ΓÇ£Manusia KarungΓÇ¥ Turun Gunung

Oleh: Marjono

Setiap menjelang Lebaran, banyak muncul pengemis baru. Mereka berburu zakat, bantuan, parcel dan sejenisnya. Padahal, belum tentu mereka memang benar-benar miskin dan memerlukan bantuan. Banyak orang seperti 'terpaksa' harus memberi demi citra diri. Problem sosial ini seperti tak akan pernah berakhir, walau berbagai upaya sudah dilakukan.

ΓÇ£Manusia KarungΓÇ¥ Turun Gunung
Marjono (istimewa).

JALANAN kita menjelang lebaran banyak disuguhi pemandangan orang-orang yang seolah hidupnya berat, yang divisualkan dengan cara mereka memanggul karung di pundaknya atau sekadar diletakkan di samping tubuh kusut sambil duduk-duduk di trotoar maupun bibir jalan. 

Mereka inilah kelompok manusia karung yang terus dan optimis mengaduk iba orang lain untuk merogoh kemanusiaannya, berupa uang, makanan, sembako atau paket lebaran lainnya. Sebelumnya, berjejalan manusia silver, manusia kardus, kemudian juga berderet manusia badut, pengamen, dst.

Etalase kemanusiaan yang dipertunjukkan para manusia karung ini beragam, bisa secara solo karier, tapi juga ada yang berkelompok 2-3 orang bahkan lebih. Coba kita jalan sedikit melambat kala melintas ruas jalan protokol di Solo, Semarang, Yogya, Jakarta dan lainnya, manusia karung tersebut dengan gampangnya bisa kita temukan, kita ajak ngobrol apalagi swafoto. Asal mereka memperoleh cuan, mereka pasti mau.

Manusia karung ini barangkali termasuk kaukus penyandang masalah sosial kota. Problematik manusia karung yang meringis di jalanan kota bukan hal baru, karena selama puluhan tahun, praktik manusia karung acap hadir pada rentang puasa Ramadan alias temporer.

Memang pada momentum bulan puasa ini, lebih mudah masyarakat kita dorong dan gerakkan menjadi kontingen kebaikan apalagi menyentuh hulu kemananusiaan kita. Misalnya, bantuan untuk takjil, bantuan buka bersama, bantuan untuk sahur anak yatim, bantuan sembako, bantuan bencana alam, berzakat, dan seterusnya.

Kadang kita dibikin ambigu dengan hadirnya manusia karung ini. Satu sisi kita merasa iba, ingin memberi sepotong roti, sebungkus nasi atau menyelipkan sedikit uang recehan di kantongnya.

Tapi, di ujung lainnya, kita berhadapan dengan perda yang melarang kita memberikan sesuatu kepada pengemis, gelandangan, pengamen, pemulung, manusia karung dan atau penyandang masalah sosial lain.

Soal manusia karung nampaknya bukan menjadi proyek abadi tapi telah menjadi PR abadi sepanjang musim pra-saat-paska lebaran idul fitri. Membaca manusia karung ini, membuka mata kita atas kemiskinan dan ketidakberdayaan yang masih menumpuk di serpihan kota, tapi kita kerap dibuat ngelus dada ketika mereka itu bukan berasal dari kelompok marjinal dan mereka ada yang mengorganisir, dikaryakan oleh kelompok tertentu bahkan datang dari luar kota.

Mental pecundang, pengemis dan miskin tak sedikit mendera masyarakat kita, seperti profesi yang mereka gumuli saat ini. DI sisi lainnya, kita juga menjumpai kelompok masyarakat yang sibuk berkeliling mencari sumbangan zakat untuk dirinya, atau gerombolan yang suka merintih minta dibuatkan kartu miskin untuk memanen sembako, beasiswa atau bantuan lainnya, padahal mereka secara ekonomi lebih dari cukup.

Pemandangan lainnya, ada saja orang kaya yang berebut dan merebut kue bantuan si miskin. Apalagi orang-orang yang secara terang-terangan merampok bantuan orang miskin lewat mengganti mereka dari list penerima bantuan/manfaat, memberi kupon bantuan palsu atau paling sadis korupsi bantuan kemanusiaan.

Mental, karakter miskin ini bahaya untuk merawat negeri ini. Maka kemudian, tentu pemerintah daerah tak tinggal diam. Tak sedikit intervensi ditempuh, seperti sosialisasi, pelatihan, bantuan keuangan, pendampingan hingga penetrasi pasar produk UMKM dari tangan binaan kelompok manusia karung, misalnya.

Negara hadir tak sekali dua, tapi selalu ada untuk warganya. Kadang kita bahkan merasa kasihan dengan pemerintah yang sudah menghabiskan anggaran tak sedikit dengan aneka bantuan yang harapannya satu, mereka punya penghasilan, berdaya dan mandiri.

Tapi apa lacur, acap kita temukan pula penyandang masalah sosial, termasuk manusia karung ini yang pernah terdata, dibina, dilatih dan dibantu, eh ternyata turun gunung lagi, merumput di bengalnya trotoar kota, di pengabnya jalanan kota.

Memang tak mudah membalik mental kere atau mental miskin ke mental kaya, mental bos. Itulah tantangan dan ujian kita bersama untuk memberdayakan mereka menjadi manusia merdeka yang berkarya dan bermartabat.

Jujur saja, saat mereka sedang menjalani profesi sebagai manusia karung ini, sebetulnya mereka ini telah melakukan profesi rendah, bahkan serendah-rendahnya manusia, karena hanya lebih suka dan bersemangat untuk meminta (meski tak meminta), menafikan nilai pemanusiaan sesungguhnya.

Setiap kita menemukan permasalahan manusia karung dan sebangsanya, acap terjadi pergumulan, terjadi tabrakan nilai cinta dan benci, madu dan racun, dan sebagainya. Regulasi saja tak cukup menyantuni mereka tidak turun ke jalan. Inilah ruang penyadaran kita, ya pemikiran kita bersama membawa mereka berdaulat secara mental dan ekonomi, tidak subsisten tapi kemandirian.

Kita ingin, mereka mampu meraih sumber ekonomi baru dengan pendapatan yang tak hanya kesementaraan. Ataukah kita beramai-ramai membuka kembali novelnya Agus Noor, perihal orang miskin yang bahagia. *

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng