Paradoks Demokrasi dan Politik Elitis

Paradoks Demokrasi dan Politik Elitis

DEMOKRASI sangat mudah ditumpangi oleh oligarki; akibatnya terjadi bias kepentingan antara kepentingan rakyat ataupun kepentingan elit. Pernyataan Bambang Pacul beberapa waktu lalu, yang mengarah pada dominasi ketua partai politik dalam proses pengambilan keputusan dan sikap partai politik bukan dari kebutuhan dan kepentingan masyarakat, semakin melegitimasi tesis ini. Lalu apakah yang bisa diharapkan dari demokrasi?

Mental Korup dan Celah Hukum

Menurut M Friedman (1975) proses penegakan hukum mengikuti insting dasar manusia, yakni pertimbangan untung dan rugi. Hal yang sama bisa dilihat pada pragmatisme politik, yang cenderung diambil oleh masyarakat hari ini dengan menerima tawaran transaksional, ketimbang gagasan idealitas yang sulit mereka percaya selama proses politik melalui pemilihan umum.

Sistem tranksaksional ini meneguhkan bahwa demokrasi seperti yang diungkapkan oleh Robert A Dahl (1989) adalah sebuah “pasar”, namun transaksi kepentingan yang muncul bukanlah suara dengan idealitas politik yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat, sebaliknya transaksi “pembelian” suara melalui money politic yang diberikan oleh masyarakat (supply) untuk melegitimasi kepentingan politik (demand). Akhirnya, demokrasi ini sebatas pada formalitas bukan substansialitas di mana yang diliihat adalah “jumlah kepala” bukan “isi kepala”.

Larangan money politic sebenarnya sudah diatur melalui Pasal 523 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, namun ada beberapa catatan terhadap aturan ini di antaranya: a) secara lex creta ketentuan ini tidak memberikan batasan minimum pemidanaan, namun hanya maksimal pemidanaan, sehingga menimbulkan celah hukum dalam kacamata lex stricta berpotensi ketidakjelasan standar pemidanaan; b) pengaturan ini hanya ditujukan pada “si pemberi” dan tidak mengatur “si penerima” padahal relasi keduanya adalah satu kesatuan yakni suplly and demand; dan c) tindakan money politic pada dasarnya dikategorikan sebagai tindakan korup namun kenapa tidak dimasukkan bagian dari tindak pidana korupsi (tipikor).

Paradoks Ganda Demokrasi Langsung

Sistem pemilihan saat ini dengan proporsional terbuka merupakan salah satu bentuk demokrasi langsung, di mana masyarakat tidak lagi membeli “kucing dalam karung” melainkan secara terbuka mengetahui siapa calon yang akan dipilihnya. Tidak ada masalah dengan hal ini, namun seharusnya bangsa kita belajar dari sejarah masa lalu.

Sejarah mencatat, dimulainya money politic di masyarakat yakni adalah saat dimulainya sistem pemilihan kepala desa secara langsung pada era kolonial kepemimpinan Thomas Stanford Rafles (1811-1816). Bahkan koran-koran kolonial banyak menyoroti kasus suap menyuap dan jual beli suara dalam proses politik kepala desa ini. Seakan tidak belajar, sistem pemilihan langsung yang menjadi problem lokal ini kemudian dibawa ke level nasional.

Akibatnya, demokrasi langsung melahirkan paradoks ganda antara “suara rakyat” atau “suara pemodal”? Demokrasi a la ini kemudian bukan melahirkan meritokrasi melainkan moneycracy yang kemudian membunuh demokrasi dan melanggengkan oligarki. Dalam konteks ini, kemudian harus diinsyafi bahwa demokrasi langsung membutuhkan prasyarat atas kapasitas intelektual dan ekonomi yang terjamin, sehingga masyarakat bawah tidak lagi tergiur pada iming-iming uang.

Politik Elitis dan Masa Depan Politik Indonesia

Sistem kepartaian mau tidak mau memang akan mendorong terbentuknya elit politik, namun tidak berarti cara politik elitis dibenarkan. Gaya kepemimpinan elitis yang mendorong pada oligarki kekuasaan telah terbukti membawa dampak negatif terhadap penyelenggaraan negara di Indonesia, terutama isu korupsi dan tidak terakomodirnya ruang-ruang partisipatif bagi masyarakat.

Hal ini semakin diperparah dengan dibuatnya sistem proporsional terbuka yang membuat transaksi jual beli suara yang awalnya di kalangan tertentu semakin merata ke seluruh rakyat, sehingga proses demokrasi bukan lagi sebagai ajang pendidikan politik namun dapat berubah menjadi legitimasi atas budaya korup di masyarakat.

Di satu sisi, masyarakat tidaklah bisa disalahkan namun sistem yang mendorong akan hal inilah yang perlu untuk dievaluasi. Jika money politic adalah salah satu bentuk tindakan korup, maka seharusnya politik hukum terhadap kebijakan pemidanaannya diarahkan pada tipikor, bukan pidana umum. Perubahan regulasi menjadi fokus utama, karena regulasi yang kemudian nantinya digunakan sebagai dasar perubahan tingkah laku masyarakat (law as tool of social engineering).

Perubahan kebijakan pemidanaan dari pidana umum menjadi tipikor nantinya diharapkan mampu mengubah paradigma politik nasional. Kesatu adalah berkurangnya money politic, sehingga mendorong meritokrasi dan demokratisasi, akibatnya proses politik yang bersih lebih menjamin munculnya pejabat politik yang bersih karena tidak ada “dosa politik” dan kedua adalah fungsi elit partai dalam proses politik lebih mendorong pada proses kaderisasi dan filterisasi yang menjaga idealitas partai politik bukan pada batasan permodalan. ***

Ilham Yuli Isdiyanto, S.H., M.H.

Direktur Pusat Kajian Sejarah dan Pembangunan Hukum Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (PKSPH FH UAD)