Cawabup Martanti Soenar Dewi Masa Kecilnya Suka Berburu Enthung Jati

Cawabup Martanti Soenar Dewi Masa Kecilnya Suka Berburu Enthung Jati

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Calon Wakil Bupati (Cawabup) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gunungkidul 2020, Martanti Soenar Dewi,  rupanya memiliki kenangan tersendiri dengan daerah ini terutama di wilah Ponjong tempat dia dibesarkan.

Ada banyak cerita masih dia ingat hingga sekarang sewaktu diasuh neneknya hingga usia SMP. Martanti kecil lahir di Pematang Siantar. Dia diboyong ke Ponjong usai selapanan, karena weton-nya sama dengan ibunya.

Seperti warga Gunungkidul lainnya yang rata-rata meraih sukses di perantauan, Martanti punya punya kisah dengan enthung jati serta belalang.

Nostalgia itu apabila diceritakan kembali, bahkan rekan-rekannya di Jawa Timur sampai sekarang tidak ada yang mau percaya. Mungkin karena langka padahal seperti itulah kenyataannya. “Cerita masa kecil saya makan enthung jati dan walang kayu teman-teman saya tidak ada yang percaya,” ujarnya, Minggu (1/11/2020), di sela-sela diskusi santai dengan media di Mbah Lin Resto Jalan Wijaya Kusuma Kutu Dukuh Sleman.

Cawabub yang diusung Parta Nasdem itu teringat jika sudah berburu belalang bisa seharian lupa waktu. “Kecil saya nek gur mbledhik walang kayu... dapat lima dibakar bareng-bareng. Ana sing entuk suthang,” kata Martanti. Sedangkan enthung jati cukup dibakar pakai bumbu garam, langsung lep.. lep.

Hanya saja dia waktu itu memang tidak suka nasi bulgur. Karena termasuk cucu yang dimanja, neneknya selalu menambahkan lebih banyak beras, dia sebut pil putih, ketimbang campuran bulgur. Baginya pula, minum tajin juga hal biasa.

Semasa sekolah, Martanti mengakui sampai kelas empat masih memakai sabak, batu hitam pengganti kertas. “Sekarang sabak digital,” kata dia.

Sebagai bentuk komitmennya terhadap Gunungkidul, Martanti yang memiliki latar belakang politik sebagai pimpinan Partai Golkar di Jawa Timur ini punya keinginan melestarikan rumah bupati pertama Gunungkidul.

Jika memungkinkan, rumah tersebut dipertahankan seperti aslinya. Apalagi di dalamnya terdapat benda-benda yang masih asli peninggalan masa lalu, seperti senthong dan lainnya. “Dulu ada keris dan tombak. Saya nggak berani masuk,” ujarnya bercanda.

Tak muluk-muluk

Kini, saat mengikuti kontestasi pilkada Martanti Soenar Dewi mengakui dirinya sengaja tidak menawarkan program muluk-muluk. Sebagai putra daerah, trah bupati pertama Gunungkidul sekaligus cucu dari bupati ke-18 Gunungkidul ini hanya ingin menjadikan kabupaten itu ke depan lebih maju.

“Gunungkidul itu hanya butuh pemimpin yang bisa membuat maju. Bu Badingah (bupati saat ini) program-programnya sangat bagus. Kita rasakan Gunungkidul maju, banyak meraih prestasi. Tinggal kita melanjutkan. Masyarakat Gunungkidul sangat mencintai Bu Badingah, itu berarti merasakan keberhasilan,” ungkapnya.

Cawabup yang berpasangan dengan cabub Immawan Wahyudi itu menyampaikan, kelak jika diizinkan Allah SWT untuk memimpin Gunungkidul dirinya tinggal melanjutkan program-program lama yang belum terlaksana selama masa kepemimpinan Bupati Badingah.

Di antara program yang perlu dilanjutkan, sebut Martanti, di antaranya penyelesaian masalah klasik kekurangan air yang dialami sebagian warga Gunungkidul saat kemarau tiba. “Air sebagai masalah klasik tidak bisa kami remehkan. Masih banyak dusun belum terpenuhi kebutuhan air,” ungkapnya.

Problem air bersih itu saat ditangani dengan solusi pembuatan sumur bor. Ke depan, program sumur bor tinggal dilanjutkan dengan dukungan investor.

Potensi lainnya, menurut Martanti, Gunungkidul sangat layak dijadikan lokasi pengolahan limbah medis. Selain tanahnya kuat dan lahan tersedia, sektor ini terbukti menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) yang luar biasa.

Satu lagi, kata Martanti, pariwisata yang sudah maju selama masa kepemimpinan Bupati Badingah tinggal diteruskan disertai inovasi-inovasi terbaru.

 “Saya rasakan lima tahun belakangan pariwisata Gunungkidul bukan main. Bisa saya katakan pariwisata Gunungkidul saat ini adalah tulang punggung pariwisata DIY,” tambahnya.

Hanya saja, perlu ada perimbangan. Sarana pendukung seperti tempat berbelanja oleh-oleh, suvenir serta penginapan disediakan dengan baik. Selama ini wisatawan berondong-bondong ke Gunungkidul namun menginap di Yogyakarta serta membeli oleh-oleh dari Kota Yogyakarta.

Inilah pentingnya Gunungkidul membangun etalase pariwisata yang memadai sehingga wisatawan ada gairah menginap di kabupaten tersebut. “Sekarang kita hanya mendapatkan tiket masuk Rp 10 ribu,” jelasnya.

Martanti mendorong tumbuhnya “dewa-dewi” yaitu desa wisata alam dan desa wisata industri, di antaranya industri camilan mete maupun krecek.

Menjawab pertanyaan soal kawasan pegunungan karst, sebagai warga Gunungkidul dia mengakui banyak bukit ditambang tidak sesuai aturan. Ke depan mestinya dinas terkait betul-betul mengawasi.

Dia menilai masalah itu bukan sekadar perizinan yang kedaluarsa maupun tanpa izin sebab penambang yang berizin pun ada yang tidak mematuhi aturan. Inilah yang dikhawatirkan bisa membuat potensi pariwisata tercela karena tidak dipatuhinya aturan. (*)