Lembaga Kursus Masih Menjadi Kewenangan Kabupaten

Lembaga Kursus Masih Menjadi Kewenangan Kabupaten

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) masih menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini mengacu UU No 23 tahun 2014 dan diatur pula di dalam Permendagri No 90 tahun 2019.

Hal ini disampaikan dalam Evaluasi Program Direktorat Vokasi Ditjen Vokasi Kemdikbudristek, Senin (13/12/2021) malam, di Yogyakarta.

Kepala Seksi Wilayah II B Kementerian Dalam Negeri, Hilman Rosada, mengatakan sesuai Permendagri No 19 tahun 2019 maka kewenangan LKP masuk menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota, seperti halnya SMK menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi.

“Dalam Permendagri No 90 tahun 2019 LKP masuk dalam Klasifikasi, Kodefikasi & Nomenklatur Urusan, Bidang Urusan, Program, Kegiatan & Sub Kegiatan pada nomenklatur Pengelolaan Pendidikan Non Formal/kesetaraan,” kata Hilman.

Lebih lanjut Hilman menyampaikan penyusunan APBD perlu penyesuaian beban kerja yang dinamis dan berjenjang setelah itu bicara anggaran yang makro. Pemilihan program kegiatan dan sub-kegiatan berdasarkan organisasinya, maka anggaran akan mengikuti.

“Mana yang mau dianggarkan, aktivitas apa saja yang akan dianggarkan bentuk-bentuknya apa saja, prinsip manipol program  jangan mendahulukan uangnya tapi konsepnya dulu. Kebutuhannnya dulu. Terjemahkan dalam aktivitas dulu. Penganggaran akan kita lihat konsepnya, jangan dibagi uangnya sehingga fleksibilitasnya akan sulit,” kata Hilman.

Dia menegaskan Pemerintah Kabupaten/Kota jangan sampai menganggarkan sebuah progam biaya pendukung lebih banyak daripada kegiatan utamanya. Ini terjadi di beberapa daerah.

Staf Biro Hukum Kemdikbudristek, Quroati A Yun, mengatakan dengan Surat Edaran (SE) Setjen Kemdikbudristek No 26 Tahun 2021, perizinan bidang pendidikan pengaturannya tidak dimuat dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Adapun pertimbangannya, pendidikan bukan merupakan jenis usaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut. “Perizinan pendidikan yang selama ini menggunakan sistem OSS sebagaimana diatur dalam Permendikbud No 25 Tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik Sektor Pendidikan dan Kebudayaan, sudah tidak dapat digunakan,” ungkapnya.

Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelayanan Perizinan Berusaha dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, atau tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah.

Quroati menegaskan Penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat harus memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) yang diterbitkan melalui sistem OSS.

“Pelaksanaan pemberian layanan perizinan pendidikan sebagaimana dimaksud pada angka 4 diserahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya,” tegas Quroati.

Peserta Evaluasi Program Dirsuslat Ditjen Vokasi kali ini antara lain Kepala Balai Besar Pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi Seni dan Budaya, Sarjilah, Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK), DPP HISPPI, DPP Himpunan Penyelenggara Kursus dan Pelatihan Seluruh Indonesia (HIPKI), beserta LKP terpilih penyelenggara Program Kecakapan Kerja (PKK) dan Program Kecakapan Wirausaha (PKW).

Direktur Kursus dan Pelatihan Kemendikbudristek, Wartanto, menyampaikan penjaminan mutu LKP ada di industri dengan mendidik instruktur kursus agar sesuai dengan apa yang dibutuhkan industri.

“Perlu kolaborasi dengan Balai Besar di lingkungan Ditjen Vokasi, mengoptimalisasi seluruh SDM untuk memantapkan instrukturnya agar sesuai dengan yang diharapkan dunia industri,” kata Wartanto.

Dia prihatin tentang anggaran pendidikan di Kemendikbudristek yang baru menyentuh angka sekitar  5 persen dari 20 persen yang diamanatkan oleh undang-undang.

“Yang paling disayangkan adalah Kementerian/Lembaga lain selain Kemen dikbudristek menyelenggarakan Politeknik/Akademi dengan biaya sangat besar. Untuk Perguruan Tinggi di bawah Kemendikbudristek 5 orang peserta didik, akan tetapi di akademi hanya untuk mendidik satu orang. Perbandingannya 1:5 dan yang lebih menyedihkan akademi sudah meluluskan tapi tidak berizin,” ungkapnya.

Menurut dia, ini sungguh memilukan karena memberikan biaya siswa dengan dana yang besar akan tetapi lulusannya tidak mendapatkan ikatan dinas dan solusi penempatan kerja.

Fenomena lain, kata Wartanto, setiap provinsi punya perguruan tinggi di bawah Pemerintah Provinsi. “Dengan banyaknya Poltekkes yang diselenggarakan oleh pemprov menjadikan lulusan perawat melimpah tapi tidak terserap dunia kerja. Akhirnya 72 Poltekkes ditarik ke Kementerian Kesehatan RI,” kata Wartanto. (*)