Polemik Kedudukan Polri
Oleh: Despan Heryansyah
Dalam perhelatan pemilu presiden dan pemilu kepala daerah lalu, Polri diduga kuat menjadi aktor yang dimanfaatkan oleh penguasa, untuk memenangkan calon-calon kepala daerah tertentu. Keterlibatan itu dalam bentuk yang bervariatif, baik melalui cara-cara kasar tradisional, maupun cara halus yang tidak tertuju langsung pada tujuan. Apa yang paling tampak selama ini dilakukan adalah dengan menyandera kepala desa atau dengan sebutan lain, agar menggerakkan masyarakat desa untuk memilih calon yang dikehendaki. Cara-cara halus menyandera kepala desa misalnya dengan mengunjungi si kepala desa atau memanggil kepala desa dan menanyakan tata kelola penggunaan anggaran atau laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran desa. Sedangkan cara-cara kasar yang selama ini tampak adalah dengan “mengancam” akan mentersangkakan kepala desa atau mempermasalahkan proyek desa tertentu, jika calon kepala daerah yang didukung tidak menang.
DUGAAN keterlibatan aktif, sistematis, dan masif Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dalam pemilihan umum Presiden pada April 2024 dan pemilihan umum kepala daerah 27 November lalu, berujung pada munculnya kembali usulan reformasi kelembagaan dan kewenangan Polri. Dugaan tampilnya Polri dalam agenda politik praktis nasional, memang sudah menjadi rahasia umum, kini telunjuk tertuju pada Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Sigit Listyo Prabowo, dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.
Dalam perhelatan pemilu presiden dan pemilu kepala daerah lalu, Polri diduga kuat menjadi aktor yang dimanfaatkan oleh penguasa, untuk memenangkan calon-calon kepala daerah tertentu. Keterlibatan itu dalam bentuk yang bervariatif, baik melalui cara-cara kasar tradisional, maupun cara halus yang tidak tertuju langsung pada tujuan. Apa yang paling tampak selama ini dilakukan adalah dengan menyandera kepala desa atau dengan sebutan lain, agar menggerakkan masyarakat desa untuk memilih calon yang dikehendaki. Cara-cara halus menyandera kepala desa misalnya dengan mengunjungi si kepala desa atau memanggil kepala desa dan menanyakan tata kelola penggunaan anggaran atau laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran desa. Sedangkan cara-cara kasar yang selama ini tampak adalah dengan “mengancam” akan mentersangkakan kepala desa atau mempermasalahkan proyek desa tertentu, jika calon kepala daerah yang didukung tidak menang.
Pada sisi lain, kepala desa yang disandera tersebut juga tidak memiliki banyak pilihan selain menuruti permintaan aparat. Mengapa demikian? Karena tata kelola pemerintahan desa yang masih lemah dan minim akuntabilitas. Data menunjukkan pada tahun 2023 saja, terdapat 187 kasus korupsi anggaran desa, dan diperkirakan mengalami peningkatan signifikan pada tahun 2024. Jika dihitung sejak tahun 2015, di mana anggaran desa pertama kali dikucurkan, kasus penyalahgunaan anggaran telah mencapai 851 kasus. Kasus penyalahgunaan anggaran yang selesai “di belakang” tidak dibawa ke proses pradilan, ada jauh lebih banyak. Artinya, memang ada masalah yang serius dalam pengelolaan pemerintahan desa. Baik yang terjadi karena ketidaktahuan terhadap aturan, kelalaian, atau kesengajaan menyimpangkan dana desa untuk memperkaya diri sendiri. Itulah mengapa, hampir semua kepala desa saat ini sangat takut berurusan dengan aparat penegak hukum. Kondisi ini yang dibaca sangat baik oleh penguasa dan diduga kemudian penguasa memanfaatkan institusi Polri untuk menjalankan agenda politiknya, menggunakan celah buruk muka tata kelola pemerintahan desa ini.
