Mudik, Dinamika dan Sikap Bijak Masyarakat

Mudik, Dinamika dan Sikap Bijak Masyarakat

MUDIK merupakan tradisi tahunan. Dilakukan menjelang hari raya idul fitri. Berbagai problema sering dijumpai pemudik. Problema transportasi bagi keluarga atau perorangan misalnya, berupa kemacetan. Bagi mereka yang menggunakan transportasi umum, tiket mesti dibeli jauh sebelum hari H. Harga tiket pun telah melambung tinggi. Dihadapkan pada berbagi problem dan sekaligus keterbatasan masing-masing, maka pemudik mesti bijak dalam menentukan pilihannya.

Dilansir dari ugm.ac.id, Senin (10/4/2023), dijelaskan oleh seorang antropolog bahwa mudik berasal dari bahasa Melayu "udik" yang artinya hulu atau ujung. Awal mula mudik berasal dari tradisi masyarakat Melayu yang tinggal di hulu sungai pada masa lampau sering bepergian ke hilir sungai menggunakan perahu atau biduk. Setelah urusan mereka selesai di hilir, maka akan kembali berbondong-bondong pulang ke hulu pada sore harinya.

Kini, mudik telah menjadi tradisi yang berisikan kegiatan-kegiatan seseorang atau sekelompok orang pulang ke desa atau kampung halaman. Tradisi ini, awalnya digunakan oleh pemeluk agama Islam, terkait dengan momen lebaran (idul fitri). Mereka merasa bahagia bila bisa merayakan hari raya itu bersama-sama keluarga dan sanak saudara di tanah kelahirannya.

Hemat saya, mudik sebagai fenomena sosial, memang bergerak dinamis. Dinamika berlangsung seiring dengan perkembangan ilmu, teknologi, alat transportasi, alat komunikasi, maupun kondisi sosial-ekonomi. Contoh, ketika masa pandemi Covid-19, tradisi mudik berlangsung secara virtual. Video Call, WhatsApp, dan berbagai sarana komunikasi sejenis, menjadi salah satu pilihan silaturahmi. Bentuk-bentuk pilihan komunikasi itu ditentukan berdasarkan pertimbangan rasional. Misal, demi pencegahan penularan penyakit atau karena keterbatasan keuangan.

Dinamika lainnya, adalah pilihan, akankah mudik membawa uang tunai, ataukah uang elektronik? Masyarakat perlu super hati-hati. Betapa pun uang elektronik sangat praktis penggunaannya, namun jika uang elektronik yang tersimpan dalam “kartu elektronik tidak teregister” itu hilang, maka hilang pula uang seluruhnya.

Ihwal pilihan membawa uang tunai ataukah elektronik, masyarakat perlu berpikir matang. Pilihlah transaksi uang yang paling aman. Aspek keamanan ini penting dikedepankan, karena kejahatan di bidang keuangan kini semakin canggih.

Kini, pandemi Covid-19 sudah reda. Masyarakat kembali mudik secara fisik. Tradisi mudik konvensional, dibangkitkan lagi. Kemesraan berjumpa secara fisik dengan keluarga, terasakan sebagai kerinduan, dan tak tergantikan dengan cara-cara virtual. Kini, mulai tahun 2023, mudik secara fisik tersebut kembali berlangsung marak di berbagai wilayah negeri ini.

Dari perspektif sosiologi hukum, perlu diberi garis tebal, bahwa tradisi mudik telah lama menjadi bagian kehidupan semua umat beragama. Bukan hanya domain muslim saja. Tanpa melihat apapun agamanya, mudik dikemas sebagai tradisi yang sarat dengan kaidah (norma) moral sosial. Apa artinya?

Pertama, rumah tabon (rumah induk) di kampung halaman dimaknakan sebagai rumah nilai-nilai (house of values). Keseluruhan nilai-nilai itu dikemas sebagai tuntunan ideal kehidupan bersama. Di dalamnya terdapat petunjuk dan pedoman, sekaligus tujuan kehidupan, bagi semua anggota trah (kerabat), agar kehidupannya bahagia lahir-batin, material-spiritual, individu-sosialnya.

Kedua, tradisi mudik diisi dengan pul-kumpul (pertemuan trah). Itulah ajang berbagi cerita, bertegur sapa, mempererat silaturahmi. Di saat itulah para pinisepuh (orang yang dituakan) memberi wejangan ihwal sangkan paraning dumadi (asal-asul kejadian),  arah atau kiblat perjalanan, dan ke mana berkesudahan. Tidak lain, dari Tuhan Sang Pencipta dan kelak kembali menghadap ke hadirat-Nya.

Diingatkan bahwa semua anggota trah yang masih hidup, ibarat dalam perjalanan jauh. Perlu bekal cukup. Perlu amalan saleh. Segala amal-perbuatan pasti dimintai pertanggungjawaban. Pahala dan dosa ditimbang. Masing-masing diberi tempat sesuai kadar amal-perbuatannya. Untuk mencapai tempat mulia (surga), disyaratkan manusia bersih dari segala noda. Karenanya, kehidupan mesti diisi dengan moralitas (akhlak) terpuji (mahmudah), baik akhlak horizontal (terhadap sesama manusia, terhadap alam-lingkungan) maupun akhlak vertikal kepada Tuhan.

Ketiga, tradisi mudik dimaknakan sebagai rambu-rambu kehidupan. Artinya, ketaatan pada rambu-rambu kehidupan, perlu dijadikan komitmen bersama, baik wujudnya perintah, anjuran, larangan maupun sanksi (hukuman) bagi pelanggarnya. Rambu-rambu itu wajib diyakini sebagai sarana perjuwudan kehidupan yang nyaman, aman, dan produktif, sekaligus terjauhkan dari konflik.

Bila anggota trah, sedang diberi amanah untuk suatu jabatan publik tertentu - di lembaga ekskutif, legislatif, yudikatif, lainnya - pengawasan atas amanah dan kinerjanya, layak dilakukan oleh keluarga besar trah. Atas kendali trah, maka tak sekali-kali dimungkinkan anggota trah berperilaku tercela, jahat, ataupun sesat.

Ketika pesan-pesan moral saat mudik dijadikan sebagai way of life, dan dijabarkan ke dalam perilaku keseharian, dapat dibayangkan betapa indahnya pelayanan publik oleh birokrasi, penegakan hukum oleh aparat kepolisian, perawatan pasien oleh rumah sakit, santunan orang kaya terhadap si miskin. Pastilah, tradisi mudik mampu membuahkan kesalehan sosial-kebangsaan yang tinggi.

Pada tataran teoretis maupun praktis, pada setiap masyarakat tersimpan kearifan lokal, kekuatan moral dan gagasan-gagasan cemerlang, kontekstual dengan dinamika mudik. Ada ungkapan ”negara mawa tata, desa mawa cara”, artinya kemajemukan tradisi mudik merupakan keniscayaan. Alangkah indahnya, bila semua warga negara dan penyelenggara negara mampu menjabarkan nilai-nilai sosial-religius tradisi mudik dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itulah maka penguatan dan dinamisasi tradisi mudik, perlu dikembangkan melalui desain terencana, sesuai perkembangan zaman.

Las but not least, belajar langsung dari perilaku konkret masyarakat, sering ditemukan kearifan-kearifan sosial yang unik dan membumi.  Dulu, kemajemukan kearifan sosial itu telah digali dan diirumuskan oleh founding fathers sebagai dasar falsafah bangsa, yaitu Pancasila.

Kedewasaan ber-Pancasila dikatakan meningkat apabila tradisi mudik senantiasa dijiwai nilai-nilai Pancasila dan diamalkan oleh komunitas trah masing-masing, hingga mewarnai kehidupan berbangsa. Wujudnya berupa perilaku berkatrakter sosial-religius. Selamat menyongsong  hari raya idul fitri 2023 M (1444 H). Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM.