Indonesia Perlu Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana

Indonesia Perlu Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana
Seminar “Disaster Risk Financing and Insurance and Adaptive Social Protection Implementation in Indonesia" Senin (10/7/2023) di Yogyakarta. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Indonesia sedang menyusun Strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) atau Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI) yang memberi peluang pemerintah mengatur strategi pendanaan risiko bencana melalui APBN/APBD.

Strategi itu telah mendapat pengakuan dari berbagai organisasi internasional sebagai pencapaian yang signifikan untuk memperkuat pendanaan risiko bencana.

"Indonesia merupakan satu dari sedikit negara yang telah memiliki strategi nasional terkait dengan pendanaan dan asuransi risiko bencana," ujar Parjiono, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional saat membuka acara seminar Disaster Risk Financing and Insurance and Adaptive Social Protection Implementation in Indonesia, Senin (10/7/2023), di Yogyakarta.

Parjiono mengatakan saat Yogyakarta dilanda gempa bumi dahsyat pada 2006, Indonesia belum memiliki strategi kebijakan untuk pembiayaan dan asuransi risiko bencana. Padahal kerugian akibat bencana itu ditaksir mencapai kurang lebih Rp 29 triliun.

"Kerugian yang ditransfer ke sektor asuransi hanya senilai kurang lebih Rp 300 miliar yang kalau kita hitung hanya satu persen dari total kerugian dan kerusakan, sehingga hampir semua biaya rehabilitasi dan rekonstruksi harus ditanggung oleh APBN atau APBD," kata dia.

Selang 12 tahun, serangkaian bencana berskala besar masih terus terjadi di Indonesia di antaranya gempa dan likuifaksi di Sulawesi Tengah, berikutnya gempa di Lombok serta tsunami di Selat Sunda pada 2018.

Pada tahun yang sama, ujar Parjiono, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 2.500 bencana terjadi di Indonesia yang menyebabkan lebih dari 3.300 orang meninggal serta lebih dari 10 juta orang mengungsi, 300.000 unit rumah rusak, dengan kerugian ekonomi yang ditaksir mencapai sekitar Rp 100 triliun.

"Rentetan bencana yang terjadi dengan besarnya kerugian ekonomi tentu memicu pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan strategi dan menyusun strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana," kata dia.

Selain menyusun strategi PARB, lanjut Parjiono, pemerintah juga meluncurkan pendanaan inovatif berupa dana bersama atau Pooling Fund Bencana (PFB).

"Instrumen (PFB) itu merupakan pengguna dana pertama di dunia yang dikhususkan untuk mengumpulkan, mengembangkan, dan menyalurkan dana dalam penanggulangan bencana," kata dia.

Ia berharap dua strategi pembiayaan risiko bencana dan perlindungan sosial di Indonesia itu dapat dikembangkan dan menjadi pembelajaran baik di tingkat regional ASEAN maupun global.

"Dua konsep besar yang masih terus dalam proses pengembangan, telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang dirujuk serta diminta untuk berbagi pengetahuan," kata Parjiono.

Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset (BPKA) DIY, Wiyos Santosa, mengatakan asuransi kebencanaan ini hal baru, karena Indonesia banyak terjadi bencana alam. Dia berharap bagaimana bencana alam tak jadi beban pemda maupun pemerintah tapi bisa terkover asuransi.

Menurut Wiyos, selama ini penanganan kebencanaan di DIY hanya memanfaatkan Anggaran Pendapatan Belanja Nasional ataupun Daerah. Hal tersebut sangat memberatkan karena biaya yang dibutuhkan sangat besar.

Dengan demikian munculnya wacana asuransi kebencaan tersebut perlu direspons sesegera mungkin oleh ekosistem asuransi di Indonesia.

Sebab selama ini belum ada klausul asuransi yang diakibatkan bencana alam. Yang ada baru bencana seperti kebakaran atau kerusakan akibat huru-hara. (*)