Ribuan Mahasiswa UP45 Yogyakarta Terancam Tidak Bisa Mengikuti Perkuliahan

Ribuan Mahasiswa UP45 Yogyakarta Terancam Tidak Bisa Mengikuti Perkuliahan

KORANBERNAS.ID, SLEMAN—Ribuan mahasiswa Universtas Proklamasi 45 (UP45) Yogyakarta, terancam tidak dapat mengikuti perkuliahan daring. Penyebabnya adalah konflik antara serikat dosen dan karyawan dengan pihak yayasan, yang dipicu persoalan pengelolaan keuangan. Konflik ini, kemudian berujung pada mogok kerja selama 2 hari mulai Rabu (23/9/2020) hingga Kamis (24/9/2020).  

“Iya kami mogok kerja sampai selama dua hari. Untuk tahap awal ini mogok kerja mencakup bidang pelayanan umum. Selanjutnya, kita akan lihat respon pihak yayasan. Kalau tidak ada respon sebagaimana kami harapkan, mogok kerja akan kita teruskan, termasuk menghentikan kegiatan perkuliahan,” kata Anggota Senat Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta sekaligus Kaprodi Fakultas Hukum UP 45, Sukirno, Rabu (23/9/2020).

Sebelumnya, 98 dosen dan karyawan di kampus yang berlokasi di Babarsari Depok, Sleman ini, menyatakan kekecewaan terhadap kebijakan dan sikap Yayasan Universitas Proklamasi 45. Kekecewaan bermula dari kebijakan yayasan yang menunda pembayaran dan memotong gaji dosen dan karyawan dengan alasan krisis.

Terlebih, setelah muncul langkah intimidasi dari pihak yayasan lantaran pihak dosen dan karyawan mempertanyakan alasan kebijakan dan kemudian disusul penyampaian mosi tidak percaya dari serikat dosen dan karyawan.

Wakil Rektor II Bidang Sumberdaya, Organisasi dan Umum UP 45, Dewi Handayani Harahap mengatakan, pihaknya kecewa dengan ketidaktransparanan rektor dan yayasan dalam hal pengelolaan keuangan.

Sebagai wakil rektor yang membidangi, Dewi mengaku tidak pernah dlibatkan dalam kebijakan pengelolaan keuangan. Padahal dia sudah bekerja lebih dari 10 tahun.

Ketika persoalan mulai muncul, para dosen dan karyawan juga mendapatkan informasi dan pernyataan berbeda terkait krisis keuangan yang disampaikan dalam rapat rutin manajemen dengan rapat senat pada awal September lalu.

“Awalnya dalam rapat rutin disampaikan bahwa Corona membuat penurunan pemasukan. Ini yang menjadi alasan yayasan menerapkan kebijakan pemotongan gaji, penundaan dan bahkan pengurangan karyawan. Yayasan melalui Rektor mengatakan kampus menghadapi krisis. Kami mempertanyakan hal ini di rapat manajemen. Tapi, saat persoalan ini dibahas dirapat senat, disebut bukan krisis, tapi potensi krisis. Ini kan tidak benar,” kata Dewi.

Merasa ada hal yang aneh, dalam rapat itupun, senat lantas mengusulkan agar dilakukan perubahan dalam struktur senat. Jabatan ketua senat tidak lagi dirangkap oleh rektor. Dengan demikian, diharapkan kinerja pimpinan universitas akan lebih maksimal dan rector bersama senat bisa bersama-sama memikirkan solusi terbaik untuk mengatasi persoalan kampus ke depannya.

Namun, usulan anggota senat ini tidak langsung diterima rektor. Terjadi perdebatan yang alot dan tidak ada titik temu, sehingga diputuskan penundaan 2 hari, hingga kemudian ditetapkan rencana pergantian ketua senat yang dijabat rangkap oleh Rektor Ir Bambang Irjanto, pada 10 September 2020.

Namun, yayasan kemudian berubah sikap dan membatalkan agenda tersebut. Sebaliknya, senat tetap melanjutkan agenda pergantian ketua senat karena menilai hal tersebut sangat penting sebagai wacana mengurai krisis di universitas.

“Dalam rapat, Pak Rektor justru walk out via zoom karena beliau ada di Jakarta. Rapat tetap kuorum dan dilanjutkan oleh sekretaris senat. Dalam rapat itu, terpilih ketua yang baru yakni Oberlin Silalahi dan Sari Wulandari sebagai sekretaris. Hasil ini kami sampaikan pada ketua yayasan melalui email dan pos. Kami juga sampaikan pernyataan mosi tak percaya pada kebijakan Rektor UP 45,” lanjutnya.

Dalam perkembangannya, bukan jawaban atas hasil rapat dan pernyataan mosi tidak percaya yang didapat senat. Mereka justru mendapatkan surat cinta dari yayasan, yakni peringatan sebagai senat, peringatan sebagai pejabat struktural, dan disertai surat pemanggilan dan surat pernyataan.

Dalam surat tersebut, pihak yayasan mengancam apabila tidak memenuhi panggilan, mereka akan dipecat dari UP 45. Untuk dosen PNS akan dikembalikan ke Dikti.

“Jadi, intinya hadir tidak hadir memenuhi panggilan tetap dipecat. Kami kompak menolak panggilan itu,” kata Dewi.

Dosen dan karyawan UP 45 pun lantas berikrar mogok dari pekerjaan hingga ada respon dari yayasan terkait aspirasi mereka.

“Saat ini kami sepakat, seluruh dosen dan karyawan mogok kerja. Di awal ini, yang mogok kerja adalah bagian pelayanan umum. Kalau tidak ada respon dari yayasan, Jumat-Sabtu kami sepakat mogok juga untuk Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Kalau terpaksa, ya kami naikkan ke ranah hukum,” kata Sukirno lebih jauh.

Sukirno berharap, pihak yayasan memberikan respon positif terhadap sikap para dosen dan karyawan. Sehingga persoalan ini tidak sampai merugikan hak mahasiswa untuk mendapatkan perkuliahan.

“Kami ingin semuanya dikelola secara transparan. Jangan sampai kami yang bekerja ibaratnya hanya dengan upah UMR atau UMP, itupun kemudian masih harus dibebani lagi dengan pemotongan gaji dan lain-lain dengan alasan yang sulit diterima. Saat ini, mahasiswa kami 1.200 an dari 5 fakultas dan 9 prodi. Itu tidak sedikit,” tandasnya.

Terkait polemik ini, pihak yayasan sendiri belum bisa dihubungi untuk mendapatkan tanggapan. Dua orang pengurus yayasan yang sebelumnya Nampak hadir dalam dialog internal, langsung meninggalkan ruangan. Dan ketika dihubungi melalui salah satu dosen, mereka mengatakan akan membicarakan persoalan ini di internal yayasan terlebih dahulu. (*)