Penjabaran Keteladanan Nabi Ibrahim dalam Konteks Keindonesiaan

Penjabaran Keteladanan Nabi Ibrahim dalam Konteks Keindonesiaan

HARI raya Idul Adha, selalu diperingati oleh umat Islam di seluruh dunia pada tanggal 10 Dzulhijah. Indonesia sebagi negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, tentu semarak merayakannya pula.

Terlepas adanya perbedaan penentuan waktu antara Pemerintah dan Muhammadiyah untuk hari H Idul Adha tahun 1443 H, layak diingatkan, agar peribadatan apapun yang dilakukan terkait hari raya itu, wajib dengan niat semata-mata karena dan demi ridha Allah SWT. Kemurnian niat ini perlu dijaga betul-betul. Tak selayaknya, peribadatan dilakukan karena tunduk atau patuh kepada selain Allah SWT. Lebih dari itu, persatuan umat Islam wajib dijaga, jangan sampai terkoyak hanya karena perbedaan pendapat itu.

Pada saat-saat yang sarat dengan hikmah ini, pastilah sosok Nabi Ibrahim a.s. dikenang untuk dijadikan teladan bagi siapa pun yang senantiasa mengharapkan keselamatan, pahala, dan perlindungan Allah SWT pada hari Kemudian (QS.al-Mumtahanah: 6). Dua peribadatan yang senantiasa melekat pada sosok Khalilullah (kekasih Allah) dan Abdul Anbiya (bapaknya para Nabi) ini adalah: ibadah haji dan kurban. Bagi siapa pun yang ingin hajinya mabrur dan kurbannya diterima Allah SWT, perlu menyimak baik-baik keteladanan sosok agung ini.

Di rentang lebih luas, keteladanan beliau menjangkau seluruh segi kehidupan (habmul minallah maupun hablum minanas). Tak kurang dari itu, bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila, perlu menjabarkan keteladanannya itu hingga termanifestasikan (diamalkan) sebagai perilaku konkrit sehari-hari, untuk semua urusan, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, hingga bangsa.

Pertama, Nabi Ibrahim a.s. merupakan sosok pembawa panji-panji tauhid. Perjalanan hidupnya sarat dengan dakwah kepada tauhid dan segala liku-likunya (QS al-Mumtahanah: 4-5). Beliau selalu mengajak umatnya kepada jalan Allah SWT, serta mencegah mereka dari sikap taklid buta terhadap ajaran sesat nenek moyangnya (QS al-Anbiya: 52-58). Sebagai bapaknya agama tauhid, Nabi Ibrahim a.s. merupakan nabi yang paling populer di dalam praktek keberagamaan umat Islam. Hanya nama Ibrahim yang disandingkan dengan nama Muhammad di dalam bacaan shalawat. Di Indonesia, ketauhidan itu telah terpateri pada Sila Ke-Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah maka berulang-ulang saya nyatakan bahwa siapa pun yang menjalankan ajaran agama Islam dengan benar, sama maknanya dengan telah mengamalkan Pancasila dengan benar.

Kedua, Nabi Ibrahim a.s. adalah seorang imam. ”Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai imam (panutan) bagi seluruh manusia. Dia (Ibrahim) berkata, ”Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang dzalim (QS.al-Baqarah: 124). “Sesungguhnya Ibrahim adalah ummah (seorang imam yang dapat dijadikan teladan) patuh kepada Allah dan (hatinya) cenderung kepada kebaikan. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (Q.S. al-Nahl: 120). Berpijak pada dua ayat di atas, secara tersirat, segenap imam (tokoh-tokoh bangsa) di negeri ini, wajib meneladankan kepatuhannya terhadap hukum-hukum Allah SWT. Jangan sampai ada hukum yang dibuat dan dipraktekkan secara sekuler. Sebagai penjabaran Sila-Ke 2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, orientasi ketokohan maupun kepemimpinan harus tertuju untuk kebaikan (kesejahteraan, keadilan, dan keharmonisan) kehidupan seluruh rakyat dalam naungan ridha Allah SWT.

Ketiga, Nabi Ibrahim a.s. menjadi uswah hasanah bagi anggota keluarga dan pengikutnya. Perjalanan hidupnya merupakan cermin pendidikan keagamaan orang tua terhadap anak cucunya (QS al-Baqarah: 132). Bahkan, Nabi Ibrahim a.s senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah SWT untuk kesalehan anak cucunya (QS Ibrahim: 35 dan 40). Pun pula, Nabi Ibrahim a.s. adalah seorang anak yang amat berbakti kepada orang tuanya (Azhar), dan selalu menyampaikan kebenaran kepadanya dengan cara yang terbaik (QS Maryam: 42-45). Ketika sang bapak, si pembuat patung Tuhan, menyikapinya dengan keras, Nabi Ibrahim a.s tetap santun, dan berdoa untuk kebaikan ayahnya (QS Maryam: 47). Uswah hasanah demikian itu, merupakan cermin pribadi manusia beradab, sekaligus cermin perilaku saling menghormati, mengedepankan pentingnya persatuan di antara semua pihak, walaupun keyakinannya berbeda.

Keempat,  Nabi Ibrahim a.s. adalah cermin keteladanan seorang ayah dalam hal ketaatan dan keimanan bagi dua nabi (dengan dua ibu yang berbeda), yaitu Nabi Ismail (dari bunda Hajar) dan Nabi Ishaq (dari bunda Sarah). Kepada anak-anak dan isteri-isterinya senantiasa dibuka ruang dialog setiap ada permasalahan sebelum diambil keputusan. Perintah langsung Allah SWT untuk menyembelih sang anak, diberinya ruang dialog bagi anaknya (Ismail) untuk berpendapat (QS as-Saffat: 102). Prinsip pembinaan rumah tangga didasarkan pada perintah Allah SWT. Ketika Nabi Ibrahim a.s membawa isterinya (Hajar) beserta anaknya ke Makkah yang tandus dan belum berpenghuni, ditanyakan kepadanya: "Apakah Allah yang memerintahkanmu berbuat seperti ini?' Ibrahim menjawab, 'Ya'. Maka (dengan serta-merta), Hajar mengatakan, 'Kalau begitu Dia (Allah) pasti tidak akan menyengsarakan kami'."(Shahih Bukhari No.3364).

Kelima, keteladanan Nabi Ibrahim a..s. bermakna sebagai ibrah hasanah, yaitu pembelajaran yang ideal. Artinya, keteladanannya sebagai model terbaik pembelajaran karakter bagi umat Islam dalam menjalani aktivitas keberagamaannya, utamanya ketika menghadapi terpaan ideologi-idelogi menyesatkan. Kekuatan ibrah hasanah ini terletak pada akidah dengan prinsip tauhid yang benar, tidak kenal komproni terhadap praktek-praktek keberagamaan yang sinkretis dan politis. Pengukuhan Nabi Ibrahim a.s sebagai teladan (panutan) merupakan amanah ilahiyyah. Integritas, konsistensi, dan komitmen bertaqwa (patuh terhadap perintah-Nya maupun menjauhi larangan-Nya), merupakan poin penting untuk posisi terhormat baginya dan bagi keturunannya.

Sesungguhnya, dalam konteks keindonesiaan, dulu para founding fathers telah menanamkan fondasi kokoh, agar perilaku beragama yang hanif - sebagaimana diteladankan Nabi Ibrahim a.s.-  berkembang (ngrembaka) sebagai way of life bangsa. Sejarah dan fitrah Pancasila, sebagai catatan emas, menunjukkan gambaran jelas dan komprehensif, tentang integritas teologis Nabi Ibrahim a.s. yang wajib dijabarkan sebagai perilaku konkrit, dalam lingkup pribadi, masyarakat, maupun bangsa.

Peringatan hari raya Idul Adha semoga bukan sekadar ritual rutinitas belaka, melainkan menjadi momentum yang sarat dengan bukti-bukti penjabaran keteladanan Nabi Ibrahim a.s. dalam kehidupan bernegara Indonesia. Wallahu’alam. **

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, SH, M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM