Salam, Sekolah Tanpa Seragam dan Mata Pelajaran di Yogyakarta
Konsep ini mungkin terdengar radikal, namun dilandasi oleh visi pendidikan yang mendalam, mengacu pada ajaran Ki Hadjar Dewantara.
KORANBERNAS.ID, BANTUL -- "Mendengar, aku lupa. Melihat, aku ingat. Melakukan, aku paham. Menemukan sendiri, aku menguasainya." Prinsip pembelajaran ini tampaknya sederhana namun menjadi fondasi kuat bagi Sanggar Anak Alam (SALAM), sebuah lembaga pendidikan alternatif di Nitiprayan Bantul Yogyakarta yang mendobrak paradigma pendidikan konvensional.
Pada era pendidikan yang masih banyak berkutat pada seragam, ulangan dan hafalan, SALAM hadir dengan pendekatan yang berbeda. Tak ada seragam, tak ada guru dalam arti konvensional, bahkan tak ada mata pelajaran seperti di sekolah pada umumnya. Yang ada adalah fasilitator, warga belajar dan proses penemuan yang membangkitkan rasa ingin tahu.
"Kami ingin mengembalikan hasil pendidikan anak kepada orang tuanya. SALAM tidak ingin merebut hak tersebut," ujar Sri Wahyaningsih, pendiri dan pembina SALAM pada acara inisiasi Warga Belajar baru, Kamis (1/5/2025).
Pernyataan ini menegaskan komitmen SALAM untuk menjadikan pendidikan sebagai tanggung jawab bersama antara lembaga pendidikan dan keluarga. Mendaftarkan anak di SALAM berarti siap untuk berkomitmen lebih. Orang tua bukan sekadar pengantar-jemput, melainkan mitra aktif dalam proses pendidikan. "Orang tua memang jadi lebih repot," kata Bu Wahya, panggilan akrabnya. Namun dia menegaskan keterlibatan inilah yang menjadi kunci kesuksesan pendekatan SALAM.
Keluarga besar
Budi Santosa atau yang akrab disapa Pak Gemak menjelaskan, SALAM bukanlah sekadar sekolah melainkan ruang belajar bersama. "Anakmu, anakku; anakku, anakmu. Kita semua adalah keluarga besar yang berkumpul dan bersepakat menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak kita," jelasnya.
Media sering menyebut SALAM sebagai sekolah tanpa seragam, tanpa guru, tanpa mata pelajaran. "Konsep ini mungkin terdengar radikal, namun dilandasi oleh visi pendidikan yang mendalam, mengacu pada ajaran Ki Hadjar Dewantara yaitu menajamkan pikiran, menghaluskan rasa dan menguatkan kehendak.
"Anak-anak diajak untuk berpikir -- bukan sekadar menghafal. Menghadapi masalah dan mencari jalan keluarnya. Menghaluskan rasa berarti membangun solidaritas, toleransi, menghargai perbedaan dan cinta kasih. Menguatkan kehendak berarti membentuk daya juang dan tekad yang kuat," tambah Pak Gemak.
Empat pilar
Yudhistira Aridayan selaku pengelola SALAM menyampaikan empat pilar pembelajaran yang menjadi landasan kurikulum yakni Pangan, Kesehatan, Sosial Budaya dan Lingkungan Hidup.
Keempat pilar ini dipilih karena merupakan kebutuhan dasar manusia, menjadikan pembelajaran di SALAM sangat kontekstual dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Kegiatan sehari-hari
"Misalnya pangan -- semua orang butuh makan. Tapi ketika kita bicara pangan, otomatis itu berkaitan juga dengan kesehatan, budaya, dan lingkungan," jelas Yudhis.
Pendekatan ini terwujud dalam kegiatan sehari-hari. Di PAUD (TA dan KB), makan snack dan makan siang bersama menjadi sarana pembiasaan. Pada jenjang SD hingga SMA, setiap kelas memiliki sesi makan siang yang digunakan sebagai media pembelajaran.
Anak-anak kelas 1 belajar mencatat menu dan mengenal nama sayur dan lauk, sementara anak-anak kelas 4-6 atau SMP belajar menyusun anggaran dan konsep makanan seimbang.
"Terkait pangan, mohon dimaklumi jika fasilitator atau orang tua lain kadang terlihat 'rewel' -- karena memang kami berusaha konsisten untuk tidak memberikan makanan instan, pewarna buatan, pemanis buatan dan sebagainya," ungkapnya.
Tujuan mulia
Di balik aturan yang mungkin terlihat ketat ini, terdapat tujuan mulia menjaga kesehatan anak-anak dan membangun kembali kedaulatan selera. "Saat ini selera makan kita banyak dijajah oleh produk luar, dan SALAM berjuang untuk memerdekakan hal itu -- mulai dari yang paling dasar: makan," tambahnya.
SALAM juga aktif dalam pengelolaan sampah melalui pemilahan sampah organik untuk dijadikan kompos dengan metode ember tumpuk, serta pengelolaan sampah anorganik melalui bank sampah. Meski mengakui masih ada aspek yang perlu ditingkatkan, SALAM konsisten menerapkan prinsip keberlanjutan dalam praktek pendidikannya.
Yudhis melanjutkan, melalui kegiatan seperti Pasar Senin Legi, Pasar Ekspresi dan Pesta Panen, SALAM terus-menerus melakukan riset dan refleksi terhadap praktik pendidikannya. Semua kegiatan ini bertumpu pada empat pilar yang menjadi landasan pembelajaran.
Di tengah sistem pendidikan yang kerap terjebak dalam standardisasi dan pengejaran nilai, SALAM menawarkan alternatif yang menyegarkan yakni pendidikan yang benar-benar berpusat pada anak, yang menghargai proses penemuan, dan yang melihat pendidikan sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Bagi mereka yang mencari pendidikan yang lebih bermakna dan memanusiakan, SALAM mungkin bukan sekadar alternatif, melainkan jalan keluar dari kebuntuan sistem pendidikan konvensional. Tantangannya tidak mudah, tapi hasilnya anak-anak yang mandiri, kritis, dan punya kepedulian sosial, rasanya sepadan dengan usaha ekstra yang dibutuhkan. (*)