Pembangunan Ekonomi dan Wajah Hukum Indonesia

Pembangunan Ekonomi dan Wajah Hukum Indonesia

DALAM dinamika perdebatan ilmu hukum, ada satu doktrin yang sampai hari ini belum menemukan jalan tengah. Sekalipun sudah tidak relevan untuk mengategorikan sebuah negara hukum modern menjadi bagian dari salah satunya saja secara hitam-putih, tanpa diinfiltrasi oleh prinsip doktrin yang lainnya.

Doktrin itu berangkat dari pertanyaan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, apakah hukum merupakan variabel yang “dipengaruhi” atau sebaliknya hukum adalah variabel yang mempengaruhi. Jika hukum adalah variabel yang dipengaruhi, maka hukum menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat, hukum merupakan instrumentalisasi dari fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Dalam konteks ini, hukum adalah alat yang digunakan untuk mencapai tujuan bermasyarakat. Inilah yang oleh Recou Pound disebut dengan “law as a tool of socia engineering”, hukum adalah alat untuk merekayasa masyarakat. Namun jika hukum adalah variabel yang mempengaruhi, ia menjadi sesuatu yang sama sekali terpisah dari masyarakat, hukum berangkat dari logika nilai, asas, dan normanya tersendiri yang terpisah dari aspek sosial kemasyarakatan. Doktrin inilah yang diikuti oleh kelompok positivis yang hari ini masih memiliki akar yang cukup kuat di Indonesia.

Kausalitas Ekonomi, Politik, dan Hukum

Sebenarnya secara teoritis jawaban terkait hubungan kausalitas antara subsisten kemasyarakatan ekonomi, politik dan hukum dapat bermacam-macam, tergantung pada asumsi yang digunakan untuk memberikan jawaban tersebut.

Jika politik dilihat sebagai fenomena kekuasaan yang menjadi sumber otoritas dalam pengambilan keputusan, dapat dikatakan bahwa politiklah yang menentukan kebijaksanaan ekonomi dan kebijaksanaan hukum, karena keduanya dapat merupakan produk interaksi politik. Namun, dapat juga dilihat bahwa hukumlah yang determinan atas politik dan ekonomi, karena pada tataran idealnya hukum itu bermaksud menjadi penentu arah kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang sebagaimana penulis singgung sebelumnya, memiliki nilai, asas, dan normanya sendiri. Namun demikian, dapat juga ekonomi diposisikan sebagai independent variable yang determinan atas politik dan hukum, terutama jika subsistem ini dilihat sebagai arah dan sasaran kebijaksanaan yang menghendaki dukungan struktur politik tertentu yang berimplikasi pada munculnya situasi hukum tertentu (Moh. Mahfud MD., 1999:200).

Tanpa ingin masuk dan terjerembab dalam perdebatan doktrin di atas, asumsi dasar yang digunakan dalam tulisan ini adalah bahwa kebijaksanaan pembangunan ekonomi akan menuntut kinerja kepolitikan tertentu dan kinerja kepolitikan itu pada gilirannya akan membawa hukum pada perkembangan tertentu pula. Jadi, dalam hal ini ada tiga variabel yang dilihat hubungan kausalitasnya, yaitu kebijaksanaan pembangunan ekonomi sebagai variabel berpengaruh, kinerja kepolitikan sebagai variabel antara terpengaruh, dan perkembangan hukum sebagai variabel terpengaruh. Ketiga variabel dan hubungannya di atas, akan coba penulis relevansikan dengan program kerja dan kebijaksanaan Presiden Jokowi. Seperti yang lumrah diketahui, program utama Presiden Jokowi dengan semboyan “Kerja, Kerja, Kerja”-nya adalah pembangunan ekonomi. Fokus kebijaksanaan pemerintahan pada bidang ekonomi ini, berdampak pada kinerja politik, yang pada akhirnya melahirkan hukum dengan karakter konservatif.

Ada dua pijakan dasar argumentasi yang penulis gunakan. Pertama, istilah atau narasi yang hampir selalu digunakan sinergisitas nasional. Selain digunakan dalam komunikasi politik sehari-hari, narasi ini juga cukup kuat menghegemoni pengesahan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, jika kita mendalami risalah sidang pembahasannya. Narasi sinergisitas nasional ini menghendaki agar masyarakat dapat mengurangi kebisingan dan keriuhan, karena pemerintah sedang melakukan pembangunan. Berbagai cara kemudian ditempuh untuk mewujudkan tujuan tersebut, di antaranya adalah membangun koalisi yang gemuk untuk memuluskan rencana pemerintah di parlemen dan menciptakan sedikit ruang bagi daerah untuk mengurus dan mengelola urusannya sendiri secara mandiri dan bebas; sehingga daerah menjadi sangat bergantung pada pemerintah pusat. Jalan lain yang diambil dengan risiko yang cukup berbahaya, dalam rangka menurunkan tensi kebisingan nasional, adalah dengan melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dianggap kerap “mengganggu”. Kedua, akibatnya bagi hukum adalah muncul undang-undang yang nampak jelas sangat instrumental, mendukung kebijaksanaan ekonomi pemerintah, mengurangi kebisingan dan keriuhan politik. Untuk menyebut beberapa UU yang dimaksud, misalnya lahirnya UU Perubahan UU ITE yang banyak melahirkan kriminalisasi; Perubahan UU Ormas yang tiket istimewa kepada pemerintah untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan; Perubahan UU KPK yang justeru melemahkan KPK, dan yang paling fenomenal adalah disahkannya UU Omnibus Law.

Karakter Konservatif Hukum

Peletakan fungsi instrumental ini telah menyebabkan hukum-hukum yang diproduk pada periode ini memiliki karakter tersendiri. Karakter produk hukum itu sebagaimana telah penulis sebutkan sebelumnya adalah konservatif, suatu karakter yang ditandai oleh hal-hal berikut. Pertama, pembuatannya bersifat sentralistik atau tidak partisipatif, dalam arti lebih banyak ditentukan oleh kekuasaan eksekutif sehingga partisipasi dari kalangan masyarakat sipil tidak mendapat penyalurannya secara proporsional.

Kedua, materi muatannya tidak aspiratif tetapi bersifat positivistik-instrumentalistik, dalam arti lebih merupakan pembenaran atas pandangan/kepentingan politik dan program pemerintah. Ketiga, cakupan isinya bersifat interpretatif, di mana hanya memuat hal-hal pokok yang kemudian dapat ditafsirkan dengan berbagai peraturan rendahan oleh menteri.

Dalam hal ini, bukan berarti penulis menganggap dogma positivis lebih baik, karena memposisikan hukum pada tempat yang netral. Tapi justeru mengingatkan, memposisikan hukum sebagai variabel yang terpengaruh, jika tidak hati-hati hanya akan dijadikan sebagai alat untuk membenarkan tindakan atau kebijaksanaan pemerintah. ***

Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH.

Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta.