Budaya Pamer di Media Sosial

Budaya Pamer di Media Sosial

SEBUAH video link menggambarkan sekelompok remaja elit berkumpul di sebuah lapangan sepak bola, kemudian satu persatu tampil memamerkan merk dan harga sepatu, kemeja, celana, topi dan apa pun yang sedang mereka kenakan. Ada yang memakai T-Shirt seharga US$ 500, sepatu seharga US$ 300, atau topi senilai US$ 250. Budaya pamer (flexing culture) di media sosial tengah melanda kehidupan kita dewasa ini. Ironisnya, hal itu terjadi di tengah sebagian besar masyarakat tengah dihimpit kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Bagaimana kita menyikapi fenomena sosial ini?

Asal Mula

Bahasa gaul ‘flexing’ atau pamer kekayaan dan kemewahan, awalnya berkembang dalam budaya hip-hop dan rap di kalangan warga kulit hitam Amerika Serikat. Istilah flex atau flexing pertama kali digunakan oleh raper Ice Cube di 1990 dalam lagunya ‘It was a good day’. Kata flexing ia gunakan untuk menunjukkan keberanian dan keinginan suka pamer. Singkatnya, berani pamer atas capaian.

Barangkali dalam konteks kita, istilah ‘ré munggah balé mungkin dapat menggambarkan situasi ini. Manakala cukup lama, warga kulit hitam AS dianggap sebagai masyarakat kelas dua, miskin, tertindas, dan mendadak menjadi kaya, entah karena keberuntungan atau karena prestasinya, tentu ingin memamerkan capaian itu. Hal itu ia lakukan untuk membanggakan diri atau menambah rasa percaya diri. Sesuatu yang wajar dan positif bukan?

Jadi, ketika Anda memamerkan barang-barang mahal seperti pakaian versace, jam tangan rolex, tas gucci atau zephira, juga foto kunjungan anda ke tempat-tempat liburan eksotik dan makanan mewah di hotel-hotel berbintang, itu hak Anda. Sejauh Anda tak berniat untuk berpongah diri atau untuk melukai perasaan orang lain. Bahkan dalam salah satu artikelnya majalah Psychology Today mengemukakan, “Anda boleh-boleh saja bercerita tentang pencapaian Anda, karena itu dapat berfungsi sebagai afirmasi diri yang pada gilirannya menumbuhkan rasa pede dan inspirasi bagi orang lain.”

Dari sudut pandang ini, flexing bukan sesuatu yang buruk. Dengan begitu, penulis sendiri tidak terganggu melihat seorang pengacara kondang yang suka pamer dan menjuluki diri sebagai ‘Pengacara 30 miliar’. Artinya, kemana pun ia pergi, semua yang ia kenakan, mulai dari sepatu, setelan jas, jam tangan, sabuk, cincin berlian dan aksesoris lain, jika ditotal seharga Rp 30 miliar. Mungkin ia sedang menggunakan flexing untuk membangun dan mempertahankan citra diri sebagai pengacara mahal.

Strategi Pemasaran

Bertentangan dengan ulasan di atas, ada anggapan lain yang mengatakan bahwa, orang yang suka pamer barang mewah di medsos, belum tentu kaya atau sukses benaran. Karena orang kaya sejati akan berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kekayaannya. Orang kaya sejati malah takut ketahuan kaya. Karena semakin memamerkan kekayaannya semakin tinggi ancaman.

Prof. Rhenald Kasali, Ph.D., seorang akademisi dan praktisisi binis bercerita bahwa, pernah dalam salah satu penerbangannya ia duduk berdampingan dengan seorang pria tua yang berpenampilan sangat sederhana dengan pakaian lusuh, tapi santun dan ramah. Sesampai di bandara tujuan, Prof. Kasali dan para penumpang lain makan siang di sebuah restoran. Ketika hendak membayar makan siang, baru diketahui kalau makan siang mereka sudah dibayar oleh pria tua itu. Mereka semua terperangah. Belakangan baru diketahui bahwa, pria tua berpenampilan sederhana yang telah membayar makan siang mereka itu, tak lain dan tak bukan adalah Liem Shioe Liong, salah satu kongglomerat terkaya Indonesia. Sejak saat itu, Prof. Kasali, lebih berhati-hati untuk menilai orang dari penampilannnya. Karena penampilan bisa mengecoh.

Fenomena sultan atau crazy rich kini marak di media. Raffi Ahmad, pemeran, pembawa acara, penyanyi, pengusaha, YouTuber, produser dan selebritas yang baru saja dinobatkan bersama istrinya Nagita Slavina sebagai, The Sultans of Content oleh Forbes Indonesia, adalah salah satu tokoh yang dianggap kaya di negeri ini. Pada suatu kesempatan ada yang bertanya seberapa besar kekayaannya, istrinya Nagita langsung menyambar, ‘bisa untuk membeli seluruh perumahan Anda!’

Kita pasti memahami, kekayaan Raffi Ahmad diperolehnya lewat kerja keras. Di kesempatan lain Raffi Ahmad bercerita bahwa, sejak dulu ia bekerja sangat keras untuk menyicil hutang. “Sebenarnya aku bisa membayar langsung semua hutangku, tapi aku sengaja menyicil supaya aku terdorong untuk bekerja lebih giat,” katanya beralasan.

Menurut pengakuan Raffi Ahmad, ia pernah menyicil Rp. 1,2 miliar perbulan. Tapi kini, ia ingin hidup lebih tenang tanpa memikirkan semua cicilan itu. Alasannya antara lain seperti yang dikemukakan oleh Mbak Lala, Asisten Rumah Tangga-nya. Menurut Lala, Rafattar putra sulung Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, yang ketika itu berusia 6 tahun, sering mengeluh dan murung gegara sang ayah nyaris tak pernah hadir di sekolah untuk mendampinginya, seperti ayah teman-temannya.

Berbagai kajian menyimpulkan bahwa budaya pamer (flexing culture) merupakan langsung dari kapatalisme membentuk pola hidup konsumeristik. Pola hidup tersebut kemudian persaingan pasar yang semakin keras dalam persaingan merebut perhatian kosumen. Salah satu cara efektif dalam menarik perhatian konsumen adalah dengan menjadikan tokoh publik atau kaum selebriti sebagai brand ambassador.

Maka tokoh-tokoh publik menjadi incaran perusahaan-perusahaan multi nasioanl. Mereka pun sering terlihat dengan gampang mengoleksi mobil mewah hingga  puluhan; bepergian ke luar negeri; dan hidup begelimang harta. Pola konsumsi mereka yang sering direkayasa itu, diharap bisa menarik calon kosumen untuk membeli produk-produk tertentu. Jadi, dapat kita simpulkan, easy money sebagaimana yang sering ditampilkan flexing oleh para artis itu tidak ada. Karena kaum selebriti yang suka pamer itu mungkin adalah para pekerja keras. Dan bukan mustahil, kalau kebiasaan suka pamer itu pun jadi bagian dari profesi mereka.

Banyak teori mengatakan, sulit seseorang menjadi kaya raya di bawah usia tiga puluh tahun, kalau bukan karena menang undian atau karena harta warisan.

Konotasi Negatif

Harus kita akui, bahwa secara umum orang berpandangan flexing atau kebiasaan suka pamer itu negatif. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan, Bondo donya ora jaminan urip tentrem, artinya kekayaan di dunia tidak bisa menjamin hidup tenteram. Oleh karena itu, kekayaan material tak pantas dipamerkan. Dulu, jarang kita menyaksikan orang-orang yang kaya dan berkedudukan sosial tinggi memamerkan diri. Biasanya kekayaan mereka dipamerkan orang lain. Ada pihak ketiga yang memamerkan kehebatan mereka.

Kini media sosial hadir dengan menyediakan apa yang dulunya tidak tersedia yakni anonimitas. Di Facebook dan Instagram, orang bisa saja mengarang atau membesar-besarkan sesuatu untuk menarik perhatian orang lain agar dirinya dianggap superior. Padahal kenyataannya mungkin tidak demikian.

Dalam kamus bahasa gaul bahkan ada ungkapan, ‘flex on someone’ yang artinya pamer diri untuk membuat orang lain merasa tak berdaya, menjadi iri dan sakit hati. Niatnya memang sengaja untuk mengecilkan orang lain. Pamer diri semacam ini tidak sehat dan umumnya berasal dari orang dengan rasa ego yang besar. Orang bertipe ini juga, tak memiliki rasa empati saat banyak orang sedang terpuruk dan miskin akibat pandemi Covid-19.

Keinginan untuk pamer diri semacam ini seringkali mencerminkan rasa tak nyaman yang bersangkutan terhadap dirinya sendiri. Dia bukanlah sesiapa jika tanpa tas Louis Vuitton atau mobil Ferarri. Orang itu sebenarnya terperangkap dalam keinginan untuk terus mengonsumsi (conspicious consumption).

Fay Weldon, penulis The Life and Loves of She-Devil (1983) mengemukakan, bahwa menahan hasrat yang tak terkendali untuk mengekspresikan sesuatu membuat orang menderita. Mereka kesepian. Menurutnya, media sosial seperti facebook itu pada dasarnya merugikan seperti halnya kapalitalisme merugikan masyarakat. Karena wahana itu mencerminkan kenyataan, bahwa masyarakat kita memang materialistik dan konsumeristik dan itu bukan perkara sederhana.

Kesimpulan

Flexing atau kebiasaan pamer kekayaan yang marak di media sosial seperti sekarang ini, perlu kita sikapi dengan bijak. Bagaimana pun kita tak bisa melarang orang untuk memamerkan kekayaan dan kehidupan mewahnya di sosial media. Yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan respons kita terhadap fenomena itu, misalnya dengan tidak mengonsumsi materi itu.

Baiklah kita mengetahui bahwa orang kaya sejati biasanya tidak pamer. Yang selalu ingin pamer itu ada dua penyebab, pertama orang itu sedang bermasalah dengan dirinya sendiri, misalnya rasa percaya diri hanya ia peroleh dengan cara mempertontonkan kekayaan dan kemewahannya; atau karena pameran kemewahan itu menjadi tuntutan profesi, katakanlah sebagai brand ambassador.

Tapi bagi penulis tindakan memamerkan pengeluaran yang berlebihan terhadap barang-barang material dan kemewahan hanya untuk mendapatkan perhatian publik itu, kurang pantas di tengah kondisi masyarakat umum yang sedang susah. Bagaimanapun para tokoh masyarakat yang suka pamer kekayaan itu mempunyai tanggung jawab sosial.

Bagaimana jadinya jika anak-anak kecil di bawah usia 10 tahun sepanjang waktu terpapar oleh pola hidup berlebihan seperti membeli nasi goreng seharga Rp 400 juta atau hadiah kejutan pesawat jet seharga Rp. 100 miliar, sementara untuk membayar SPP, orangtua anak-anak itu harus pinjam ke sana ke mari?

Masyarat kita umumnya belum kritis. Mereka naif dan mudah dibohongi. Mereka sulit membedakan antara ilusi dan kenyataan, dan kalau pamer kekayaan itu ternyata juga buat jualan. Oleh karena itu, para tokoh publik seyogyanya memiliki kepekaan dan sikap moral untuk menjadi panutan sekaligus mengedukasi masyarakat dalam hal konsumsi yang etis, yakni kosumsi yang memperhitungkan lingkungan sosial dan juga sumber daya alam. ***

John de Santo

Pendidik dan Pengelola Rumah Belajar Bhinneka; berdomisili di Yogyakarta.