Sepakbola yang Berbudaya

Sepakbola yang Berbudaya

CABANG olahraga sepakbola telah menjadi milik dunia, sejak laga antar kampung (tarkam) hingga piala dunia selalu dipenuhi antusias masyarakat untuk menonton, memberikan support moral kepada tim kebanggaannya.

Sepakbola selain menjadi hiburan, olahraga, sekaligus budaya masyarakat. Tentu saja, di samping menyehatkan, membawa susaana gembira juga menjadi atraksi yang memberikan sentuhan psikologis yang bisa meluapkan segenap emosional, baik pemain maupun pendukungnya, bahkan memberi efek domino secara ekonomi bagi lingkungan sekitar.

Sepakbola telah tumbuh subur di negeri ini, sehingga sepakbola tak hanya dominasi laki-laki, tapi sudah ada tim sepakbola perempuan.

Ajang berebut kulit bundar ini menjadi suguhan menarik, ketika kedua tim menunjukkan kemampuan terbaiknya, meski tanpa gol. Atau bisa saja kala ada yang memenangi kompetisi ini. Di dunia sepakbola ternyata, selain memunculkan 3 hal besar, yakni menang, draw atau kalah, kadang kita temukan laga transaksional, yang dibumbui dengan praktik suap maupun jual beli maupun pengaturan score.

Seperti halnya kasus di Stadion Kanjuruhan, Malang, selama pertandingan berlangsung tak ada nampak potensi kerusuhan, kegaduhan. Setelah pertandingan ternyata terjadi kerusuhan hingga chaos dengan ratusan penonton yang meninggal dunia.

Memang, sepakbola itu laksana madu dan racun. Ia akan menjadi madu yang berasa manis tatkala sepanjang pra event, tak ada aksi sogok menyogok atau suap, bahkan nihil jual beli atau pengaturan skor maupun praktik transaksional lain yang kontraproduktif.

Kemudian pada fase event, menyuguhkan gaya permainan yang elok, menarik, sedikitnya pelanggaran pemain dan fairplay bahkan akan terlihat kasat mata siapa yang punya skill sepakbola yang handal atau sebaliknya.

Begitu juga, pada paska pertandingan absen huru-hara dan atau kegaduhan bahkan zero aksi anarkis dari massa supporter maupun masyarakat lainnya, sampai jatuh korban.

Sebaliknya, ia bakal berubah menjadi racun ganas saat terbit konflik di lapangan yang melebar hingga menyulut keributan massal. Kanjuruhan (1/10/2022) bersaksi, kericuhan ini bermula ketika skuad tuan rumah, Arema FC, dinyatakan kalah dalam laga melawan Persebaya dengan skor 2-3. Tak terima, sejumlah pendukung Arema turun dari tribun penonton ke tengah lapangan mengejar-ngejar para pemain Arema maupun Persebaya.

Praktik ini sesungguhnya hanya lebih mempertontonkan rendahnya sumberdaya manusia kita sebagai bangsa yang besar. Mereka memilih menjadi barisan fanatisme sesat, yang tak pernah memikirkan efek lebih jauh, hingga berujung ratusan jenazah atas kawan-kawan kita, sudara kita, keluarga kita. Chauvinist sempit, primordialisme pinggiran yang menyeret nyawa manusia sebagai tumbal.

Karena situasi kian kacau, aparat sempat menghadang penonton, kemudian melesatkan gas air mata. Namun, gas air mata itu tak hanya mengarah ke supporter yang turun ke lapangan, tapi juga ke tribun penonton. Para pengunjung pun panik. Massa lantas berdesak-desakan keluar dari stadion. Di tengah kepanikan itu, banyak penonton mengalami sesak napas dan kekurangan oksigen (hipoksia), terjatuh, dan terinjak-injak, dan tercatat sejumlah 131 orang meninggal dunia.

Barangkali adanya pemaksaan kehendak, dengan tak bisa legawa menerima kekalahan tim kesayanganya penjadi penyokong utama tragedi Kanjuruhan. Kemudian, lemahnya deteksi dini penyelenggara dan keamanan di dalam dan luar lapangan.

Nasi sudah menjadi bubur, maka kemudian penting kita mengantisipasi agar peristiwa serupa tak terulang. Hal terpenting sekarang adalah menyelamatkan kesehatan masyarakat yang menjadi korban kerusuhan sepakbola ini, baik yang berada di rumah sakit, di klinik, di rumah, dan seterusnya. Konsentrasi pemerintah mesti mengcover seluruh pembiayaan rumah sakit, dan sebagainya hingga pulih total.

Kemudian yang perlu dipikirkan juga adalah, bagaimana mencukupi atas kebutuhan hidup pada keluarga yang meninggal, misalnya sebagai kepala keluarga (ayah dan atau ibu) selama dalam perawatan. Hal lain tentu saja, bantuan sosial kemanusiaan atas keluarga yang meninggal, ataupun menghidupkan kembali program anak angkat atau anak asuh yang kehilangan orangtua.

Maka di sinilah saya mengajak semua elemen untuk urun angan dan turun tangan, semua terlibat meringankan beban bagi keluarga yang tertimpa musibah ini. Kita tak pernah berharap atas insiden yang memilukan ini. Malang yang malang terus menyulutkan simpati, empati dan keprihatinan banyak pihak.

Atas murungnya Kanjuruhan, bahkan Presiden Joko Widodo sampai mengeluarkan 4 pernyataan, pertama perintahkan Kapolri investigasi tuntas tragedi Arema di Stadion Kanjuruhan, kedua perintahkan PSSI hentikan sementara Liga 1, ketiga minta pelayanan medis terbaik untuk korban dan kejadian serupa tak terulang, dan terakhir perintahkan Kapolri hingga Menpora bertolak ke Malang.

Jika ditarik ke belakang, nyaris semua serba salah. Penonton yang tak bisa mengendalikan diri, begitu juga aparat yang belum sepenuhnya mampu mengelola emosionalnya, penyelenggara yang kurang cermat atas ticketing maupun kapasitas stadion, dan lainnya. Semoga kejadian kelam ini tidak lantas mengekalkan kita sebagai bangsa yang malang.

Insiden Kanjuruhan harus diinvestigasi menyeluruh, sehingga menjadi pelajaran semua pihak, menjadi ajang mawas diri sekaligus momentum kebangkitan sepakbola Indonesia untuk lebih berbudaya (aman, nyaman dan menggembirakan) di samping tetap menjunjung tinggi fairplay. **

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng