Konsumen Rumah Bersubsidi Dominasi Aduan di YLK

Konsumen Rumah Bersubsidi Dominasi Aduan di YLK

KORANBERNAS.ID—Pengaduan ke Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) DIY, didominasi oleh kasus-kasus terkait pembelian rumah bersubsidi. Dari data rekapitulasi 2018-2019, pengaduan dari konsumen yang membeli rumah bersubsidi, mencapai 21 orang.

Menyusul aduan oleh konsumen rumah bersubsidi, adalah aduan terkait financial technology atau fintech sebanyak 17 kasus dan di urutan ketiga adalah aduan jasa pembiayaan kendaraan sebanyak 11 kasus.

“Datanya masih terus bergerak. Tapi dominasinya masih konsumen rumah bersubsidi. Kasusnya banyak terjadi di wilayah Bantul,” kata Intan Nur Rahmawanti dari Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY) dalam acara Edukasi Pengawasan Perlindungan Konsumen, Selasa (10/9/2019).

Masih banyaknya aduan yang masuk ke YLK, kata Intan, merupakan indikasi bahwa masyarakat di DIY selaku konsumen, belum cukup berdaya. Mereka, masih kerap menjadi pihak yang dirugikan dan lemah, dalam berbagai urusan. Baik layanan publik ataupun sebagai konsumen atas suatu barang ataupun jasa.

Rekapitulasi aduan konsumen di YLK DIY. (Dokumentasi YLK)

“Perlu upaya yang serius untuk terus meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat selaku konsumen. Masyarakat harus tahu, mereka punya hak untuk aman, hak untuk memilih, kemudian hak untuk didengarkan dan hak untuk mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya atas apa yang akan mereka beli,” tandas Intan.

Kepala Disperindagkop DIY, Aris Riyanta mengatakan, acara ini diselenggarakan dengan melibatkan ratusan peserta. Mereka berasal dari perwakilan pelaku usaha, distributor, pelaku UMKM dan lain sebagainya.

Edukasi dimaksudkan sebagai upaya untuk mendorong dan meningkatkan pemahaman pelaku usaha dan masyarakat dalam perlindungan konsumen.

“Pemahaman ini penting. Bukan hanya untuk konsumen, tapi juga pelaku usaha,” kata Aris.

Melalui edukasi ini, pemerintah berharap masyarakat selaku konsumen akan lebih memahami apa hak dan kewajiban mereka. Sebaliknya para pelaku usaha, juga semakin menyadari pentingnya perlindungan konsumen. Diantaranya, mereka harus lebih terbuka dalam memberikan informasi yang benar dan lengkap atas barang atau jasa yang mereka tawarkan ke konsumen.

Masih lemahnya perlindungan konsumen, sangat dirasakan oleh peserta yang hadir dalam edukasi. Sejumlah peserta, menyoroti perlindungan konsumen yang belum maksimal dalam banyak hal dan berbagai lini.

Seorang peserta warga Jetis, Eni, mengaku masih menemukan hal yang sering merugikan konsumen. Wanita yang saban hari mengaku berbelanja di Pasar Kranggan ini, kerap terkecoh dengan informasi harga yang ditayangkan lewat monitor televisi di pasar tradisional tersebut.

“Di layar monitor disebutkan harga bawang putih misalnya 21 ribu. Tapi riilnya, harga di pedagang ternyata lebih dari 30 ribu. Pembeli seperti kami sering tidak berdaya saat berhadapan dengan pedagang. Tapi ya tetap beli, lha wong butuh,” katanya.

Peserta lain mengaku masih sering menemui produk-produk kadaluwarsa yang masih diperjualbelikan di warung-warung kelontong. Celakanya, korban dari peredaran produk kadaluwarsa, umumnya adalah tetangga sendiri sehingga jarang terungkap di publik.

“Biasanya ya selesai dengan sekadar ditukar. Tapi ini kan menandakan, kalau sistem perdagangan atau perniagaan kita masih jauh dari ideal,” ujarnya. (SM)