Bukan Ahli, Merasa Ahli

Oleh: Sudjito Atmoredjo

Sejujurnya, suasana jiwa ini, gundah, galau, miris. Menatap beberapa realitas otentik terurai di bawah. Sedemikian banyak amanah kenegaraan diserahkan pada beberapa orang yang diragukan kompetensi/keahliannya. Presiden dan Kabinet Merah-Putih, adalah pengemban amanah kenegaraan lima tahun ke depan. Pada pundak merekalah, nasib negara ini berada. Idealitasnya, negara ini diurus oleh orang-orang ahli di bidangnya. Keahlian diperoleh dan melekat karena ilmu dan pengalamannya. Dia profesional. Berwawasan luas. Jangkauannya, bukan sekadar urusan sesaat (lima tahunan), melainkan jangka panjang. Demi kehidupan bersama (bermasyarakat dan berbangsa), bahagia, dunia-akhirat.

Bukan Ahli, Merasa Ahli
Sudjito Atmoredjo. (istimewa).

CILAKA mencit. Itu ungkapan Jawa. Artinya, kondisi kehidupan terburuk, hingga berakibat munculnya penderitaan. Penderitaan demikian dapat terjadi ketika suatu urusan/amanah diemban oleh bukan ahlinya. Penderitaannya dapat tertimpakan pada pengemban amanah, maupun masyarakat luas (bangsa dan negara).

Sejujurnya, suasana jiwa ini, gundah, galau, miris. Menatap beberapa realitas otentik terurai di bawah. Sedemikian banyak amanah kenegaraan diserahkan pada beberapa orang yang diragukan kompetensi/keahliannya. Presiden dan Kabinet Merah-Putih, adalah pengemban amanah kenegaraan lima tahun ke depan. Pada pundak merekalah, nasib negara ini berada.

Idealitasnya, negara ini diurus oleh orang-orang ahli di bidangnya. Keahlian diperoleh dan melekat karena ilmu dan pengalamannya. Dia profesional. Berwawasan luas. Jangkauannya, bukan sekadar urusan sesaat (lima tahunan), melainkan jangka panjang. Demi kehidupan bersama (bermasyarakat dan berbangsa), bahagia, dunia-akhirat.

Mesti dipahami bahwa urusan-urusan kenegaraan itu sangat kompleks. Apalagi ketika negara dalam situasi extraordinary (genting, krisis). Demi keselamatan negara, dibutuhkan keahlian penyelenggara negara dalam mengatur siasat/policy/regulasi, agar selamat dari terjajah negara lain. Penyelamatan bangsa, wilayah, dan tanah air (sumberdaya alam), merupakan amanah konstitusi. Positioning militer dan kepolisian, amat besar pengaruhnya terhadap stabilitas negeri, efektifitas penegak hukum, dan demokrasi. Meramu etika, moral, dan intelektualitas politik, amat dibutuhkan, agar politik praktis tidak berjalan liar/liberal/sekuler.

Pertama, kunjungan kenegaraan pertama Presiden ke China pada 8-10 November 2024, hasilnya menuai kegelisahan banyak pihak. Mengapa? Karena ada pernyataan bersama yang ditandatangani Presiden Xi Jinping pada 9 November, tentang frasa “pengembangan bersama di wilayah klaim tumpang tindih.” Pada frasa demikian, tersirat ada perubahan kebijakan yang berpotensi melemahkan posisi Indonesia, yang selama ini tegas menolak klaim maritim China. Para pakar mengartikan, kesepakatan tersebut sebagai pengakuan atas klaim Das Nine Line. Pasti, hal demikian sangat memengaruhi kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara.

Betapapun ditegaskan oleh Menlu RI bahwa tidak ada pergeseran sikap Indonesia atas kedaulatan di Laut China Selatan. Pernyataan bersama adalah bentuk kerja sama dan kolaborasi kedua Negara (Kompas.com, 2/12/2024). Pernyataan itu sejiwa dengan pernyataan Presiden bahwa Indonesia menghormati negara-negara mitra, tetapi tetap mempertahankan kedaulatan Indonesia (Kompas.com, 13/11/2024). Namun, mungkinkah pernyataan ini diterima oleh China, dan dapat dieksekusi secara positif? Benarkah Menlu RI ahli tentang persoalan kedaulatan di Laut China Selatan?

