Perpustakaan Harus Menarik Bukan Seperti Gudang Buku

Perpustakaan Harus Menarik Bukan Seperti Gudang Buku

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Perpustakaan adalah gudang ilmu. Itu idealnya. Namun tidak sedikit perpustakaan di Provinsi DIY terutama perpustakaan sekolah kondisinya seperti gudang buku.

Persoalan itu itu terungkap saat berlangsung Public Hearing Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Perpustakaan, Kamis (3/9/2029), di DPRD DIY.

Seorang peserta, Sri Winarsih, mengungkapkan rata-rata perpustakaan sekolah ruangannya terbatas. Setiap tahun koleksi buku paket bertambah. Ironisnya buku paket lama sulit dihapus dari daftar inventarisasi.

“Lama-lama menjadi gudang buku. Namanya gudang itu pasti tidak menarik,” ujarnya di hadapan Ketua Panitia Khusus (Pansus) raperda tersebut, Novida Kartika Hadhi didampingi Wakil Ketua Pansus, Lilik Syaiful Ahmad.

Persoalan lain, lanjut Sri, perpustakaan sekolah seolah-olah dipaksa menyandang status terakreditasi. Padahal akreditasi perpustakaan merupakan barang mahal lagi mewah. Di sisi lain perpustakaan sekolah harus ngopeni di luar institusi. Biayanya mahal.

Beberapa sekolah bahkan fobia saat diminta maju akreditasi. Banyak instrumen maupun prosedur yang harus terpenuhi. “Tolong kami diberi kejelasan,” pintanya.

Masukan serupa disampaikan Suryadi. Wakil dari Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri  Bantul ini prihatin atas minimnya koleksi buku cerita berhuruf Braille. Begitu pula Salwiasih dari SLB Pembina Yogyakarta seperti merasa sedih perpustakaan SLB kurang memperoleh perhatian. “Letaknya di pojok sulit diakses,” ungkapnya.

Sarwono yang datang ke DPRD DIY mewakili pustakawan menyatakan sepakat perpustakaan harus menjadi salah satu bagian dari keistimewaan DIY.

Sedangkan Hestianto dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) DIY mengakui industri penerbitan buku merosot sampai 70 persen. Beberapa anggotanya mencetak buku muatan lokal namun tidak dipakai padahal sudah mengantongi SK Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY. “Buku kami malah banyak dibeli Jawa Tengah,” kata dia.

Merespons beragam masukan tersebut, Novida Kartika Hadhi maupun Lilik Syaiful Ahmad menyatakan inilah tantangan Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPAD) DIY untuk menjadikan perpustakaan sebagai gudang referensi dan literasi.

Lilik Syaiful Ahmad mengajak foto selfi salam literasi usai public hearing. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Zaman berubah

Memang, zaman berubah. Ada kecenderungan masyarakat lebih nyaman membaca lewat HP dan internet. DPAD DIY harus bisa memberikan kiat-kiat agar masyarakat senang membaca.

“Perpustakaan harus kekinian dan nyaman untuk rekreasi anak-anak zaman sekarang. Misalnya ada tempat ngopi, sehingga tidak lagi sebagai tempat menakutkan,” kata Novida.

Apabila dimungkinkan DPRD DIY siap mendorong Pemda DIY menggunakan Dana Keistimewaan (Danais) untuk pengembangan perpustakaan. Tidak sedikit perpustakaan menyimpan naskah-naskah kuno.

Novida menyatakan, masukan dari masyarakat akan sangat berguna bagi DPRD DIY untuk menambah referensi pembahasan Raperda tentang Penyelenggaraan Perpustakaan. Setelah disahkan menjadi perda diharapkan implementasinya lebih mudah.

Output dari raperda ini adalah mempermudah pemustaka atau masyarakat, termasuk kita juga mendorong penggunaan teknologi digital,” kata dia.

Lilik menambahkan dengan raperda ini diharapkan tercipta perpustakaan DIY yang istimewa, cerdas dan mencerdaskan masyarakat. “Poin pentingnya, raperda ini mengatur semuanya mulai dari digitalisasi hingga akses bagi disabilitas dan sebagainya,” kata dia.

Kepala DPAD DIY, Monika Nur Lastiyani, sepakat orang datang ke perpustakaan tidak harus baca buku-buku serius tetapi bisa juga rekreasi baca komik.

Di Provinsi DIY terdapat 4.237 perpustakaan, 273 di antaranya terakreditasi atau 6,64 persennya. Pemda DIY berwenang mengelola 555, sebanyak 134 di antaranya atau 24,14 persen sudah terakreditasi.

Selaku narasumber, Sri Rohyanti Zulaikha dari Universitas Islam Indonesia (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta setuju perpustakaan bukanlah sekadar rak buku yang membosankan melainkan sebagai wahana belajar sepanjang hayat dan rekreasi ilmiah masyarakat.

DIY sebagai Kota Pelajar, kata dia, banyak memiliki perpustakaan maupun program studi (prodi) perpustakaan. Diharapkan perda itu nantinya klop dengan keinginan masyarakat. (*)