Ratusan Pemilik Armada Sampah Kebingungan

Ratusan Pemilik Armada Sampah Kebingungan

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Sesuai peraturan dari Pemda DIY, terhitung mulai 1 Mei 2020 semua armada sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul wajib menggunakan dump model hidrolis (pengungkit, red). Untuk mematuhi aturan tersebut, sebagian anggota Paguyuban Armada  Sampah ‘Eker-eker Golek Menir’ mengambil hutang ke bank untuk membuat hidrolis tersebut. Untuk setiap unit biayanya Rp 15 juta hingga Rp 20 juta.

“Dengan kondisi keuangan yang ada di pribadi kami para pemilik armada sampah, jelas ini berat ketika harus membuat hidrolis. Maka kami berhutang ke bank untuk keperluan tersebut,” kata Sodik Murwanto, Ketua Paguyuban, didampingi penasihat paguyuban, Rustam Fatoni SPd, kepada koranbernas.id di depo sementara milik paguyuban di Desa Jambidan, Banguntapan, Bantul, Kamis (7/5/2020) siang.

Setidaknya ada 25 orang, dari 150 anggota yang mengajukan pinjaman dan kemudian membuat dump hidrolis. Selain itu, pihak paguyuban juga mengupayakan membeli truk dump hidrolis baru sebanyak 2 unit dengan harga ratusan juta. Juga sewa lahan kerjasama, serta pembuatan jalur masuk ke lokasi depo agar mudah dilalui kendaraan. Juga sarana pendukung agar sampah tidak berceceran dan menimbulkan bau bagi warga sekitar.

Maka saat aturan resmi diberlakukan 1 Mei, untuk kendaraan yang non-hidrolis harus membawa sampah ke depo sementara. Selanjutnya sampah dipindah ke dump truk milik paguyuban. Dalam sehari 20 hingga 30 armada secara bergiliran yang melakukan transfer depo atau langsiran. Mereka kemudian membayar restribusi untuk keperluan operasional di depo sementara.

Ternyata, baru beberapa hari aturan diberlakukan, di lokasi TPST  armada non-hidrolis diijinkan masuk. Sehingga yang melakukan langsiran ke depo sementara hanya beberapa armada saja.

“Kondisi ini tentu saja membingungkan kami. Kenapa aturan dibuat, namun pelaksanana tidak konsisten. Kalau memang mau diberlakukan aturan, ya terapkan. Jika tidak, ya agar dicabut, sehingga semua armada non-hidrolis bisa masuk ke sana,” kata Sodik.

Sedangkan Fatoni mengatakan, dengan tidak konsistenya penerapan aturan oleh petugas, maka yang terkena imbasnya adalah paguyuban. Padahal sudah banyak anggota yang berhutang untuk membuat hidrolis. Paguyuban juga sudah membeli dump truk untuk langsiran yang penyiapan lahan depo sementara dengan daya dukung akses jalan yang baru selesai dibuat.

“Kalau seperti ini, kami ini benar-benar kasihan. Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan operasional kendaraan, kami masih harus membayar cicilan ke bank karena terlanjur pinjam,” katanya.

Jika satu armada punya 100 pelanggan dengan rata-rata iuran Rp 25.000, maka sebulan mereka mendapat Rp 2,5 juta. Jika dibagi biaya operasional dengan seminggu tiga kali pengambilan sampah, maka sisanya hanya cukup untuk makan keluarga saja.

“Jadi saya meminta ketegasan dari pemerintah dalam penegakan aturan ini,” katanya.

Jika diterapkan, maka harus ada petugas yang mengawasi di TPST Piyungan. Jika tidak akan dilaksanakan, maka aturan harus dicabut sehingga semua armada non-hidrolis boleh masuk ke lokasi.

“Kalau aturan dicabut, ya kami akan jual truknya. Dengan konsekuensi kami mengalami kerugian,” katanya.

Dirinya berharap pemerintah benar-benar memperhatikan mereka. Sebab armada sampah juga berperan penting dalam kehidupan masyarakat. (eru)