Reformasi Kelembagaan Polri
Apa yang tampak dalam permukaan pilpres dan pilkada ini memunculkan kekecewaan banyak pihak, anggota DPR RI dari fraksi PDI-P mengusulkan agar mereformasi kelembagaan Polri dengan mengembalikannya di bawah Tentara Nasional Indonesia atau Kementerian Dalam Negeri. Dengan demikian, penyelenggaraan tugas dan fungsi Polri dapat dikontrol, terutama yang berkaitan dengan agenda politik praktis.
Kritik sekaligus usulan ini harus dibaca sebagai alarm darurat bagi kelembagaan Polri dan situasi reformasi Polri yang justeru mundur ke belakang. Sebagai alat negara dan pengayom masyarakat, Polri sejatinya menjadi tonggak penguat sekaligus pelindung pelaksanaan negara hukum dan demokrasi. Bukan sebaliknya, menjadi alat kepentingan politik praktis, menurut kehendak elit tertentu. Bahkan, dalam konteks pengembangan demokrasi, keberadaan Polri dalam Sentra Gakkumdu selama ini, dianggap justeru melemahkan keberadaan Gakkumdu, karena ditunggangi oleh kepentingan elit tertentu.
Namun demikian, munculnya aspirasi mengubah posisi kelembagaan Polri di bawah TNI sebagaimana pada masa Orde Baru adalah gagasan keliru dan bertentangan dengan Konstitusi RI. Usulan agar Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri juga bertentangan dengan semangat Pasal 30 ayat (2) dan (4) UUD Negara RI 1945. Ketentuan ini mengatur bahwa usaha keamanan rakyat dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Hakikat Polri sebagai alat negara kemudian ditafsirkan dalam UU Polri yakni menjadi berkedudukan di bawah Presiden, sehingga tanggung jawab pelaksanaan keamanan dan ketertiban nasional dilakukan kepada Presiden. Penting diingat, bahwa pemisahan TNI dan Polri sebagaimana TAP MPR No. VI/MPR/2000 adalah amanat reformasi yang harus dijaga. Gagasan pengembalian posisi Polri sebagaimana di masa lalu dapat mengundang banyak penumpang gelap yang berpotensi merusak tata kelembagaan negara di bidang keamanan, ketertiban dan penegakan hukum (Hendardi: 2024).
Namun demikian, kedudukan Polri di bawah presiden, harus di baca dalam konteks administrasi dan rumpun kekuasaan. Presiden bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan dan negara, Polri berkontribusi dalam mewujudkan tanggung jawab tersebut. Ini tidak berarti bahwa Polri tidak memiliki independensi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Justeru, dalam konteks penegakan hukum, siapa pun tidak dapat mencampuri kewenangan Polri. Polri harus independen dan menegakkan hukum berdasarkan standar objektif yang kuat. Begitu pun dalam hal tugas dan fungsi dalam menjaga pemilihan umum sebagai implementasi dari kedaulatan rakyat betul-betul dilindungi dari campur tangan siapa pun, termasuk campur tangan penguasa yang ingin mencurangi proses pemilu.
Dalam konteks menjaga Polri agar tetap independen dan terhindar dari kesewenang-wenangan dalam menjalankan wewenang, tugas, dan fungsinya, dibentuklah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai instrumen pengawasan permanen atas tugas-tugas Polri dalam menjalankan fungsi perlindungan dan pengayoman, menjaga keamanan dan ketertiban dan menjalankan fungsi penegakan hukum. Namun, kelembagaan, kewenangan dan komposisi Kompolnas hari ini tidak cukup kuat, sehingga tidak dapat berbuat banyak. Sebaliknya, selama ini, Kompolnas justeru dianggap sebagai “tukang stempel” atau “pembenar” segala gerik dan kebijakan Polri.
Akhirnya, mitigasi atas apa yang tampak dalam penyelenggaraan pilpres dan pilkada sebagai akibat dari lemahnya kelembagaan dan person Polri, harus dilakukan. Jika tidak, ini akan menjadi preseden buruk yang akan terus berulang pada pemilu pilkada pada masa depan. Namun demikian, kita juga harus berhati-hati agar tidak terjebak pada sikap emosional dan mengembalikan Polri dalam kegelapan masa orde baru. **
Despan Heryansyah
Dosen dan Peneliti PSHK Fakultas Hukum UII