Jangan Berkhianat terhadap Negara
Oleh: Sudjito Atmoredjo
Keadaban, merupakan realitas dinamis. Kualitas dan akselerasinya, dipengaruhi oleh ilmu. Antara adab dan ilmu terus-menerus berkelindan, saling pengaruh-mempengaruhi secara resiprokal. Kehidupan akan mengalami kemajuan, progresivitas, bila didukung ilmu. Hakikat ilmu adalah kebenaran. Fungsinya, sebagai lentera dan pemandu kehidupan. Kehidupan manusia, akan bahagia, jauh dari penderitaan, bila orientasinya pada kebenaran. Jangan pernah dusta, curang, berperilaku tercela.
TELAH viral, kabar tentang 5 tokoh NU muda, bertemu Presiden Israel Isaac Herzog. Ke-5 Nahdliyin itu adalah Zainul Maarif, Munawir Aziz, Sukron Makmun, Nurul Bahrul Ulum, dan Izza Annafisah Dania. Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) menegaskan ke-5-nya sudah diberhentikan. "Urusan ke luar negeri itu urusan besar, dan harus sesuai koordinasi, serta sepengetahuan PBNU. Komitmen PBNU tidak berubah. Tetap mendukung kemerdekaan Palestina," tandasnya (detikJatim, Jumat, 19 Juli 2024).
Terhadap kejadian itu, muncul pertanyaan di WhatsApp “Apakah ke-5 pemuda yang bertemu Presiden Israel dapat digolongkan pengkhianat negara?”. Maaf. Sejujurnya saya tidak kompeten menjawab pertanyaan sensitif itu. Analisis di bawah ini, semoga menjadi optik bagi pembaca untuk menyimpulkan sendiri.
Setahu saya, kata “pengkhianat negara” pernah dilontarkan oleh Mahfud MD. Ketika beliau masih menjabat sebagai Menkopolhukam, di acara wisuda Universitas Pancasila di JCC, Jakarta, Kamis (9/11/2023). Antara lain dikatakannya, untuk menjaga ketahanan suatu negara, hukum harus ditegakkan dengan benar. Di mana-mana, negara itu hancur, kalau hukum tidak ditegakkan dengan benar. Ketika hukum dikondisikan dan dibuat sebagai alat tipu-tipu, dan pejabat-pejabat negara tidak melaksanakan hukum dengan baik, maka dia berkhianat terhadap bangsa dan negara.
Pernyataan itu diulangi ketika beliau sudah lengser. Dalam wawancara di Nusantara TV, Sabtu (13/7/2024), dikatakannya: Semua pemimpin yang tidak taat konstitusi adalah pengkhianat. Diformulasikan ke dalam hukum, ketika sudah ditangkap dan divonis, pengkhianat itu penjahat.
Dengan rasa hormat atas prestasi maupun keterbatasan capaian Mahfud MD sebagai Menkopolhukam, saya tergerak menganalisis perihal “pengkhianat negara” dari perspektif Negara Hukum Pancasila.
Khianat (khiyanah) berasal dari bahasa Arab “khaana-yakhuunu”, artinya seseorang diberikan amanat tetapi tidak dilaksanakan. Khianat merupakan sepertiga tanda-tanda orang munafik. Perbuatan ini tercela, hina, dan jahat. Ajaran agama, etika, moral, akhlak, hukum, melarangnya.
Dalam berbagai kesempatan saya kemukakan bahwa untuk Indonesia, hukum yang benar adalah hukum yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila. Diawali dari hukum yang berasal dari Tuhan (al-Haq - sila ke-1). Hukum-hukum lain di bawahnya, dapat dipilih atau dibuat melalui musyawarah-mufakat (sila ke-4), sesuai dengan konteks zamannya, dan demi terjaganya persatuan (sila-ke-3).
Konsistensi pada hukum yang benar itu merupakan adab. Itulah bagian utama dari akhlak. Setiap manusia di negeri ini, wajib berupaya menjadi manusia beradab. “Kemanusiaan yang adil dan beradab” (sila ke-2), wajib dijadikan sumber inspirasi dalam membuat, melaksanakan, menegakkan hukum. Buah dari politik hukum demikian adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5).
Keadaban, merupakan realitas dinamis. Kualitas dan akselerasinya, dipengaruhi oleh ilmu. Antara adab dan ilmu terus-menerus berkelindan, saling pengaruh-mempengaruhi secara resiprokal. Kehidupan akan mengalami kemajuan, progresivitas, bila didukung ilmu. Hakikat ilmu adalah kebenaran. Fungsinya, sebagai lentera dan pemandu kehidupan. Kehidupan manusia, akan bahagia, jauh dari penderitaan, bila orientasinya pada kebenaran. Jangan pernah dusta, curang, berperilaku tercela.
Dengan parameter tersebut di atas, marilah kita lihat, adakah pengkhianatan terhadap negara pada tiga tahapan bernegara hukum.
Pertama, pembuatan hukum. Kapan hukum itu dibuat? Kalau ada kebutuhan untuk itu. Artinya, jangan mengada-adakan hukum yang bukan merupakan kebutuhan bangsa. Sebelum kita berbangsa dan bernegara, di negeri ini sudah ada hukum Tuhan, hukum adat, kebiasaan, konvensi. Hukum-hukum itu perlu diakui, dipelihara, diaktualisasikan pada zaman kemerdekaan. Jangan dibuang, disingkirkan, atau diganti dengan hukum sebagai produk politik.
Hukum positif (perundang-undangan) dikatakan benar bila, pembuatannya memperhatikan aspek-aspek religius, sosial-budaya, ilmu-pengetahuan, dan teknologi. Tidaklah dibenarkan bila hukum dibuat hanya demi kepentingan politik praktis saja, serta merta menjadikan hukum bersifat sekuler.
Pengkhianatan terhadap negara terjadi ketika para pembuat hukum (legislator) di tingkat Pusat maupun Daerah, tidak memperhatikan kaidah-kaidah terurai di atas. Dengan kata lain, pengkhianatan terhadap negara dapat ditemukan, ketika ada hukum-hukum positif sebagai produk politik yang substansinya sekuler, nir wawasan kebangsaan, nir nilai-nilai Pancasila.
Kedua, pelaksanaan hukum. Hukum dibuat untuk dilaksanakan atau diberlakukan. Pelaksananya disebut eksekutif. Presiden, beserta para menteri, dan aparatur di bawahnya, adalah eksekutif. Pelaksanaan hukum yang Pancasilais, wajib didukung dengan profesionalitas dan kejujuran. Sumpah jabatan wajib ditaati.
Apa yang terjadi? Pelaksanaan hukum sarat dengan penyelewengan. Hukum dimain-mainkan untuk korupsi, dan menekan (menggusur) rakyat. Para pembuat kebijakan pro asing dan para koruptor, serta kroni-kroninya, jelas mereka pengkhianat negara. Di antara mereka, sebagian sudah ditangkap, diadili, dan divonis sebagai penjahat. Akan tetapi fenomena gunung es mengindikasikan, penjahat yang belum tertangkap jauh lebih banyak. Baik yang belum maupun yang sudah divonis pengadilan, seluruhnya adalah pengkhianat negara.
Ketiga, penegakan hukum. Pada ranah ini, untuk kasus-kasus pidana, berperan penting aparat Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Advokat. Untuk kasus perdata, kasus tata usaha negara, dan lain-lainnya, begitu banyak profesi hukum terlibat atau dilibatkan. Seluruh aparat penegak hukum itu, wajib bekerja sesuai kode etik organisasi masing-masing, berpedoman pada hukum negara, dan memperhatikan suara keadilan masyarakat.
Telah menjadi rahasia umum, bahwa mafia peradilan, backing oleh oknum aparat, permainan hukum, dan berbagai tindak tercela lainnya, masih sering (biasa) terjadi dalam penegakan hukum. Kiranya tidak salah, bila aparatur-aparatur penegak hukum demikian, terkategorikan sebagai pengkhianat negara.
Perlu diingat bahwa pengkhianatan terbesar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah pengkhianatan oleh rezim penguasa. Mereka bertindak sesuka nafsunya, sibuk mencari keuntungan pribadi, ingkar terhadap amanah penderitaan rakyat, lalai terhadap tugas-tugas dan tanggung-jawabnya.
Dengan semangat Pancasila, pesan moral artikel ini adalah berbhaktilah kepada negara. Jangan berkhianat. Bila pengkhianat-pengkhianat tidak mempan diingatkan, kiranya layak dikucilkan, dimiskinkan, dan dipenjarakan seumur hidup.
Ingat. Di akhirat kelak, ada barisan orang-orang bertanda pengenal sebagai pengkhianat. Mereka digiring, dan dimasukkan ke dasar/kerak neraka jahanam. Diazab selama-lamanya. Wallahu’alam. ***
Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.
Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM.