Karya-karya Koreografer Muda Tampil di Lawatari: Yogyakarta

Festival ini diadakan di Studio Banjarmili dan Eighteen Coffee Jogja.

Karya-karya Koreografer Muda Tampil di Lawatari: Yogyakarta
Konferensi pers Lawatari Yogyakarta di Eighteen Coffee, JNM Bloc Yogyakarta. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Indonesian Dance Festival (IDF) bekerja sama dengan MAD Laboratory dan Paradance Platform menggelar festival tari keliling yang bertajuk Lawatari: Yogyakarta pada 19-21 Januari 2024. Pada festival ini ditampilkan karya-karya koreografer muda yang dikembangkan melalui proses inkubasi dan dialog.

Lawatari: Yogyakarta merupakan edisi ketiga dari Lawatari, sebuah program IDF yang menyiratkan semangat melawat ke kantong-kantong seni pertunjukan di Indonesia dan menjalin keterhubungan melalui penampilan karya dan program-program yang mendukung perkembangan ekosistem seni pertunjukan di Indonesia.

Festival ini diadakan di Studio Banjarmili dan Eighteen Coffee Jogja dengan menghadirkan lima pertunjukan, dua masterclass dan lokakarya, serta satu bincang tari. Rangkaian program ini dikurasi bersama oleh IDF, Mila Rosinta Totoatmojo (MAD Lab) dan Nia Agustina (Paradance Platform) sebagai kolaborator.

Pertunjukan yang ditampilkan adalah karya-karya koreografer di awal karier yang berasal dari Yogyakarta yaitu Megatruh Banyu Mili, Ni Putu Arista Dewi, Sri Cicik Handayani, dan Valentina Ambarwati. Mereka menjalani proses inkubasi bersama MAD Lab dan Paradance Platform dengan fasilitator Besar Widodo, Linda Mayasari, Mila Rosinta Totoatmojo, dan Nia Agustina sebelum pementasan karya mereka.

Selain itu, ada juga karya Siti Alisa yang berjudul In Cycle. Siti Alisa adalah alumni program Kampana IDF tahun 2018 yang telah mengembangkan praktiknya secara independen di berbagai platform.

ARTIKEL LAINNYA: Rumah Citta Gelar Pameran Seni Keluarga dari Limbah

Setiap karya pertunjukan akan diakhiri dengan bincang karya bersama koreografer terkait, dengan salah satu kolaborator sebagai pemantik diskusi.

Masterclass yang diadakan dalam festival ini dirancang untuk mengenal pemikiran dan metode Alm. Martinus Miroto, seorang maestro tari yang juga pendiri Studio Banjarmili. Masterclass ini diampu oleh Agung Gunawan (penari) dan Anter Asmorotedjo (koreografer), yang merupakan dua figur tari yang bekerja bersama sang maestro semasa hidupnya.

Lokakarya Seni Tata Kelola: Merakit Ruang untuk Tumbuh Bersama yang difasilitasi oleh Linda Mayasari (kurator IDF) dan Maria Renata Rosari (manajer festival IDF) mengajak produser dan manajer seni pertunjukan untuk bertukar pikiran dan merumuskan cara kerja tata kelola seni yang efektif dalam konteks lokal.

Bincang Tari edisi Lawatari: Yogyakarta bersama Mila Rosinta Totoatmojo (MAD Lab), Scholastica W Pribadi (Loka Art Studio), dan Siti Alisa akan membahas keberlanjutan dalam praktik berkesenian. Program ini menghadirkan Nia Agustina (Paradance Platform) sebagai moderator.

Ratri Anindyajati, Direktur IDF, saat konferensi pers pada Jumat (19/1/2024) mengatakan Lawatari: Yogyakarta memberi kesempatan bagi kami sebagai tim kerja IDF untuk melihat dan belajar dari dekat praktik-praktik inkubasi karya, tata kelola dan pelatihan yang dijalankan oleh MAD Lab, Paradance Platform, dan Studio Banjarmili yang berperan sebagai mitra dalam program ini.

ARTIKEL LAINNYA: Dimulai 21 Januari, Inilah 11 Lokasi Untuk Rapat Umum di Bantul

"Organisasi dengan fokus pada proses pembuatan karya, transfer ilmu dan pelatihan untuk pegiat tari muda sangat penting bagi pertumbuhan ekosistem tari di Indonesia," ujarnya.

Semangat ini, lanjut Ratri, sejalan dengan salah satu misi IDF yang terwujud lewat program inkubasi Kampana, di mana kami memfasilitasi koreografer muda untuk mengembangkan karya dengan bimbingan tim kurator festival.

Mila Rosinta Totoatmojo sebagai penggagas MAD Lab menambahkan, Sebagai perempuan seniman tari, saya mengalami langsung tantangan berbagi peran dalam konteks domestik dan profesional.

"Hal ini mendorong saya memulai RIKMA (Ruang Inisiatif Karya Bersama) untuk berproses bersama perempuan seniman muda yang memiliki semangat besar untuk berkarya," lanjutnya.

Lawatari: Yogyakarta adalah platform yang baik untuk memperkenalkan karya-karya mereka pada praktisi dan pencinta tari.

Selanjutnya inisiator Paradance Platform, Nia Agustina menambahkan, Paradance dibentuk sebagai inisiatif kecil untuk membuka ruang interaksi bagi pertumbuhan koreografer muda.

ARTIKEL LAINNYA: DPD Siapkan Posko Pengaduan Dugaan Pelanggaran Pemilu

"Program Lawatari: Yogyakarta adalah kesempatan bagi kami - Paradance Platform, IDF, MAD Lab, dan Studio Banjarmili untuk saling melihat cara kerja masing-masing dalam visi bersama mendukung koreografer muda," kata dia.

"Ini dapat menjadi awal yang baik untuk menyadari bahwa dengan infrastruktur dan alam kesenian terutama seni tari di Indonesia, kita perlu melakukan kerja yang saling terhubung untuk mendukung karya seorang seniman," ujarnya.

Program Pertunjukan dan Bincang Tari dalam Lawatari: Yogyakarta terbuka untuk praktisi, mahasiswa, maupun pencinta tari dengan reservasi tiket melalui bit.ly/loketIDF.

Tiket Bincang Tari tersedia gratis, sedangkan tiket Pertunjukan dapat dipesan dengan donasi minimum Rp20.000. Peserta Masterclass dan Lokakarya telah mendaftarkan diri melalui panggilan terbuka yang dibuka mulai awal Januari. (*)