Konsistensi dalam Berkonstitusi
Oleh: Sudjito Atmoredjo
Banyak ragam pendapat terhadap amandemen sebanyak 4 (empat) kali pada era reformasi. Satu pendapat bahwa roh UUD 1945 asli, seakan tercerabut dari tubuhnya. Hal demikian, pada satu sisi, mungkin karena kala itu, pelaku dan pengguna, serta penikmat hasil amandemen, sedang gerah dengan kekuasaan Orde Baru. Model penyelenggaraan negara, dikategorikan otoriter. Pada sisi lain, kegandrungan pada kebebasan berpendapat, berkumpul, berserikat, sedemikian kuat. Akibatnya, hasil amandemen UUD 1945 dominan diwarnai nilai-nilai individualistik, liberalistik, kapitalistik, dan serba positivistik. Nilai-nilai kekeluargaan, kegotong-royongan, musyawarah, mufakat, keadilan, tergusur. Demokrasi “hitung biting” (penentuan pendapat melalui voting) menjadi alat ampuh untuk penggusuran nilai-nilai Pancasila.
INDONESIA adalah negara hukum berkonstitusi. Konstitusi dimaksud adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (disingkat UUD 1945). UUD 1945 berada di puncak tata-urutan seluruh hukum (perundang-undangan) yang berlaku. Hukum-hukum lain, berada di bawahnya, dan hanya dikategorikan benar, bila sikron, sesuai, harmonis, dan sejiwa dengan UUD 1945.
Dalam perspektif teori organ (organ theory), Satjipto Rahardjo (2008) melukiskan, UUD 1945 sebagai jantung dan jiwa negara. Tiadalah negara hidup, tanpa kenormalan fungsi konstitusinya. Pada konstitusi itulah, semua orang diberi tahu tentang: apa maksud negara didirikan, apa cita-citanya, apa asas-asas kehidupan bernegara, apa yang mesti dilakukan oleh warga negara dan peneyelenggara negara, bagaimana konstitusi dijadikan patokan berperilaku bersama?
Konstitusi itu amat penting dalam kehidupan bernegara. Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, bergerak, dan beraktivitas, menggapai visi dan misi negara. Pada situasi normal maupun abnormal, segala persoalan kenegaraan, dicarikan solusi, pembenaran kiblat, dan pelurusan jalan, melalui dan berdasarkan ketentuan-ketentuan pada konstitusi. Dengan berkonstitusi secara konsisten, dipastikan bangsa ini sampai pada kehidupan yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Berkonstitusi secara konsisten adalah berperilaku sadar bahwa jiwa-raga semua komponen bangsa didedikasikan untuk kepentingan negara. Dalam konsistensi, terkadung tekad, semangat, dan ketulusan niat. Itulah maka, konsistensi pada konstitusi, bukanlah sekadar aktivitas lahiriah semata, melainkan mencakup aktivitas batiniah-spiritual, berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Ir. Soekarno, selaku Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dasar 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 mengutarakan, bahwa UUD 1945 yang dibuat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Disebut juga Undang-Undang Dasar Kilat. Dinyatakan pula, bila negara sudah dalam suasana damai dan tenteram, nanti akan dikumpulkan kembali anggota MPR, untuk membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap.
Hemat saya, pernyataan Ir. Soekarno itu amat penting untuk dipahami bersama, agar pendapat-pendapat tentang amandemen UUD 1945 selama ini, dapat ditempatkan secara benar. Pun pula, berdasarkan Pasal 37 UUD 1945, amandemen itu dimungkinkan, selagi berbagai persyaratan dipenuhi.
Catatan penting bahwa amendemen UUD 1945, boleh (bisa) dilakukan, sebatas membenahi, melengkapi, menyempurnakan, dan bukan mengganti dengan UUD baru. Artinya, nilai-nilai Pancasila sebagai roh Staatsfundamental Norm (Pembukaan UUD 1945), wajib dijadikan dasar dan titik tolaknya. Perkembangan zaman, di bidang apapun – ilmu, teknologi, politik, hukum, sosial, ekonomi, budaya dan lain-lainnya - wajib dicermati seksama, agar perkembangan bernilai positif, dapat diakomodasi demi kemajuan negara.
Banyak ragam pendapat terhadap amandemen sebanyak 4 (empat) kali pada era reformasi. Satu pendapat bahwa roh UUD 1945 asli, seakan tercerabut dari tubuhnya. Hal demikian, pada satu sisi, mungkin karena kala itu, pelaku dan pengguna, serta penikmat hasil amandemen, sedang gerah dengan kekuasaan Orde Baru. Model penyelenggaraan negara, dikategorikan otoriter. Pada sisi lain, kegandrungan pada kebebasan berpendapat, berkumpul, berserikat, sedemikian kuat. Akibatnya, hasil amandemen UUD 1945 dominan diwarnai nilai-nilai individualistik, liberalistik, kapitalistik, dan serba positivistik. Nilai-nilai kekeluargaan, kegotong-royongan, musyawarah, mufakat, keadilan, tergusur. Demokrasi “hitung biting” (penentuan pendapat melalui voting) menjadi alat ampuh untuk penggusuran nilai-nilai Pancasila.
Berhadapan dengan praktik penyelenggaraan negara yang jauh dari pesan moral UUD 1945 asli, sungguh terasakan bahwa oknum-oknum pada rezim penguasa, sering tampil dengan kekuasaaan dan kekuatannya, untuk menundukkan lawan politik maupun rakyat, di bawah otoritasnya. Pemaksaan secara fisik dan yuridis-normatif, terjadi melalui penafsiran sepihak atas berbagai substansi UUD 1945 hasil amandemen, dan Undang-undang turunannya.
Sungguh celaka, ketika hakim-hakim Mahkamah Konstitusi, telah gagal mengawal konsistensi dan kemurnian UUD 1945, serta-merta tunduk dan rela menjadi kaki-tangan rezim penguasa. Rakyat dan akademisi, menangkap realitas, betapa judicial review atas beberapa Undang-Undang, selalu berpihak pada rezim penguasa. Dipertanyakan, mengapa hakim-hakim konstitusi cacat etika, tetap saja bertahan (dipertahankan)?. Tanpa rasa malu, mereka menyandang predikat sebagai Negarawan, dan panggilan Yang Mulia.
Pembenahan terhadap konstitusi hasil amandemen plus rekonstruksi terhadap Mahkamah Konstitusi, merupakan kebutuhan bangsa. Pembenahan ini mesti menukik pada nilai-nilai Pancasila, dan bukan sekadar formalisasi-teknologis pada pasal-pasalnya. Artinya, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Pancasila, menjadi awal dan titik-tolak pembenahan konstitusi. Pembenahan mesti bersifat utuh, menyeluruh, komprehensif, dan holistik. Benang merah sejarah bangsa, dari masa lalu, masa kini, dan kejayaan bangsa seribu tahun yang akan datang, mesti dirangkai dan diformulasikan dalam bahasa moral yang bernas.
Pembenahan konstitusi, mesti merupakan aktivitas moral (moral activity). Aktor/pelakunya adalah perwakilan seluruh komponen bangsa. Semua pakar (politisi, akademisi, agamawan, rohanian, budayawan, perwakilan golongan, dll.) dihimpun, dipersilahkan berpikir jernih, dalam bingkai wawasan kebangsaan. Sesuai pesan Ir. Soekarno, seluruh aktivitas amandemen, mesti dilakukan dalam suasana damai dan tenteram. Sekali lagi dalam suasana damai dan tenteram. Siapa pun yang masih geram, marah, atau emosional, tiadalah pantas terlibat dalam pembenahan konstitusi.
Sangat diharapkan, para pakar, mampu mendaya-gunakan hati-nurani, kecerdasan akal, sekaligus mengendalikan nafsu. Teknik/cara/metode amandemen terbaik, dan substansi terbaik, dapat disepakati, melalui musyawarah-mufakat. Kesepakatan itu merupakan perilaku normatif-ideologis. Melalui teknik demikian, dipastikan dapat diperoleh pilihan-pilihan kualitatif terbaik bagi bangsa.
Alangkah elegan bila pada masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, ada program peningkatan konsistensi dalam berkonstitusi. Demi kejayaan bangsa, diharapkan MPR, DPR, DPD, Presiden (dan Kabinetnya), beserta seluruh penyelenggara negara, menjalankan fungsi-fungsi publiknya (sesuai job description), dan peduli pada nasib bangsa dan tanah-airnya, sesuai konstitusi. Wallahu’alam.
Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.
Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM.