Pendidik Genjot Literasi Matematika lewat Forum Internasional

Pendidik Genjot Literasi Matematika lewat Forum Internasional

KORANBERNAS ID, YOGYAKARTA -- Pelajaran matematika yang sulit, rumit dan tidak menyenangkan adalah stigma lama yang tidak mudah dihilangkan. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab rendahnya literasi matematika masyarakat Indonesia dibanding negara-negara lain.

"Ternyata ini mungkin masih menjadi masalah di kita [Indonesia] karena kalau kita lihat pengukuran nilai literasi matematika di assessment PISA itu kita masih kurang baik," sebut Puji Iryanti, selaku Koordinator Pokja Peningkatan Kompetensi PPPPTK Matematika di sela-sela 2nd International Seminar on Mathematics Teaching and Learning (ISMaTeL), Rabu (27/10/2021) di Grand Rohan Dafam, Yogyakarta.

PISA atau Programme for International Student Assessment a merupakan studi internasional yang diselenggarakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk menguji performa akademis siswa sekolah yang meliputi literasi dasar dalam bidang membaca, matematika, dan sains.

Indonesia yang telah bergabung dan mengikuti tes PISA sejak tahun 2000 belum berada di peringkat yang menggembirakan. Sejak awal bergabung, hasil capaian PISA Indonesia selalu berada pada level bawah.

Nilai PISA Indonesia di tahun 2018 kemampuan membaca siswa Indonesia meraih skor rata-rata 371 dari rata-rata skor OECD yakni 487. Kemudian untuk skor rata-rata matematika mencapai 379 dari skor rata-rata OECD 487. Selanjutnya untuk sains, skor rata-rata siswa Indonesia mencapai 396 dengan skor rata-rata OECD yakni 489.

"Maka kita harus mengubah keadaan itu, tapi kita tidak bisa mengubahnya secara cepat. Kita memang tidak pasang target yang instan, tetapi kita akan mulai memperbaiki sedikit demi sedikit dan itu dari pembelajaran karena itu tidak bisa langsung bisa terlihat," lanjutnya.

Dengan seminar Internasional ini, lanjut Puji, pihaknya akan melakukan pembelajaran mulai dari cara guru untuk menyadarkan siswanya, untuk lebih melek terhadap literasi matematika untuk konstektual sehari-hari.

"Literasi matematika ini adalah tentang bagaimana siswa itu menggunakan pengetahuan matematika untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari," terangnya.

Literasi matematika ini bukan hal baru sebenarnya, hanya beda istilah. Di Indonesia sudah memulai dengan PMRI atau pendidikan matematika realistik Indonesia. Tetapi yang kita lihat sekarang memang cara mengajarkan jika dari PISA itu memang bagus.

"Itu yang perlu kita adaptasi dan kita implementasikan, yang menjadi kendala adalah jika guru tidak punya pemahaman untuk menyampaikan itu, jadi gurunya digarap dulu," katanya.

Kemampuan Berpikir Tinggi Diasah

Sementara Plt Kepala PPPPTK Matematika Hari Suryanto menambahkan, Pihaknya berusaha untuk mengatasi masalah-masalah itu dengan melakukan pelatihan. Latihannya itu adalah pelatihan keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam pembelajaran matematika, berorientasi PISA.

"Disitu nanti guru akan mencoba mengerjakan contoh soal sejenis soal PISA," imbuhnya.

Sebenarnya keterampilan berpikir tingkat tinggi ini sudah dilakukan sejak 2018, yang sering jadi masalah itu soal PISA atau kerangkanya itu selalu berubah setiap 3 tahun sekali. Frameworknya itu dari periode ke periode tidak sama karena mengikuti perkembangan zaman.

"Selalu ada unsur kebaruan, nah disitu itu soalnya yang sudah integrated dengan TI-nya," kata Hari.

Selain itu, lanjut Hari, pandemi juga mau tak mau menyebabkan learning lost bagi dunia pendidikan di tanah air. Untuk mensiasati itu pihaknya memberikan materi-materi yang esensial, materi-materi yang pokok dalam segala keterbatasan ini.

Intinya itu adalah kreativitas guru dalam mengawal kelas, karena keterbatasan waktu dan keterbatasan lain yang bisa terjadi. Misal tidak semua siswa masuk, jadi ini terkait dengan bagaimana guru tersebut melihat situasi di kelas serta cara melihat bagaimana kemampuan siswa tersebut.

"Orangtua juga harus maklum terhadap tahapan-tahapan anak, karena belajar secara daring yang dilakukan selama 2 tahun ini tentu sangat sangat berbeda dengan pembelajaran tatap muka sebelum pandemi," tandasnya.(*)