Mendorong ASN Menulis

Mendorong ASN Menulis

SECARA agregat, total aparatur sipil negara (ASN) di negeri ini, merujuk data Kemenpan RB mencapai 4,2 juta orang. Sedangkan kebutuhan ASN tahun 2021 sejumlah 1,3 juta orang. Harapannya, para ASN ini punya kompetensi dan bekerja profesional.

Jalan untuk melempangkan itu, maka ASN selain dituntut cakap melakukan tugas fungsinya dengan baik, penting punya skill lain yang mendukung. Jadi, mesti punya jalan di luar jalur regular atau out of the box. Salah satu point yang menopangnya adalah kecakapan untuk menulis.

Sesungguhnya panggung menulis bagi ASN bukanlah makhluk asing di sekujurnya, karena nyaris setiap hari dunianya juga tak bisa dilepaskan dari aktifitas tulis-menulis. Ketika membuka halaman opini atau artikel, di sana kita menemukan sejumlah ASN yang juga menggeluti profesi penulis, seperti para dosen, guru, peneliti, dll. Meski sebagian kalangan menyebut menulis itu seperti halnya menelusuri jalan sunyi.

Hari ini ASN tak hanya dituntut melaksanakan tugas-tugasnya lewat step dan target yang dipasang, tapi juga harus punya kompetensi menuangkan ide-ide segarnya melalui tulisan yang bermanfaat bagi orang lain (migunani tumrap liyan). Kegiatan rapat, monitoring dan evaluasi juga butuh pelaporan atau analisis, semuanya tentu saja tak dapat diceraikan dari menulis. Apalagi, kawan-kawan yang tak pernah mengklaim diri sebagai aristek bahasa atau pemuja kata, namun sebagian besar waktunya bergumul dengan kerumunan kata-kata. Mereka inilah ASN yang acap merayakan tusi pada platform penyiapan sambutan, pidato kunci, makalah atau materi para pimpinan. Tentu menulis bukanlah lanskap yang tak pernah dilaluinya.

Pada aras yang lain, terdapat ASN yang suka tak suka mesti cakap membuat rilis maupun berita organisasinya secara menarik. Itu semua membuat mereka tak berjarak dengan profesi penulis. Profesi pokok tetap ASN, hanya tugas-tugasnya yang memberikan nilai beda dengan sebagian jagatnya menulis. Kita akui, dengan menulis sekurangnya keliaran ide-ide kreatif bisa menyembul keluar dan tidak membuat pikiran beku atau mati. Sehingga kita pun kerap menggenggam diksi, membaca kita tahu dunia dan menulis dunia tahu kita.

Saat ini menjadi momentum kebangkitan ASN untuk tidak canggung ketika bersentuhan dengan menulis. Pemerintah sekarang membuka kran selebar-lebarnya bagi ASN struktural untuk tak alergi memasuki jabatan fungsional. Dunia fungsional ini begitu memukau sekaligus menantang bagi ASN yang mungkin punya hobi menulis. Demikian juga musim pandemi covid-19 dengan kebijakan work from home yang sebagian waktunya bisa dimanfaatkan untuk mendaratkan ide-ide gilanya lewat menulis.

Lewat berbagai tulisan, berupa artkel atau opini, buku, jurnal, prosiding atau menulis di media massa, kita bisa mendapatkan angka kredit (jabatan fungsional), dan bisa menghantarkan pada usulan kenaikan jabatan/pangkat. Itulah kemudian, ASN jangan pernah berasumsi ngapain kita mesti menulis, kan sudah ada mensin pencari (google). Kita jangan sampai mendewakan teknologi, tak perlu takut bersama teknologi, apalagi memusuhi teknologi. Sekali lagi, jangan takut.

Semua orang termasuk ASN bisa menjadi penulis meskipun bukan bidangnya. Hanya bermodal semangat dan berani berkarya. Kreatifitas menjadi arus utama yang dibuktikan. Seperti pernah diutarakan novelis kesohor, Asma Nadia di salah satu harian nasional, banyak yang menganggap kemampuan menulis lahir berdasarkan bakat. Hanya jika memiliki bakatlah, seseorang akan sanggup melahirkan tulisan. Selanjutnya, muncul teori bakat genetika, misalnya bakat dari keturunan atau tumbuh sendiri dalam diri seseorang.

Berbudaya

Ada asumsi kalau menulis hanya mungkin dilakukan mereka yang punya minat dan bakat. Tanpa memiliki keduanya maka mustahil seseorang bisa menulis atau menghasilkan tulisan bahkan naskah buku. Padahal, bakat atau minat meski berperan, bukan yang utama. Tak sedikit penulis yang mengawali kerja kebudayaannya dengan menulis tanpa merasa punya modal bakat ataupun mencintai. Ada kalanya bermula hanya iseng-iseng berhadiah yang ketagihan berangsur menjadi habit positif.

Sepenggal pengalaman menulis, jalan ini seolah menjadi ciuman yang menyelamatkan dari kepedihan, menyelamatkan penulis dari ancaman DO kuliah karena kurusnya keuangan keluarga, 30 tahun kala itu. Ini berkah lain dari menulis semula sekadar iseng-iseng barhadiah berlanjut menjadi habit yang mengembirakan, serasa “ngabubuwrite”. Akhirnya, tak ada salahnya kita gelorakan menulis yang berbudaya dan membudayakan menulis, termasuk level ASN. Dijamin, nggak ada ruginya.

Intimasi menulis, kita turut memainkan peran aktor, edukator, role model, sumber belajar. Dengan menulis, ASN juga berpotensi menjadi game changer opini publik, maupun memberi ruang alternatif dan rekom kebijakan yang tidak memunggungi. Hal ini membuka kesempatan untuk memengaruhi opini masyarakat dengan menulis di media, menulis potret diri, lingkungannya maupun pekerjaannya dengan segala suka sedihnya.

Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan, menulis itu membuat setiap karya kita terdokumentasi dalam keabadian. Kita mengenal Soekarno, Mohammad Hatta, Gus Dur, Romo Mangun bahkan Ganjar Pranowo. Semua sosok ini gemar membaca dan cakap menulis. Maka, jika kita mendengarkan sambutan, pidato kunci, ceramah atau tulisannya sarat gagasan. Satu lagi, tulisannya enak dan runtut. Seperti kita sedang berbincang face to face dengan mereka.

Tibalah waktunya kita memberikan dukungan atas kerja-kerja literasi, membawa masyarakat kaya informasi. Manakala ASN menulis, sekurangnya mempraktikkan atas diktum Rene Descartes (1509-1650), yakni cogito ergo sum: saya berpikir, karena itu saya ada. **

Marjono

Penulis Buku Desaholic; Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng