Perlu Solusi Permanen Atasi Kekeringan di DIY
KORANBERNAS.ID – Kekeringan di Provinsi DIY yang terjadi sangat luas tahun ini cukup memprihatinkan. Warga di daerah-daerah kekeringan terpaksa membeli air.
Seluruh armada tangki pemerintah daerah intensif melakukan droping air, bahkan siang malam turun ke daerah-daerah terpencil.
“Saya sangat menghargai rekan rekan BPBD, PU ESDM dan semua instansi terkait yang sudah bekerja maksimal melaksanakan droping air,” ungkap Huda Tri Yudiana, Wakil Ketua DPRD DIY, Rabu (16/10/2019).
Namun, kata dia, memang kekeringan terjadi sangat luas sehingga banyak daerah yang belum tercukupi. “Saya tahu teman-teman semua lembur droping air,” ujarnya.
Lembaga sosial bahkan partai politik pun sudah terjun ke lapangan.
Dia sepakat, kekeringan tahun ini meski menjadi pelajaran bersama untuk mempercepat program mengatasi kekeringan secara permanen.
Salah satunya dengan pembuatan sumur bor di tempat-tempat yang memungkinkan.
Huda menjelaskan, saat ini sudah terdapat 167 sumur bor yang dibangun dengan dana APBD DIY maupun pemerintah pusat.
Berdasarkan studi, masih diperlukan lebih dari 300 sumur bor di daerah prioritas satu dan dua. Khusus daerah prioritas satu yang betul betul-betul belum ada sumber air perlu 159 sumur bor dalam.
Sisanya daerah prioritas dua. Jumlah ini masih mungkin bertambah, karena akan dilakukan studi lagi untuk solusi permanen daerah prioritas dua dan tiga.
Tahun 2020 sudah dianggarkan sekitar Rp 4 miliar untuk membuat Survey Investigation Design (SID) sebagai prasyarat pembangunan sumur. “SID ini untuk persiapan membangun sekitar 150-an titik di tahun berikutnya,” tambahnya.
Satu sumur bor perlu anggaran sekitar Rp 500 juta sehingga total tahun 2021 perlu sekitar Rp 75 miliar dari APBD maupun APBN.
Pengelolaan
Tahap berikutnya tergantung studi yang dilakukan tahun depan. “Intinya semua daerah yang bisa dibangun sumur bor kita dorong segera dibangun agar bisa mengatasi kekeringan secara permanen,” tandasnya.
Selain itu aspek pengelolaan sumur bor juga perlu memperoleh perhatian. “Setelah dibangun saya usulkan untuk diserahkan ke pemerintah desa agar pengurusannya dekat dan dibentuk kelompok-kelompok pengelola,” kata Huda.
Dengan begitu, kelompok pengelola yang berasal dari masyarakat pengguna merasa memiliki sumur tersebut.
“Jika tidak diserahkan ke pemdes urusannya rumit dan panjang jika ada masalah. Seperti terjadi di beberapa titik saat ini. Ada sumur ditutup warga karena konflik padalahal sangat dibutuhkan,” kata dia.
Pemdes sulit menyelesaikan konflik karena bukan aset milik desa. Solusinya, perlu pengorganisasian yang baik pada masyarakat terbawah dan menyerahkan aset ke pemerintah desa.
“Contoh di Prambanan ada dua sumur bor milik BBWSO yang ditutup warga sekitar karena miskomunikasi. Sampai sekarang belum selesai karena aset itu masih milik BBWSO sehingga instansi yang di bawah tidak berwenang,” kata Huda. (sol)