GKR Hemas Sebut Masalah Pertambangan Pasir di DIY Pelik
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari daerah pemilihan (dapil) DIY, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas mengakui rumitnya masalah pertambangan pasir di Provinsi DIY.
Dia menyebutkan, peliknya persoalan itu tidak lepas dari persoalan perizinan dan transparansi pemberian izin operasional produksi, kerusakan lingkungan hidup serta tata kelola tambang itu sendiri.
“Bagi masyarakat, potensi ekonomi ini membuka lapangan kerja dan menumbuhkan kesempatan berusaha masyarakat sekitar. Sedangkan bagi daerah, potensi ekonomi ini dapat memberikan pemasukan daerah sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD),” tutur GKR Hemas saat menerima audiensi dari Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP), Sabtu (20/1/2021), di Kantor DPD RI DIY Jalan Kusumanegara Yogyakarta.
Audiensi kali ini juga dihadiri anggota DPD RI DIY lainnya yaitu Hilmy Muhammad dan Muhammad Afnan Hadikusumo. Sedangkan PMKP didampingi Walhi DIY dan LBH Yogyakarta.
Audiensi tersebut merupakan tindak lanjut dari surat permohonan PMKP, paguyuban masyarakat yang melingkupi empat dusun yaitu Dusun Jomboran dan Dusun Nanggulan Kalurahan Sendangagung Kapanewon Minggir Kabupaten Sleman serta Dusun Pundak Wetan dan Dusun Wiyu Kalurahan Kembang Kapanewon Nanggulan Kabupaten Kulonprogo.
Lebih lanjut, permaisuri Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X ini menyatakan pertambangan pasir atau di dalam UU No 3 Tahun 2020 dikenal dengan istilah pertambangan batuan, khususnya di daerah aliran Sungai Progo, menjadi salah satu potensi ekonomi bagi daerah.
Berdasarkan aspirasi masyarakat terkait permasalahan penambangan pasir, maka perlu ada tindak lanjut dengan melibatkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat melalui kementerian terkait.
“Isu ini juga memungkinkan untuk diangkat menjadi isu alat kelengkapan DPD RI yang membidangi sumber daya alam, agar dapat dibahas dengan kementerian terkait, sebagai salah satu materi pengawasan atas pelaksanaan UU No 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,” kata dia.
Gunakan alat berat
Pada forum rapat tersebut, Iswanto selaku Ketua PMKP menyampaikan permasalahan aktivitas tambang pasir bermula dari penambangan pasir dengan menggunakan alat berat oleh dua PT yaitu PT Citra Mataram Konstruksi dan PT Pramudya Afgani yang datang ke wilayah Jomboran tanpa disertai sosialisasi.
Menurut dia, masyarakat menyayangkan karena tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Perusahaan itu beroperasi dengan alasan sudah memegang surat izin. Ini menjadi tanda tanya masyarakat, tidak ada sosialisasi tetapi pihak PT sudah memiliki surat izin operasi. Maka, masyarakat terus mengejar dokumen-dokumen yang menunjang izin penambangan.
“PMKP sudah banyak melakukan pengaduan, mulai dari pengaduan ke kadus, lurah, camat, bupati, DPRD, Sekda DIY, bahkan sampai ke balai besar, tapi tidak ada satu pun yang berpihak pada PMKP,” ungkapnya.
PMKP berharap audiensi ini yang terakhir kalinya. Harapannya pula melalui peran dan fungsi DPD RI bisa membantu PMKP agar perizinan tambang pasir dikaji ulang, jika perlu dicabut karena tidak ada pengawasan terhadap aktivitas tambang.
Fajar Kurnia Adi dari Tim Koalisi Advokat Yogyakarta Pembelaan Masyarakat Kali Progo menambahkan, selain masalah perizinan ada juga permasalahan pelaporan warga ke Polres Sleman oleh pihak PT atas tuduhan dugaan menghalangi proses penambangan.
“Ada dua kasus, yaitu saat warga melakukan aksi menolak penambangan dengan membentangkan banner dan saat warga mendikte salah satu helter dan sopir PT mengajak untuk bermusyawarah terkait penambangan. Hanya saja itu menjadi laporan ke kepolisian,” ungkapnya.
Sedangkan Budi Hermawan dari LBH Yogyakarta berharap ada tindakan nyata dari DPD RI. Pada kasus dua orang warga yang dikriminalisasi dengan pasal 162 menghalang-halangi aktivitas tambang, saat ini sudah pada tahap penyidikan dan berpotensi menjadi tersangka.
Padahal warga di sisi lain dilindungi dengan pasal 66 UUPPLH. Setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak bisa dituntut secara pidana dan perdata.
“DPD RI DIY bisa mengintervensi atau mengirimkan surat ke Polres Sleman untuk menghentikan penyidikannya, karena ini kasus pertama setelah ada revisi UU Minerba di DIY maupun di Indonesia,” tandasnya.
Budi mengharapkan ada tindakan nyata dari DPD RI untuk melakukan evaluasi terhadap penerbitan izin tambang. Di dalam UU No 3 Tahun 2020, klausul pasal 169 diatur izin yang sudah dikeluarkan oleh pemda harus diperbarui oleh kementerian.
Sedangkan pada kasus ini, warga belum menerima pembaruan izin tambang dari Kementerian Investasi. Kewenangan izin tambang masih ada pemda atau asas contrarius actus, siapa yang menerbitkan izin, dia yang mencabut izin.
Proses dan mekanisme
Merespons hal itu, Muhammad Afnan Hadikusumo menjelaskan kewenangan dan tugas DPD RI meliputi tiga hal yaitu regulasi, pengawasan dan pelaporan kepada DPR RI dan Pemerintah. Audiensi kali ini adalah bagian pengawasan atas pelaksanaan UU.
Menurut Afnan, hasil audiensi tidak langsung diselesaikan hari ini seperti permintaan warga tetapi melalui proses dan mekanisme. “Hasil audiensi ini akan disampaikan kepada pihak-pihak yang berwenang terutama mitra kerja DPD RI dengan Pemerintah Pusat yaitu Kementerian LHK dan Kemendagri,“ jelasnya.
Terkait pengaduan ke Polres Sleman, warga bisa menyampaikan surat ke Kapolri agar bisa ditindaklanjuti, dengan melampirkan surat dan bukti-bukti, sehingga ketika DPD RI menyampaikan permasalahan kepada pihak-pihak yang berwenang mempunyai bukti yang akurat.
Hilmy Muhammad menambahkan, untuk melengkapi hasil audiensi perlu data yang lengkap, terkait izin juga harus ada informasi yang jelas, agar bisa melacak dengan mudah dan dapat dilakukan crosscheck kepada pihak-pihak eksekutif.
“Sejauh mana mereka mengeluarkan izin, sejauhmana pengawasan terhadap penambangan pasir sehingga dampak-dampaknya sudah bisa diperkirakan,” ungkapnya.
Mengakhiri audiensi, GKR Hemas menegaskan DPD RI akan melakukan pengawasan aktivitas pertambangan agar tidak merusak lingkungan. Seperti pada kasus pertambangan pasir di Merapi, DPD RI DIY turut memperjuangkan hingga akhirnya pada September silam, Pemda DIY menutup 14 lokasi tambang pasir Merapi.
“Itu pun memerlukan proses yang panjang. Meskipun bukan kewenangan DPD RI, permintaan warga untuk mencabut izin tambang, akan ditindaklanjuti dengan pembicaraan yang intensif dengan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat,” tandasnya. (*)