Film Dokumenter “Smong Aceh” Angkat Kearifan Lokal
Tradisi lisan smong terbukti menyelamatkan ribuan nyawa di Simeulue pada 2004.
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Film dokumenter Smong Aceh karya sineas Tonny Trimarsanto tayang perdana dalam sesi Special Screening di ajang Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2024.
Film berdurasi 31 menit ini diproduksi oleh Cinesurya Rumah Dokumenter dan Christine Hakim Film sebagai bentuk peringatan 20 tahun tragedi gempa dan tsunami Aceh 2004, bencana alam paling mematikan di sejarah modern Indonesia yang merenggut lebih dari 200 ribu jiwa.
Smong Aceh mengangkat kisah tentang bagaimana kearifan lokal dan semangat bertahan hidup masyarakat Aceh menjadi pelajaran penting untuk membangun kesiapsiagaan bencana.
Judul film ini merujuk pada istilah smong kata dalam bahasa lokal Simeulue yang berarti tsunami atau bencana. Tradisi lisan smong terbukti menyelamatkan ribuan nyawa di Simeulue pada 2004, di mana korban meninggal hanya berjumlah enam orang, jauh lebih sedikit dibandingkan korban di Banda Aceh.
Sosok inspiratif
Film ini menggambarkan pengalaman dua tokoh Aceh, Sharina dan Juman, merawat ingatan bencana sekaligus membangun harapan. Sharina seorang penyintas tsunami dari Banda Aceh kehilangan seluruh keluarga dan teman-temannya.
Kini, dia mendedikasikan hidupnya untuk riset dan program edukasi kesiapsiagaan bencana, terutama untuk anak-anak.
Juman adalah seorang musisi tradisional asal Simeulue, menggunakan seni nandong untuk menyebarkan cerita tentang tsunami ke masyarakat melalui pasar dan kedai kopi.
“Film ini menggambarkan semangat kebangkitan masyarakat Aceh sekaligus menjadi pengingat pentingnya kearifan lokal dalam menghadapi ancaman bencana,” ujar sutradara Tonny Trimarsanto yang juga pemenang Piala Citra 2024 untuk Film Dokumenter Panjang Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) saat special screening, Kamis (5/12/2024).
Pentingnya dokumentasi
Dalam sesi wawancara, produser senior Christine Hakim menekankan tsunami Aceh 2004 adalah tragedi besar abad ke-21 yang menyita perhatian dunia.
“Presiden Bill Clinton bahkan datang membawa kapal perang Amerika yang dijadikan rumah sakit darurat karena fasilitas di Banda Aceh kolaps,” ujarnya.
Christine menyoroti peran tradisi lisan Simeulue dalam menyelamatkan ribuan nyawa.
“Ini membuktikan bahwa kearifan lokal adalah kekuatan yang harus dilestarikan. Indonesia berada di antara empat lempeng tektonik, sehingga kesiapsiagaan bencana harus menjadi pengetahuan dasar, terutama di wilayah pesisir rawan tsunami seperti Jawa bagian selatan, Maluku dan Selat Karimata,” tambahnya.
Temuan riset
Film ini juga menampilkan testimoni dari peneliti, pengamat dan pemuka masyarakat serta temuan riset OceanX terkait megathrust dan tsunami.
Christine berharap film ini dapat ditayangkan di sekolah-sekolah, universitas dan komunitas untuk menyebarkan edukasi. Tragedi ini harus menjadi pelajaran generasi muda agar tidak terulang.
Diproduksi bersama Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, BMKG, BRIN, serta Diaspora Global Aceh, film ini juga didukung oleh PT Pupuk Indonesia, Bank Indonesia, Metro TV dan Citilink. Produser seperti Fauzan Zidni Rama Adi dan Tia Sukma Sari turut memperkuat kolaborasi.
“Dengan teknologi modern, film ini bisa diakses lebih luas. Harapannya, tragedi ini diubah menjadi narasi harapan dan kekuatan. Pada 14 Desember, UNESCO juga akan menggelar peringatan di Banda Aceh, menandai dua dekade kebangkitan masyarakat Aceh," harap Christine Hakim.
Pesan emosional
Menurut dia, Smong Aceh bukan hanya mengenang tragedi, tetapi menjadi alat edukasi yang menggabungkan wawasan ilmiah dan kearifan lokal.
Dengan gaya visual mendalam dan pesan emosional, film ini dirancang untuk menggugah empati penonton dan mendorong masyarakat membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana. (*)