Pemimpin Bijak pada Zaman Edan

Pemimpin Bijak pada Zaman Edan

PERINGATAN Ranggawarsita tentang zaman edan, hemat saya, relevan diaktualisasikan kembali di negeri ini. Betapa tidak. Negeri ini sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Banyak permasalahan akut dihadapi, tak kunjung terselesaikan. Bahkan, permasalahan-permasalahan lain bermunculan, semakin parah.


Ambil contoh, soal minyak goreng. Menteri Perdagangan, Kepolisian, Kejaksaan, bahkan Presiden turun tangan. Tetapi hasilnya nol. Harga minyak goreng tetap tinggi. Jeritan rakyat tak direspons secara bijak. Karena kewalahan, Menko Kemaritiman dan Investasi diserahi untuk membereskan masalah ini. Bukankah ini edan?! Segala urusan diserahkan kepadanya.


Di bidang politik praktis, ada indikasi, kecenderungan, para pengamat dan tokoh politik, berpikir dan pragmatis (walau tidak etis), yakni: berpikir ke arah figur Presiden tahun 2024. Betapa riuh, penokohan figur-figur tertentu. Tokoh itu diiklankan seolah pantas sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Berbagai argumentasi dan prediksi dikemukakan, walaupun amat terasakan, kedangkalan logika, dan sempitnya wawasan.


Bukan hanya itu saja. Pengisian Pejabat Bupati/Walikota, atau Pejabat Gubernur pun, terindikasi dikaitkan dengan kepentingan politis tahun 2024 itu. Kolaborasi ataupun keretakan antar-partai, bahkan perpecahan internal partai politik, juga erat kaitannya dengan perbedaan kepentingan politis tahun 2024.


Fenomena-fenomena demikian, pada ranah politik dianggap lumrah saja. Bukan barang baru. Bukan pula suatu yang ditabukan. Para aktor dan pendukungnya, takut tidak kebagian (keduman), sehingga mereka ngedan bareng-bareng. Mereka telah lupa diri (lali), dan sama sekali tidak waspada. Di balik itu semua, ada persoalan mendasar yakni: benarkah fenomena demikian, dapat dipandang benar menurut ukuran akhlak kepemimpinan, ataukah sekadar benar karena larut terbawa arus (keli) pada zaman edan?


Kahlil Gibran, dalam puisi berjudul “Raja Bijak Bestari”, secara imajiner berturur tentang kejadian yang dialami seorang raja kuat, lagi bijak, di sebuah kota bernama Wirani. Di kota itu, ada sebuah sumur. Airnya dingin dan mengkristal. Semua penghuni, bahkan raja dan anggota istana, minum dari air sumur tersebut.


Suatu malam, sorang tukang sihir, menuangkan tetes cairan aneh ke dalam sumur tersebut. “Mulai detik ini, orang yang minum air sumur ini, akan menjadi gila”, katanya. Benar. Orang-orang yang meminumnya menjadi gila. Di jalan-jalan, riuh, orang-orang gila menuduh raja dan bendaharawan negara telah gila. Mereka berteriak “Rakyat tak mau dipimpin orang gila”. Berubahlah, gerakan gila itu menjadi semacam people power. Minta agar raja turun tahta.
Padahal, ketika itu, justru raja dan bendahara negara, sama sekali tidak minum air sumur yang telah diracuni tukang sihir itu. Maka raja, berusaha untuk menetralkan kepanikan. Diperintahkanlah, piala emas, diisi air sumur, dan dibawa kepadanya. Diperlihatkan pada semua orang, air itu diminumnya. Raja dan bendahara, ternyata sehat akal budinya. Rakyat pun mempercayainya kembali.


Dari kisah imajiner di atas, terdapat saripati nasihat yang layak direfleksikan ke dalam kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Pertama, sumur, sebagai sumber mata air, tak ubahnya sumber informasi. Setiap orang, baik warga negara maupun penyelenggara negara, butuh informasi sebagai nutrisi spiritual kehidupan. Informasi yang jernih, murni, dan proporsional, amat bermanfaat untuk diolah menjadi pemikiran, sikap dan perilaku bijak, dalam menghadapi masa depan yang lebih baik.


Kedua, sebagai bangsa, kita dihadapkan pada zaman edan, ketika informasi-informasi apapun telah diracuni oleh tukang-tukang sihir. Tukang sihir itu, dalam ranah politik disebut buzzuerRp. Mereka diangkat, dibayar, diposisikan, dan difungsikan untuk menyihir rakyat, dan menyerang kelompok lain, agar situasi menjadi chaos. Dalam kepanikan demikian, tokoh-tokoh di belakang layar buzzerRp. bisa leluasa memainkan kekuasaan, hukum, dan perangkat kenegaraan lainnya, demi kepentingan bisnis maupun politiknya.


Ketiga, pemimpin, atau calon pemimpin di negeri ini, kalau dia muslim, mestinya senantiasa super hati-hati dalam minum (menerima dan mengolah) informasi. Berkembangnya teknologi membuat informasi beredar begitu cepat. Tak ayal hal tersebut dimanfaatkan sekelompok orang demi kepentingan sesaat guna menyebarkan informasi hoaks. Namun, mengacu kepada Al Quran, seorang muslim yang beriman wajib meneliti saat menerima sebuah informasi, apakah benar atau hoaks. Bukan rahasia lagi, bahwa pada zaman edan ini, media massa mainstream, maupun media sosial, sarat dengan informasi hoaks.


Allah SWT berfirman “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu” (QS-al Hujarat: ayat 6). Ukuran kebenaran informasi tidaklah diukur dari suara mayoritas, hasil survey, intensitas pemuatan dalam media, melainkan pada ukuran yang mutlak kebenarannya, yakni al-Qur’an dan al-Hadist, sebagaimana dalam kisah di atas dianalogikan dengan piala emas.


Keempat, kepemimpinan bukanlah sekedar urusan duniawi semata, melainkan ada pertanggungjawaban hingga akhirat kelak. Karena itu, dalam menentukan kebijakan apa pun, pertimbangan-pertimbangan pemimpin tidak boleh sesempit urusan duniawi, politis, binsis, atau ekonomi saja. Diperlukan wawasan luas. Hal demikian, supaya kebijakan pemimpin benar-benar mampu melahirkan kemaslahatan semua pihak. Semua kebijakan dan implementasinya, mesti dapat dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada bangsanya, dan secara vertikal kepada Allah SWT. Ingatlah pesan moral Nabi Muhammad SAW, bahwa “Tiap-tiap kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR Bukhari).


Kelima, telah banyak bukti empiris, bahwa ketika pemimpin istiqomah (konsisten pada tuntunan kitab suci dan ajaran nabi), maka zaman edan, huru-hara, people power, atau chaotic situation manapun,  dapat dinormalkan kembali, tanpa menyisakan sampah permasalahan. Kepercayaan rakyat yang murni sebagai suara Tuhan, akan muncul kembali. Vox populi, vox Dei.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dibutuhkan figur pemimpin bijak. Pemimpim yang paham betul bahwa situasi dan kondisi negara saat ini, tidak baik-baik saja, melainkan zaman edan. Oleh sebab itu, pemimpin – dalam tingkat struktur manapun, entah di pusat ataupun di daerah – mesti mampu mengelola, mengendalikan, dan mengarahkan segala energi kebangsaan, demi terwujudnya visi dan misi negara, sebagaimana terpateri dalam Pembukaan UUD 1945.


Selayaknya kita tanamkan dalam sanubari, saripati sabda Nabi SAW, "Jika Allah menghendaki kebaikan suatu kaum, dijadikan pemimpin-pemimpin mereka orang yang bijaksana dan dijadikan ulama-ulama mereka menangani hukum dan peradilan. Allah jadikan harta benda di tangan orang-orang yang dermawan. Namun, jika Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, Dia menjadikan pemimpin-pemimpin mereka orang yang berakhlak rendah. Dijadikan-Nya orang-orang dungu yang menangani hukum dan peradilan, dan harta berada di tangan orang-orang kikir." (HR. ad-Dailami).


Simaklah baik-baik, tanda-tanda zaman edan yang terhampar di negeri ini. Sak beja-bejane wong kang lali, isih beja wong kang eling lan waspada. Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, SH, M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM