlah negara Eropa.

Pergeseran ini, pada akhirnya, menempatkan Kepulauan Indonesia kembali menjadi persilangan strategis, sebagaimana zaman kejayaan bahari Nusantara beberapa abad silam. Indonesia sendiri, telah berusaha menempatkan diri sebagai Poros Maritim Dunia. Sehingga menjadi relevan pula, apabila beberapa isu terkini terkait Samudera Hindia, menjadi perbincangan aktual di kalangan negara-negara IORA (The Indian Ocean Rim Association). Dan memang--selaras dengan apa yang disampaikan Mathew dan Ghiasy--bahwa Indonesia patut menaruh perhatian, gayut dengan dengan posisi Indonesia yang memangku Samudera Hindia, yaitu: (i) Blue Economy, (ii) Collaboration and Global Governance, dan (iii) The Maritim Silk Road.

Terkhusus eksistensi Jalur Sutera Maritim, pada masa selama perang dingin, memang Samudera Hindia, tidak pernah menjadi daya tarik kepentingan ekonomi dan politik, bagi negara-negara tertentu, terutama Amerika, Jepang, Cina, dan negara-negara Eropa. Namun, konstelasi mulai berubah pada awal tahun 2000-an, ketika konflik perairan China Selatan mengemuka, dan Samudera Hindia muncul ke permukaan, sebagai wilayah ekonomi dan politik yang sangat penting . Maka tidaklah berlebihan, ketika Kaplan menyatakan:  bahwa Samudera Hindia, merupakan pusat panggung permainan kekuasaan dari negara-negara adidaya, pada abad ke duapuluh satu (centre-stage for power plays).

Saudara-saudara sekalian,

BERDASARKAN berbagai fenomena di atas, tak berlebihan kiranya apabila kita memang harus menggali, mengkaji serta merevitalisasi Semangat Nusantara. Mengeja Nusantara, paling tidak harus berangkat dari pengertian terhadap kosakatanya terlebih dulu, yang berakar kata “nusa” artinya pulau atau kesatuan kepulauan, dan “antara” yang menunjukkan letak antara dua unsur. Sehingga jika dipadukan, maka makna Nusantara adalah: “Kesatuan Kepulauan, yang terletak antara 2 Benua dan 2 Samudera”, yang tidak lain adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan letak geografis seperti itu, maka penghuni yang berada di dalam Nusantara itu, konsekuensinya harus memiliki Wawasan Nusantara, sekaligus Wawasan Bahari, atau lebih tepatnya Wawasan Nusantara Bahari. Dalam upaya Revitalisasi Semangat Nusantara, maka konsekuensi lanjutannya adalah, bangsa Indonesia harus memiliki pemahaman tentang Geopolitik dan Geostrategis. Tujuannya adalah untuk menggugah wawasan, dalam usaha mengeksplorasi jatidiri bangsa, diderivasikan dari Wawasan Nusantara, diaktualisasikan dalam konsep Bhinneka Tunggal-Ika, dan ditempatkan dalam konteks percaturan global dan pergeseran geopolitik internasional. Tentu kita harus mahfum, bahwasanya faktor geopolitik, amat ditentukan oleh perkembangan sistem informasi dan teknologi informasi, serta transaksi finansial internasional.

Memang, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk. Masalahnya adalah, bagaimana mengaktualisasikan simbol Bhinneka Tunggal-Ika— yang biarpun berbeda, namun tetap satu itu— ke dalam konteks yang benar? Bagaimana pula, agar kita bisa mengubah potential forces menjadi actual forces —kekuatan nyata yang mampu menjawab tantangan globalisasi.

Untuk itu, kewajiban nasional untuk memperkuat integrasi bangsa, melalui strategi nasional aktualisasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, sekalipun satu, tidak boleh dilupakan bahwa sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda dalam suatu kemajemukan. Pengalaman mengajarkan, bahwa bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (tunggal-ika), yang paling potensial untuk bisa melahirkan kesatuan dan persatuan yang kuat, melainkan pengakuan akan adanya keberagaman (bhinneka), dan kesediaan untuk menghormati kemajemukan bangsa Indonesia.

Bapak Hilmar Farid dan hadirin sekalian,

JELAS kiranya, bahwa dalam konteksnya hari ini, tema ARKIPELAGIS—Refleksi Kebudayaan—dapat menjadi motor penggerak semangat dan keterampilan bahari. Semangat dan keterampilan yang pernah menjadi kebanggaan bangsa Indonesia, perlu digali dan dikembangkan kembali di kalangan generasi muda, agar bangsa Indonesia mampu menjadi tuan di negeri mereka sendiri. Diilhami oleh semangat ARKIPELAGIS itu, upaya membangun Indonesia Baru yang lebih maju, mandiri dan bermartabat, memerlukan strategi budaya yang menyiapkan generasi muda Indonesia, yang sanggup mengambil tanggung- jawab masa depan, berkeyakinan diri, dan memiliki wawasan kebaharian yang mendalam, serta didukung oleh keterampilan bahari yang memadai.

Dan jika kita berkehendak menggeser orientasi pembangunan menuju skala dunia, maka tidak lain kita harus mulai memperkuat basis pendidikan bidang kelautan. Oleh sebab itu, pendidikan Indonesia setidaknya harus berorientasikan pada tatanan Benua Maritim Indonesia. Selain itu, perlu bagi kita untuk memperkuat fungsi pengawasan. Dengan berbagai potensi yang melingkupinya, kemaritiman akan menjadi salah satu solusi kunci, dalam berbagai permasalahan global di masa depan.

Pungkas kata, sejatinya revitalisasi semangat Nusantara itu tidak lain adalah Wawasan Nusantara Bahari, yang tampaknya perlu dibangkitkan kembali, guna mempercepat kebangkitan Indonesia. Jika memang demikian, bukan tidak mungkin, pesan Ir Seokarno saat meresmikan Institut Angkatan Laut pada tahun 1953, dapat menjadi kenyataan”…Oesahakanlah agar kita mendjadi bangsa pelaoet kembali. Ya…, bangsa pelaoet, dalam arti kata Cakrawati Samoedra…”

Hingga sore

Pada simposium sehari yang berlangsung hingga sore itu juga disampaikan sambutan Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Dr H Fadli Zon SS M Sc dan pidato pembuka oleh Nirwan Dewanto.

Adapun pembicara  di antaranya Charles Toto, Titah AW, Afrizal Malna, Premana W Premadi, Bambang Sugiharto, Farah Wardani, Nia Dinata.

Menariknya, seluruh peserta memperoleh makan gratis yang tersedia di luar bangunan joglo GIK UGM. Dapur Darurat itu diinisiasi oleh Fajar Riyanto dan berkolaborasi dengan ibu-ibu Paguyuban Kalijawi.

Adapun para penanggap di antaranya Dyah Widuretno, Sri Wahyaningsih, Sirin Farid Stevy, Sutanto Mendut, Wok The Rock, Hasan Basri, Paksi Raras Alit, Bambang ‘Toko’ Witjaksono, Arief Yudi Rahman, Santi Ariestyowanti, Singgih S Kartono, Yoshi Fajar Kresno Murti, Ari Wulu, Butet Kartaredjasa, Garin Nugroho, Agus Noor. (*)