Industri Tembakau Vital bagi Perekonomian Bangsa, Regulasi Tidak Mendukung

Perwakilan konsumen merasa bahwa suara mereka kurang didengarkan.

Industri Tembakau Vital bagi Perekonomian Bangsa, Regulasi Tidak Mendukung
Diskusi memperingati Hari Kretek Nasional. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, SLEMAN -- Hingga saat ini Industri Hasil Tembakau (IHT) menjadi bagian vital dalam perekonomian Indonesia. Sebagai sektor industri yang strategis dan padat karya, IHT secara konsisten telah memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian nasional melalui pendapatan pajak dan cukai yang substansial.

Tidak hanya itu, IHT juga disebut memberikan mata pencaharian kepada jutaan petani tembakau dan cengkeh, pekerja pabrik rokok, pedagang kecil, serta pekerja dalam industri terkait lainnya.

Sayangnya, negara yang seharusnya melindungi kemandirian ekonomi tampaknya telah mengambil langkah yang berlawanan. Dalam upayanya untuk menghimpit dan membatasi IHT, negara telah menerapkan berbagai cara, termasuk kenaikan cukai yang berlebihan dan sejumlah peraturan yang menghambat perkembangan industri tembakau.

Langkah positif yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) adalah suatu hal yang patut diapresiasi. Namun, penerapan aturan terkait industri tembakau tidak mendukung. Sebaliknya, pemerintah tampaknya tidak hanya mengadopsi prinsip-prinsip FCTC, tetapi juga melakukan improvisasi yang dapat mengancam kelangsungan IHT.

ARTIKEL LAINNYA: Sendangrejo Sleman Kawasan Pertanian Padi Sehat Ramah Lingkungan

Salah satu contoh adalah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang mengatur tentang zat adiktif dalam produk tembakau.

Dalam RPP ini, terdapat lebih banyak pasal yang fokus pada pelarangan daripada pengendalian. Hal ini mencakup aspek peredaran, produksi, iklan yang berpotensi memengaruhi tidak hanya pedagang tembakau tetapi juga konsumennya.

Aditya Purnomo selaku Sekjen Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) menjelaskan berbagai masalah terkait regulasi industri tembakau. Salah satu isu utama adalah pembelian eceran tembakau, apabila dibatasi dapat mendorong konsumen untuk beralih ke rokok ilegal.

"Diperkirakan sekitar 8 persen dari total konsumsi rokok di Indonesia adalah rokok ilegal," ujarnya di sela diskusi memperingati Hari Kretek Nasional, Selasa (3/10/2023), di Sleman.

ARTIKEL LAINNYA: Pebalap Astra Honda Cetak Sejarah, Indonesa Raya Berkumandang Dua Kali di IATC Motegi

Selain itu, dampak regulasi ini juga terasa pada industri tembakau, dengan beberapa pabrik menghadapi kesulitan bahkan hingga kebangkrutan.

"Seharusnya lebih pemerintah memfokuskan regulasi pada pembatasan usia, lokasi penjualan dan tempat-tempat seperti sekolah dan rumah sakit," tambahnya.

Untuk menjaga keseimbangan, lanjut Aditya, kemasan rokok berisi 20 batang yang dapat mempengaruhi psikologi konsumen untuk memilih rokok yang lebih murah.

"Semestinya regulasi membebaskan variasi kemasan yang lebih beragam kepada konsumen," ujarnya.

ARTIKEL LAINNYA: PMI Sleman Terima Sertifikat Pusat Unggulan Pembinaan PMR

Perwakilan konsumen merasa bahwa suara mereka kurang didengarkan dalam pembahasan regulasi ini, dan mereka berjuang agar perspektif konsumen juga menjadi pertimbangan utama dalam perubahan regulasi industri tembakau.

Siti Fatonah sebagai Juru Bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) menambahkan komunitas Kretek berusaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama para perokok, tentang dampak regulasi terhadap hak-hak mereka.

"Kami berjuang agar perspektif konsumen lebih diperhatikan dalam proses perubahan regulasi tembakau ini," tandasnya. (*)