Mengatasi Kelangkaan Oksigen, Sekat Bisnis Diterobos

Mengatasi Kelangkaan Oksigen, Sekat Bisnis Diterobos

KORANBERNAS ID, YOGYAKARTA -- Kelangkaan tabung oksigen belakangan ini menjadi momok bagi pasien Covid-19. Tidak sedikit dari pasien mengalami fase kritis dan sangat tergantung pada pasokan oksigen tambahan. Tidak hanya menjadi kekhawatiran bagi masyarakat yang sedang menjalani isolasi mandiri di rumah, di rumah sakit besar pun kebutuhan oksigen ini menjadi perhatian khusus.

Kebutuhan oksigen di DIY rata-rata normal 20-25 ton per hari. Saat pandemi naik jadi dua sampai tiga kali lipat. Per hari di DIY perlu 55 ton oksigen dan harus kerja sama karena tidak punya pabrik.

"Dalam situasi normal, perusahaan gas yang ada bisa memenuhi kebutuhan [oksigen di DIY], ketika naik dua kali lipat pun masih bisa memenuhi, namun ketika naik hingga tiga kali lipat maka ada gangguan pemenuhan pasokan tangki tersebut," papar Tri Saktiyana, Satgas Oksigen Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY, kepada wartawan saat jumpa pers daring, Senin (5/7/2021).

"Setiap isotank yang ada di rumah sakit ada nama pemilik, yang menandakan tanki ini harus di-supply oksigen oleh siapa. Hal tersebut [saat] pada situasi normal tidak etis, jika tabung milik A diisi oksigen oleh merek B," kata Dia.

Namun Tri memastikan ketersediaan stok oksigen di DIY, Pemda akan menyediakan 55 ton per hari. Sebab saat ini kebutuhan oksigen di rumah sakit sudah naik beberapa kali lipat dari biasanya.

Tri Saktiyana yang juga merupakan Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekda DIY menambahkan, Pemda berupaya mengatasi kedaruratan stok oksigen dengan kegotongroyongan semua pihak. Karenanya diharapkan sekat bisnis dan wilayah yang jadi kendala perlu dibuka supaya masalah stok oksigen bisa tertangani dengan baik.

"Kita harus mengubah mindset yang tepat terkait kondisi darurat bahwa tanki A boleh diisi milik B. Hal ini perlu perubahan mindset yang cukup luar biasa, jadi membalikkan kebiasaan demi kemanusiaan," paparnya.

Dan ini kita komunikasikan ke para supplier di tingkat pimpinan petinggi. Namun saat pimpinan supplier mungkin sudah oke, tapi di tingkat menengah dan operasional perlu dikomunikasikan lebih intens sehingga perlu waktu.

"Tetapi yang terjadi kemarin kita sudah baik, contohnya di Sardjito, dengan penggunaan tangki yang berbeda antara pemilik dan supplier kemudian diikuti oleh RS PKU, jadi dalam kondisi darurat para pimpinan sudah sepakat, tinggal pimpinan yang mengkomunikasikan ke bawahan," lanjutnya.

"Belum lagi di internal perusahaan tersebut ada yang harus membuat surat dan sebagainya. Maka demi kemanusiaan hambatan-hambatan dan sekat birokrasi bisnis ini tidak perlu dipakai," imbuhnya.

Tri menambahkan, kalaupun bahan baku oksigen tersebut ada, ternyata masih ada kondisi lain yang perlu menjadi perhatian.

Misal alat angkut terbatas, jika alat angkut tersedia pun ternyata supir yang membawa oksigen ke rumah sakit yang membutuhkan sertifikasi khusus. Ternyata tidak semua yang memiliki keahlian menyopir truk angkut ini memiliki keahlian atau sertifikasi khusus tersebut.

"Awalnya saya berfikir bisa memanfaatkan teman-teman organda, bisa kita switch agar bisa menjadi sumber tenaga, ternyata tidak bisa, tidak semudah itu, nah inilah salah satu kendala lain yang terjadi kemarin," imbuhnya.

Tri menyampaikan, koordinasi kemarin sore, produksi oksigen untuk kesehatan yang ada di Jawa ini sudah tidak mencukupi kebutuhan untuk memenuhi lonjakan kebutuhan oksigen. Sehingga perlu switch dari usaha yang kemarin memproduksi oksigen bukan untuk medis dialihkan untuk produksi oksigen medis.

"Tetapi ternyata switch ini perlu waktu. Mungkin substansinya sama-sama oksigen tapi ternyata nozzle dan sebagainya berbeda, ini perlu waktu juga," lanjutnya.

"Saat kondisi darurat ini, kita perlu ngencengin rembug dengan rumah sakit, ngencengin rembug dengan kementerian tidak hanya kementerian kesehatan tapi juga perindustrian, juga dengan daerah-daerah," lanjutnya. (*)