Krisis Sampah di DIY Terabaikan dalam Kampanye Pilkada 2024

Pakar politik UGM, Abdul Gaffar Karim, mengungkapkan keprihatinannya.

Krisis Sampah di DIY Terabaikan dalam Kampanye Pilkada 2024
Pakar politik dari UGM, Abdul Gaffar Karim. (yvesta putu palupi/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Kampanye Pilkada 2024 dimulai, satu isu krusial tampaknya luput dari perhatian para calon pemimpin daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu pengelolaan sampah.

Pakar politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim, mengungkapkan keprihatinannya atas absennya diskusi mengenai krisis sampah dalam agenda kampanye para calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota di wilayah tersebut.

"Hingga saat ini belum ada pasangan calon yang menyuarakan masalah sampah. Padahal, desentralisasi pengelolaan sampah menjadi masalah yang sangat krusial di kabupaten dan kota di Yogyakarta," ujar Gaffar dalam dialog, Sabtu (28/9/2024), di Fisipol UGM.

Pernyataan ini menyoroti paradoks yang terjadi di wilayah yang terkenal dengan sebutan Kota Pelajar ini. Di satu sisi, Yogyakarta dikenal sebagai pusat budaya dan pendidikan. Namun di sisi lain, kota ini menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan limbahnya.

Dialihkan

Desentralisasi pengelolaan sampah yang sebelumnya berada di bawah tanggung jawab pemerintah provinsi kini dialihkan ke pemerintah kabupaten dan kota. Transisi ini menimbulkan beban signifikan bagi pemerintah daerah yang minim pengalaman dalam mengelola sampah secara mandiri.

"Kabupaten dan kota di DIY sedang menerima banyak beban karena selama ini mereka tidak cukup punya pengalaman dalam mengelola sampah. Sebelumnya, pengelolaan sampah dikumpulkan dalam provinsi, lalu kemudian baru dikembalikan ke ranah regulasi yang sebenarnya," jelasnya.

Kabupaten Sleman menjadi contoh nyata dari kegagalan kebijakan pengelolaan sampah di tingkat daerah. Menurut pengamatan Karim, yang juga penduduk Sleman, kabupaten ini tidak memiliki kebijakan yang jelas untuk menangani permasalahan sampah.

"Sebagai orang yang tinggal di Sleman, rasanya Sleman ini memang tidak punya kebijakan yang jelas untuk menangani sampah. Edaran dari Bupati Sleman selama ini selalu mempersilakan warga mengatur sendiri sampahnya, memilah begitu. Nanti dinas sampah hanya mau mengangkut sampah yang bisa didaur ulang," ujarnya.

Tidak efektif

Kebijakan itu dinilai tidak efektif dan cenderung membebankan tanggung jawab pengelolaan sampah kepada warga.

"Jadi yang tidak bisa didaur ulang, katanya diurus sendiri di rumah. Tandanya, pemerintah kabupaten tidak mau rugi, ini kayaknya Pemkab Sleman. Jadi yang bisa didaur ulang, kan artinya mereka hanya mengerjakan yang memiliki nilai ekonomi," kritik Gaffar.

Ironisnya, di tengah krisis pengelolaan sampah ini, para calon pemimpin daerah justru menghindari isu tersebut dalam kampanye mereka. Padahal, menurut Gaffar, janji pengolahan sampah bisa menjadi poin kemenangan bagi calon yang berani mengangkatnya.

"Janji pengolahan sampah ini bisa jadi kemenangan, apalagi ada petahana yang di masa kepemimpinannya terbukti punya masalah," tegasnya.

Dimensi politik

Gaffar menyebutkan situasi di Sleman semakin rumit dengan adanya ketidakselarasan antara bupati dan wakil bupati saat ini, menambahkan dimensi politik internal yang mungkin mempengaruhi penanganan masalah sampah.

"Di Sleman, kita tahu sudah tidak ada keselarasan antara bupati sekarang dan wakil bupatinya. Bupati dan wakil bupati itu adalah kandidat," ungkapnya.

Krisis pengelolaan sampah di DIY, menyoroti pentingnya kebijakan yang tegas dan komprehensif menangani masalah lingkungan. Absennya isu ini dalam kampanye Pilkada 2024 menunjukkan ketidaksiapan atau keengganan para calon pemimpin daerah untuk menghadapi tantangan ini secara serius. (*)