Lalita Lahir di Tengah Corona

Lalita Lahir di Tengah Corona

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Dua orang pelukis perempuan, Ratih Alsaira dan Wahyu Handayani, menggelar pameran bersama di Rumah Budaya Tembi, Bantul, 22 Desember hingga 10 Januari mendatang. Pengunjung bisa menyaksikan lukisan dari beragam material tersebut sejak pukul 10.00 WIB hingga 18.00 WIB setiap harinya.

Mengambil judul ‘Lalita’, kedua pelukis perempuan ini menceritakan kisah perjalanan hidup. Baik saat diberi kebahagiaan, kesedihan, situasi kacau dan perjalanan hidup lain serta jatuh bangunnya sang pelukis.

Ditemui koranbernas.id, Rabu (30/12/2020) sore, Ratih dan Yani menceritakan jika pameran mereka diberi tajuk  ‘Lalita’ mengambil dari bahasa sansekerta yang artinya berharga.

“Sesuatu yang berharga ini kemudian kita tuangkan dalam karya lukis kita dengan insiprasi karya dari kisah nyata. Sesuatu yang berharga bisa berupa kenangan, teman, pengalaman, keluarga, hobi, dan hal lain yang kemudian kita buat ilustrasi dalam bentuk lukisan,” kata Ratih yang mengenal Yani saat sama-sama di komunitas lukis cat air tersebut.

Di sini, Ratih lebih banyak bercerita tentang kebahagiaan yang dilaluinya, termasuk di rumah tempat dia dilahirkan di Salatiga, 39  tahun silam. Namun perempuan yang mengenyam bangku kuliah di jurusan perhotelan ini juga memberi pesan moral dalam lukisanya.

Misalnya, Ratih membuat lukisan perempuan dan laki  dengan anatomi leher yang panjang. Ini memberi pesan agar kita jangan  menelan sesuatu mentah-mentah sebelum mencari tahu kebenaranya. Juga harus  berpikir panjang saat akan melakukan sesuatu.

Karya lukis yang dipamerkan ini merupakan karya yang dihasilkan sejak setahun terakhir. Termasuk saat ada ‘badai’ virus Corona atau Covid-19, dimana orang banyak beraktifitas di rumah, kemudian dimanfaatkan Ratih untuk berkarya. Jumlah lukisan yang dipamerkan  ada 17 karya untuk media kertas dengan cat minyak, 2 karya acrilic diatas kanvas, boneka perca kolaborasi 1  buah dan flanel 3 buah. 

Sementara Yani, sapaan akrab Wahyu Handayani, menggambarkan perjalanan hidupnya yang beragam. Jika Ratih lebih mengambarkan sisi kebahagiaan, Yani melukis  baik saat bahagia, sedih, jatuh, pikiran kacau dan kondisi lain yang dialami perempuan kelahiran Banten tersebut. Termasuk ada selipan nilai-nilai moral yang ingin dibagi kepada para penikmat pameranya dan masyarakat.

Misalnya saja, Yani membuat lukisan perempuan gemuk dan cantik. Ini untuk memberi pesan bahwa kecantikan itu bukan hanya milik orang yang langsing atau proporsional, namun kecantikan bisa menjadi milik siapa saja.

“Dalam situasi apa pun kita harus tetap kuat, bersemangat dan menciptakan kebahagiaan dengan cara kita sendiri,” katanya.

Sehingga tidak perlu menjadi sempurna untuk menikmati hidup. “Dan saya belajar melukis secara otodidak, begitu pun Ratih,” katanya.

Kedua pelukis ini juga  mengatakan, selain dipamerkan bagi para pengunjung, kolektor yang ingin membeli lukisan diperbolehkan. Lukisan sederhana dibandrol Rp 750.000 hingga yang paling rumit pembuatanya dibandrol dengan harga Rp 7 juta.

Suasana akrab

Joseph Wiyono, kurator yang juga dosen ISI Yogyakarta, mengatakan ketika mengamati karya-karya dua perempuan perupa yang sedang digelar di Tembi Rumah Budaya, ada garis penghubung yang menautkan dua rasa. Beda tetapi sama, sama tetapi beda.

“Hingga pada simpulan, yaitu duo yang gagah pada representasi ide-ide pun gagasan mereka, simpulan pengikat yang sulit dipisahkan dari antara kebesaran semangat dan daya juang. Yang mestinya terlihat bukan yang tertampak, tetapi lebih yang tersirat. Yang terdalam justru berada pada sisi tersembunyi nan justru menarik untuk menyelaminya,” katanya.

Sejauh pengamatan terhadap karya mereka, maka hal pertama terasa adalah atmosfer yang menawarkan suasana yang akrab dengan kita semua, sebuah ruang yang setiap saat kita rasa, temui, bahkan kita huni. Aspek domestik yang hampir selalu dihadirkan pada karya-karya mereka adalah hunian nyaman yang tidak asing, namun artistik, membuat kita sepakat untuk masuk dan berlama-lama berada di dalamnya.

“Rasa kita seperti menemukan sesuatu yang familiar, dekat, apa adanya, dan membuat jenak. Peristiwa keseharian yang berlalu-lalang di sekitar, di mana kita kerap abaikan, menjadi sesuatu yang berharga ketika oleh mereka direpresentasikan lewat karya, menjadikan kita dibawa ke pemaknaan terhadap manusia, tidak sekadar pada benda-benda, harga-harga, pun tawar-menawar. Melalui visual karya-karya mereka kita ditautkan dengan lembut kepada pemaknaan lebih dalam tentang hakikat manusia dari sisi kemanusiaan, bukan pada fisik yang kadang artifisial,” katanya.

Manusia di dalam karya mereka dihadirkan sebagai personifikasi jiwa-jiwa yang lumrah, natural, dan lugas, maka aspek keperempuanan, feminitas, pun kecantikan yang cenderung menjadi wilayah intim mereka, dijelmakan menjadi ‘sosok-sosok’ yang merdeka dari hegemoni nilai-nilai formalitas semata.

Perempuan-perempuan bertubuh gempal dan berleher kokoh menjadi penanda betapa mereka (duo perupa) tersebut hendak menyatakan semangat hidup yang menyala-nyala, ketika berada dalam impitan maupun kelegaan. Artinya, betapa mereka setia pada tempaan hidup karena yakin itu akan membentuk dan menajamkan rasa kemanusiaannya.

Quote “Art tell a story” yang ternukil dari konsep pameran mereka menjadi semesta yang sebenarnya menawarkan detail-detail kisah yang berkelindan bersama kompleksitas aspek kehidupan pribadi, walaupun disajikan dalam kesahajaan. Dan, pada karya-karya Ratih Alsaira-Wahyu Handayani menjadi kisah-kisah kehidupan yang mereka kisahkan bagi kehidupan kita saat kesulitan mendapatkan keteduhan. (*)