Energi Terbarukan untuk Mengatasi Permasalahan Iklim Global
SECARA ilmiah, perubahan iklim telah terjadi sepanjang sejarah dengan perubahan yang natural atau alamiah. Iklim bumi telah berubah sepanjang sejarah. Pada 800.000 tahun terakhir, telah terjadi delapan siklus lapisan es yang menjadi lebih hangat, dengan akhir zaman es berakhir sekitar 11.700 tahun yang lalu. Kejadian ini menjadi tanda awal dari era iklim modern dan peradaban manusia. Sebagian besar perubahan iklim ini dikaitkan dengan variasi yang sangat kecil dalam orbit bumi yang mengubah jumlah energi matahari yang diterima planet kita. Namun, pada era iklim modern yang menjadi faktor perubahan iklim sudah tidak lagi dipengaruhi oleh faktor alam. Faktor yang menjadi alasan terjadinya perubahan ilkim beralih pada perilaku manusia. Pertumbuhan populasi dari manusia dan juga perubahan perilaku menjadi faktor yang menyebabkan perubahan iklim modern.
Pada era setelah renaissance, kebanyakan negara-negara di Eropa mulai melakukan perubahan dan revolusi di segala aspek kehidupan. Perubahan di bidang ekonomi juga tidak terlepas dari upaya ini. Inggris menjadi negara pertama di kawasan Eropa yang mengawali revolusi ini. Setidaknya ada tiga alasan mengapa Inggris lebih dulu memulai Revolusi Industri. Ketiga faktor tersebut di antaranya adalah faktor sumber daya alam, faktor sumber daya manusia, dan juga faktor modal. Didukung dengan kondisi politik di Inggris yang relatif lebih tenang dibandingkan negara-negara tetangganya. Penemuan mesin uap pada era sekitar tahun 1760-an hingga 1840 menandai terjadinya Revoulusi Industri. Sejak saat itu telah terjadi perubahan secara masif dalam aspek usaha produksi yang beralih dari manusia ke era perindustrian mesin. Seluruh proses produksi mulai beralih ke arah perindustrian yang menggunakan mesin yang ditenagai oleh bahan bakar tak terbarukan. Bahan bakar ini berasal dari temuan fosil berupa batu bara, minyak tanah, maupun minyak dari olahan fosil bumi.
Setelah Inggris berhasil dalam melakukan revolusi industrinya, negara-negara di Eropa barat dan Amerika tidak mau ketinggalan. Mereka juga memulai revolusinya untuk mengubah sistem perekonomian mereka dengan mengalihkan proses produksinya menggunakan mesin yang ditenagai oleh bahan bakar tidak terbarukan ini. Peralihan ini dipercepat dengan terjadinya masa perang dunia pertama yang terjadi pada 1917-1918. Dalam masa perang peralihan industri dituntut secara paksa untuk melakukan perubahan dengan jangka waktu yang singkat. Negara-negara yang terlibat dalam perang menuntut agar proses produksi senjata dan alusista perang untuk dipercepat. Saat kondisi perang terjadi pengeboran bahan bakar fosil yang menjadi bahan bakar untuk proses produksi juga semakin digencarkan.
Perubahan ini tentunya tidak tanpa konsekuensi. Penggunaan bahan bakar fosil yang tidak terbarukan nyatanya memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Out put yang dihasilkan dari pembakaran inilah yang akan berdampak pada lingkungan. Pembakaran bahan bakar fosil tidak terbarukan menghasilkan gas emisi CO2. Pelepasan gas emisi CO2 yang berlebihan nantinya akan berdampak pada penipisan lapisan ozon yang melindungi bumi dari radiasi sinar matahari. Gas emisi CO2 juga dapat mencemari udara yang nantinya berdampak pada polusi udara. Selain itu proses pengeboran dan penambangan yang dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan bahan bakar fosil ini dari dalam bumi telah meninggalkan kerusakan. Daerah-daerah yang menjadi bekas pengeboran atau pun penambangan bahan bakar fosil ini mengalami pencemaran yang parah. Apa yang terjadi adalah pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh upaya yang dilakukan manusia untuk mendapatkan bahan bakar fosil yang satu ini. Proses ini juga menghasilkan limbah-limbah yang mencemari lingkungan jika tidak diolah secara benar.
Selain digunakan pada perindustrian, bahan bakar fosil juga digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Penggunaan bahan bakar fosil sebagi pembangkit listrik ini menjadikan daerah perkotaan sebagai kontributor utama untuk perubahan iklim. Menurut PBB, kota mengkonsumsi 78 persen energi dunia dan menghasilkan lebih dari 60 persen emisi gas rumah kaca. Namun, ironi nya adalah daerah perkotaan hanya memiliki bagian yang kurang dari 2 persen dari permukaan bumi. Kepadatan orang yang mengandalkan bahan bakar fosil membuat populasi perkotaan sangat rentan terhadap efek perubahan iklim. Terdapat lebih sedikitnya ruang hijau di perkotaan juga memperburuk masalah. Menurut laporan IPCC, membatasi pemanasan global menjadi 1,5 derajat Celcius akan "membutuhkan transisi cepat dan menjangkau jauh dalam penggunaan energi, tanah, infrastruktur kota dan infrastruktur (termasuk transportasi dan bangunan), dan sistem industri."
Penggunaan bahan bakar fosil sebagai bahan bakar untuk memproduksi pembangkit listrik di perkotaan menimbulkan masalah polusi udara. Polusi, yang sebagian besar adalah sebagai hasil produk sampingan lanskap perkotaan, juga masih berhubungan dengan perubahan iklim. Perubahan iklim dan polusi udara diperburuk dengan terbakarnya bahan bakar fosil, yang meningkatkan emisi CO2, penyebab pemanasan global. Pada Oktober 2018, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan dalam laporan bahwa 93 persen anak-anak di dunia menghirup udara berpolusi setiap hari. Menurut laporan tersebut, 1,8 miliar anak yang menghirup udara yang sangat tercemar, sehingga membuat kesehatan dan perkembangannya terancam dengan resiko yang parah dan serius. WHO memperkirakan pada 2016, terdapat 600.000 anak yang meninggal karena infeksi pernapasan bawah akut yang diakibatkan penghirupan udara yang sudah tercemar. Laporan ini menyoroti bahwa "Lebih dari 40% populasi dunia – yang mencakup 1 miliar anak di bawah 15 – terpapar tingkat polusi udara rumah tangga yang tinggi dari terutama memasak dengan teknologi dan bahan bakar yang mencemari." Di negara-negara berkembang, wanita sering mengandalkan batu bara dan biomassa bahan bakar untuk memasak dan memanasi, menempatkan mereka dan anak-anak mereka berisiko lebih tinggi terhadap efek rumah kaca. Efek perubahan iklim akan berdampak lebih buruk di antara komunitas orang miskin dan berpenghasilan rendah, sebagian karena banyak yang hidup pada margin masyarakat, dalam struktur yang tidak stabil, dan di daerah yang lebih rentan terhadap banjir, tanah longsor, gempa bumi, tetapi juga karena kapasitas yang tidak memadai, tidak cukup sumber daya dan pengurangan akses ke sistem respons darurat. Ini bahkan lebih jelas di negara-negara berkembang.
Solusi yang dapat kita lakukan bersama dalam mengatasi masalah ini adalah dengan mengganti sumber bahan bakar dan energi yang lebih ramah lingkungan. Bisa disepakati bahwa bahan bakar fosil bukan lah bahan bakar yang sustainable. Dampak yang ditimbulkannya ke lingkungan sudah jelas memperburuk keadaan yang sudah ada. Peralihan sumber bahan bakar fosil ke sumber bahan energi yang terbarukan merupakan solusi yang mau tidak mau harus diambil. Kita tidak mau dampak dari perubahan iklim ini nantinya akan menyebabkan bencana dan permasalahan global. Upaya ini sebenarnya juga sudah mulai dilakukan oleh berbagai negara-negara di dunia. Salah satu buktinya adalah penandatanganan Perjanjian Paris yang dihadiri oleh 195 negara terkait penanganan perubahan iklim. Pertemuan ini diadakan di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, pada hari Jumat, 22 April 2016. Dalam pertemuan ini mereka sepakat bahwa perubahan iklim merupakan masalah yang urgen dan harus segera ditangani. Masing-masing negara memiliki kewajiban untuk menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca mereka. Karena isu ini merupakan isu global, maka dari itu seluruh partisipasi negara-negara di dunia ini menjadi sangat penting. Negara dengan penduduk yang padat serta perindustrian yang masif menjadi perhatian yang khusus dalam pertemuan ini. Pasalnya mereka lah yang menyumbangkan gas emisi yang tinggi terhadap lingkungan. Masalahnya gas emisi yang mereka hasilkan tidak hanya berpengaruh terhadap negaranya saja. Namun, gas emisi yang tinggi juga mempengaruhi perubahan iklim di seluruh belahan dunia. Jadi diharapkan untuk seluruh negara untuk mulai merubah dan beralih ke bahan bakar energi yang terbarukan dan mulai meninggalkan bahan bakar energi fosil yang merusak lingkungan.
Terdapat berbagai cara untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Sebagai contoh kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh Denmark. Anggota parlemen di Denmark sudah mencapai titik kesepakatan terkait iklim yang dirancang untuk merealisasikan pemenuhan target pengurangan emisi gas karbon hingga 70 persen pada tahun 2030. Sebagai konteks saat ini Denmark sudah menempati posisi pertama negara dengan emisi karbon terendah di dunia. Dalam kesepakatan ini, Anggota parlemen telah mencapai sebuah kesepakatan untuk membangun pulau energi pertama di dunia. Pembangunan ini ditujukan untuk menciptakan sumber energi yang terbarukan. Sementara itu, dukungan yang diperoleh dari Kementerian Iklim Denmark mengatakan, bahwa investasi akan dialokasikan untuk upaya penangkapan karbon dan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Untuk selanjutnya, dalam perjanjian ini juga merincikan penurunan harga bahan bakar terbarukan serta menaikkan harga bahan bakar fosil. Oven minyak dan gas pribadi akan dihapus dan diganti dengan alternatif yang lebih ramah lingkungan. Pembangunan stasiun untuk pengisian ulang kendaraan listrik akan tersedia lebih banyak lagi. Penyediaan stasiun pengisian kendaraan listrik ini diharapkan akan meningkatkan masyarakat untuk beralih kepada kendaraan dengan bahan bakar listrik daripada kendaraan yang berbahan bakar fosil. Kebijakan-kebijakan dalam kesepakatan ini telah mendapat dukungan luas di seluruh lini partai di parlemen. Ini menjadikan Denmark berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 3,4 juta ton dalam satu dekade berikutnya.
Kesimpulannya adalah, sebagai respon dari perubahan iklim yang terjadi, masyarakat di seluruh dunia harus dengan sigap mengambil aksi. Masalah perubahan lingkungan adalah masalah yang kita hadapi bersama dan harus dicari solusi bersama. Dengan mengedukasi diri sendiri terkait perubahan lingkungan, serta melakukan aksi-aksi kecil yang bisa membantu memperbaiki keadaan. Dampak dari pemanasan global dari perubahan iklim juga sudah kita rasakan sekarang ini. Mulai dari pencairan es di kutub yang menyebabkan naik nya permukaan air laut. Suhu di bumi yang semakin panas karena penipisan ozon. Pencemaran lingkungan akibat limbah hasil industri. Udara di perkotaan yang semakin tercemar akibat banyaknya gas emisi serta berkurangnya tumbuhan hijau. Hingga kebakaran hutan yang menghilangkan sebagian daerah hijau di dunia yang berfungsi sebagai paru-paru dunia. Semua hal tersebut merupakan dampak dari pemanasan global yang disebabkan oleh perilaku kita sendiri sebagai manusia yang mengelola bumi ini. Pikirkan apa yang akan terjadi pada bumi setelah kita tinggalkan. Apakah bumi akan menjadi tempat yang lebih buruk untuk generasi penerus kita? Tentunya kita tidak mau itu terjadi dan menimpa bumi kita. Maka dari itu kita sebagai manusia harus mengubah pola hidup kita yang sekiranya bisa merusak lingkungan. Dengan menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan, kita membantu penurunan gas emisi penyebab pemanasan iklim global yang sedang kita alami saat ini. **
Aisyah Adhira M.V
Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional Fisipol UMY