Rancangan Perpres Penanganan Aksi Terorisme Menuai Kritik

Rancangan Perpres Penanganan Aksi Terorisme Menuai Kritik

KORANBERNAS.ID, JAKARTA – Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur tugas TNI mengatasi aksi terorisme secara resmi dikirim Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly ke DPR RI pada 4 Mei 2020.

Sebelum memperoleh persetujuan dari wakil rakyat, rancangan perpres itu rupanya sudah menuai kritikan dari beberapa pihak, salah satunya Ketua Setara Institute, Hendardi.

Melalui rilisnya, Senin (11/5/2020), dia menilai dari draft yang beredar, perpres yang disusun pemerintah itu keluar jalur dan melampaui substansi norma pasal 43I ayat 1, 2, dan 3.

Disebutkan, pada intinya tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Detailnya kemudian didelegasikan untuk diatur dalam Perpres.

“Sebagai sebuah regulasi turunan dari Pasal 43I, penyusunan rancangan perpres tidak boleh melampaui ketentuan yang secara tegas diatur dalam pasal 43I yang merupakan dasar hukum rancangan perpres tersebut,” kata dia.

Pemerintah seharusnya menerjemahkan mandat delegasi dari norma tersebut. Yaitu, menyusun kriteria dan skala ancaman, jenis-jenis terorisme, teritori tindak pidana terorisme, prosedur-prosedur pelibatan, termasuk mekanisme perbantuan terhadap Polri dan akuntabilitas pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme.

“Di luar lingkup tersebut, rancangan perpres ini baseless atau tidak memiliki dasar hukum,” jelasnya.

Menurut Hendardi, draft perpres juga mengikis kewenangan konsultatif DPR dan kewenangan presiden untuk mengeluarkan keputusan presiden terkait pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang.

Dia berpendapat rancangan perpres juga berpotensi men-sabotase tugas-tugas yang selama ini dijalankan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang merupakan leading sector pencegahan dan pemulihan atau deradikalisasi.

Selain itu, juga bisa merusak pemberantasan terorisme dalam kerangka sistem peradilan pidana yang selama ini dijalankan oleh Polri.

Sebagai gambaran, salah satu tugas TNI yang digambarkan dalam rancangan perpres tersebut adalah pelaksanaan operasi teritorial dalam rangka penangkalan, sebagaimana diatur pada pasal 4.

Setara Institute meminta DPR dan Presiden Jokowi menolak rancangan perpres ini, apalagi dibahas di tengah pandemi virus Corona atau Covid-19 yang nyaris mempersempit ruang komunikasi publik dan komunikasi politik yang sehat.

Hendardi menegaskan apabila rancangan perpres itu disahkan sebagaimana rumusan draft yang beredar,  maka DPR dan Presiden Jokowi dapat dikualifikasi melanggar undang-undang dan konstitusi. (sol)