Kedua, viral di media, dalam rapat bersama Komisi XIII DPR (31/10/2024), Menteri HAM minta anggaran dinaikkan menjadi Rp 20 triliun, plus tambahan pegawai. Padahal, program 100 hari kerja saja, kementeriannya tidak punya.

Viral pula, usulan kenaikan anggaran dari 7 (tujuh) Kementerian Koordinator. Total mencapai Rp 5,18 triliun. Usulan terbesar berasal dari Kemenko Bidang Politik dan Keamanan, Rp 3 triliun. Usulan-usulan, disampaikan dalam forum rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR (2/12/2024).

Pada usulan-usulan di atas, tersirat adanya rasa tak percaya diri pada Menteri-menteri terkait. Sepadan dengan ungkapan “Kalah sebelum bertanding. Tak kuat menanggung beban”. Tanpa tambahan anggaran, tak ada jaminan suatu program dapat berjalan baik. Begitukah keahlian para Menteri?

Ketiga, kasus olok-olok terhadap penjual es teh. Publik marah. Muncul petisi ditandatangani 3.535 orang berjudul “Copot Gus Miftah dari Jabatan Utusan Khusus Presiden”. PM Malaysia pun ikut menyorot, dan berkomentar menohok (CNN Indonesia, 5/12/2024). Cetha wela-wela, kadar kualitas keahlian pembantu Presiden itu. Menyedihkan.

Keempat, kenaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dari 11 persen menjadi 12 persen, mulai tahun 2025 (CNN Indonesia, 24/11/2024). Efek negatif kenaikan PPN itu antara lain: harga produk, barang, dan jasa domestik, akan naik, terutama terkait dengan pajak penghasilan. Akibat lanjut, akan terjadi inflasi. Dari sisi konsumsi, daya beli rakyat, semakin turun. Akan terjadi juga kenaikan tax avoidance. Nasib rakyat, diperdiksi semakin menderita. Kenaikan PPN, amat paradoks dengan permintaan tambahan anggaran beberapa Kementerian. Dipertanyakan, adakah sense of crisis Menteri terkait?

Ajaran moral berbunyi: “Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat”. Orang Arab Badui bertanya, “Bagaimana hilangnya amanat itu?” Nabi Saw menjawab: “Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat” (HR. al-Bukhari).

Ajaran di atas amat gamblang. Namun sayang, banyak posisi dan peran penting dalam kehidupan bernegara, diserahkan pada sosok-sosok yang diragukan kompetensi/keahliannya. Lebih celaka lagi, mereka sadar, ketiadaan keahlian itu, tetapi bersemangat memperebutkan jabatan. “... sungguh, manusia demikian tergolong orang zalim, bodoh, sangat rugi” (QS al-Ahzab: 72).

Ketika orang-orang hipokrit/munafik/bodoh naik panggung kekuasaan, sementara para ahli justru tergusur/terpinggirkan, lantas apa yang terjadi? “...yufsiduna fil ardh: mereka membuat kerusakan di muka bumi” (QS al-Baqarah: 27). Sering terdengar argumentasi dangkal, bahwa kerusakan-kerusakan di negeri ini, merupakan proses menuju zaman keemasan. Keemasan bagi siapa? Sungguh dusta dan sesat pernyataan demikian.

Rasul Saw bersabda, “... jabatan itu merupakan amanah. Pada hari kiamat, pejabat yang tidak kompeten/ahli di bidangnya, tetapi kekeuh pada jabatannya, maka padanya akan ditimpakan kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar.” (HR. Muslim).

Panglima Besar Jenderal Soedirman, berikrar: "Rakyat tidak boleh menderita. Biar kami pemimpin yang menderita." Adakah Presiden dan para Menteri memiliki komitmen mulia demikian? Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM