Belajar dari Sanggar Anak Alam, Makan Siang Gratis Bukan Asal Kenyang
Dari menanam sayuran hingga memasak, semuanya menjadi bagian dari pembelajaran.
KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Di tengah hiruk pikuk program makan siang gratis yang sedang digaungkan pemerintah, sebuah sekolah alternatif di Bantul diam-diam menjalankan praktik yang jauh lebih dalam selama 25 tahun.
Sanggar Anak Alam (Salam) Nitiprayan tidak sekadar memberi makan anak-anak, tetapi menjadikan makan siang sebagai jantung dari filosofi pendidikan mereka.
"Makan siang atau makanan bergizi di Salam menjadi satu kesatuan dengan proses belajar, bukan sesuatu yang terpisah," ungkap Sri Wahyaningsih, pendiri Salam, saat ditemui di Sanggar Anak Alam yang terletak di petak sawah Kampung Nitiprayan, Rabu (9/10/2024).
Pernyataan sederhana ini menyimpan kompleksitas pemikiran yang menjadi pembeda Salam dari sekolah-sekolah lain. Salam berdiri di atas empat pilar kokoh yaitu pangan, kesehatan, kelestarian hidup dan sosial-kebersamaan.
Praktik sehari-hari
Dia menjelaskan, program makan siang mereka bukan program tambahan yang sekadar ditempelkan pada kurikulum, melainkan manifestasi dari keempat pilar tersebut dalam praktik sehari-hari.
Ketika sebagian besar sekolah memilih jalan praktis dengan menggunakan jasa katering, Salam justru melibatkan seluruh komunitas sekolah dalam proses makan siang. Dari menanam sayuran hingga memasak, semuanya menjadi bagian dari pembelajaran.
Di tengah euforia program makan siang gratis yang dicanangkan pemerintah, Sri Wahyaningsih menyuarakan kekhawatiran yang konstruktif. "Program ini, mungkin dalam keadaan darurat, nggak apa-apa, tapi kalau untuk jangka panjang bisa menimbulkan ketergantungan," ujarnya.
Menurutnya, program pemerintah yang terpusat dan seragam mengabaikan kenyataan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman.
Selera berbeda
"Harga di desa, kota dan pedalaman berbeda-beda, jadi kalau diseragamkan itu nggak mungkin. Menu juga, anak-anak di berbagai daerah punya selera yang berbeda. Misalnya, di Jawa Timur suka asin, sementara di Jogja suka manis," ungkapnya.
"Kita negara maritim terbesar kedua di dunia, negara agraris, tapi tidak bisa membuktikan hal itu," Wahya mengungkapkan ironi yang mengganjal.
Di Salam, Wahya melanjutkan, makanan lokal bukan sekadar alternatif, melainkan prioritas yang dibanggakan. Namun, mereka tidak naif menghadapi tantangan zaman. Di era ketika makanan cepat saji dan camilan modern membanjiri pasar, Salam mengambil pendekatan adaptif.
"Kita nggak bisa hanya bicara soal gizi dan makanan sehat, tapi juga penampilan yang menarik bagi anak-anak," jelasnya.
Mengundang selera
Misalnya, singkong tidak hanya disajikan dengan cara tradisional yang mungkin kurang menarik bagi anak-anak, tetapi dimodifikasi menjadi hidangan yang mengundang selera tanpa kehilangan nilai gizinya.
Hasilnya? Wahya mengakui ada perubahan perilaku yang signifikan. Anak-anak yang tadinya nggak suka sayur, jadi suka karena mereka terlibat dalam proses memasak dan makan bersama.
"Lebih dari itu, anak-anak menjadi lebih selektif saat jajan dan mulai terbiasa membawa bekal dari rumah," tambahnya.
Yang lebih mengesankan, pendekatan holistik ini bahkan berdampak pada pengurangan sampah dalam kegiatan sekolah. Ini membuktikan bahwa ketika makanan diperlakukan sebagai bagian dari pendidikan, dampaknya melampaui sekadar urusan perut asal kenyang.
Tantangan
Meski model Salam terbukti berhasil, mengadopsinya ke sekolah lain bukanlah perkara mudah. Kurikulum yang terfragmentasi menjadi kendala utama.
"Kendala utama adalah kurikulumnya yang tidak holistik, terpisah-pisah. Padahal ini sangat erat hubungannya dengan apa yang dimakan, apa yang dikonsumsi," dia menjelaskan.
Wahya yang merupakan salah seorang murid Romo Mangunwijaya berharap program makan siang pemerintah bisa menjadi pintu masuk bagi transformasi yang lebih besar.
"Program ini bisa diinisiasi oleh sekolah atau daerah masing-masing, dan menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk menjalankan program ketahanan pangan," ujarnya.
Realitas lokal
Setelah 25 tahun, Salam membuktikan bahwa makan siang sekolah bisa menjadi lebih dari sekadar program pemberian makanan. Ia bisa menjadi jembatan menuju ketahanan pangan, pemberdayaan masyarakat, dan yang terpenting, pendidikan yang benar-benar mengakar pada realitas lokal.
Mungkin sudah waktunya kita belajar dari Salam, bahwa makan siang bukanlah sekadar ritual mengenyangkan perut, tetapi momentum pembelajaran yang berharga. (*)