Di Sanggar Anak Alam Singkong Menjelma Jajanan Kekinian
Ini bukan hanya soal rasa, tetapi juga cara kita bersaing dengan dunia global.
KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Siswa dan orang tua siswa Sanggar Anak Alam (SALAM) bersama tim Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengembangkan inovasi kuliner berbasis bahan pangan lokal.
Singkong, bahan makanan yang kerap dipandang sebelah mata itu kini disulap menjadi kudapan modern yang menarik minat generasi muda. Dalam kegiatan ini, tidak hanya bicara soal gizi dan makanan sehat, tapi juga penampilan makanan yang menarik bagi anak-anak.
"Anak-anak tentu lebih tertarik jika singkong yang kita sajikan, misalnya, dimodifikasi menjadi makanan yang menarik. Ini bukan hanya soal rasa, tetapi juga cara kita bersaing dengan dunia global," ujar Sri Wahyaningsih, pendiri SALAM, saat ditemui di lokasi, Rabu (9/10/2024).
Wahya menekankan program yang dijalankan di Salam bukan sekadar program pengabdian biasa melainkan telah menjadi bagian dari keseharian.
Program baru
Di Salam, lanjut dia, inisiatif-inisiatif semacam ini sudah lazim namun program baru ini membantu memperkuat visi yang sudah ada. Di sekolah ini, konsep makan siang atau makanan bergizi telah menjadi bagian integral dari proses pembelajaran.
Selain itu, Wahyaningsih menyoroti pentingnya memperkenalkan makanan lokal kepada anak-anak sebagai bentuk penghargaan terhadap ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan. "Makanan yang kita sajikan harus berasal dari bahan lokal," jelasnya.
Menurut dia, tantangan yang dihadapi adalah persaingan dengan pasar global yang tak memiliki filter. Bahkan produk-produk multinasional yang masif dipromosikan melalui berbagai media.
Dari kegiatan ini tercipta belasan inovasi olahan kudapan berbahan singkong seperti madu sari dan kroket singkong dengan tampilan Instagram-able tanpa mengorbankan cita rasa aslinya.
Bahan alami
Keunikan program itu terletak pada penggunaan bahan-bahan alami sebagai pewarna, seperti ekstrak bunga telang dan daun pandan, menggantikan pewarna kimia.
"Lebih dari itu, dengan edukasi yang berlangsung sejak lama ini, anak-anak menjadi lebih selektif saat jajan dan mulai terbiasa membawa bekal dari rumah," tambah Wahyaningsih.
Dia mengakui ada perubahan perilaku yang signifikan, termasuk meningkatnya minat anak-anak terhadap sayuran setelah terlibat dalam proses memasak. "Yang tadinya nggak suka makan sayur, jadi suka," tambahnya.
Dr Ir Suhartini selaku Ketua Tim PKM UNY menjelaskan inovasi ini merupakan bagian dari program yang lebih besar. "Kami ingin menunjukkan bahwa makanan sehat dan menarik bisa dibuat tanpa bahan kimia," jelasnya.
Pengolahan
Menurut dia, siswa SALAM tidak sekadar menjadi penonton. Mereka dilibatkan langsung dalam proses pengolahan, mulai dari mencuci peralatan hingga mengolah bahan. Pendekatan learning by doing ini terbukti efektif mengubah persepsi dan kebiasaan makan anak-anak.
Kolaborasi yang telah terjalin lebih dari satu dekade ini juga mencakup aspek lingkungan. Tim PKM UNY mengembangkan sistem ember kompos dua tingkat yang mengubah limbah dapur menjadi pupuk padat dan cair. Inovasi ini menjadi solusi praktis di tengah status Yogyakarta yang telah masuk kategori darurat sampah.
"Jika setiap rumah bisa mengelola sampahnya sendiri, masalah sampah di jalan-jalan dapat teratasi," tegas Suhartini.
Selain ember kompos, tim juga memperkenalkan biopori dan eco-enzyme sebagai alternatif pengelolaan sampah di tengah keterbatasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Prioritas
Di SALAM, makanan lokal bukan sekadar alternatif, melainkan prioritas yang dibanggakan. Namun, mereka mengambil pendekatan adaptif menghadapi era di mana makanan cepat saji dan camilan modern membanjiri pasar.
Singkong tidak hanya disajikan secara tradisional, tetapi dimodifikasi menjadi hidangan yang mengundang selera tanpa kehilangan nilai gizinya.
Inisiatif UNY di SALAM ini menjadi model percontohan bagaimana institusi pendidikan dapat berperan dalam pelestarian kuliner tradisional sekaligus mengatasi permasalahan lingkungan.
Program tersebut membuktikan bahwa dengan kreativitas dan komitmen, makanan tradisional dapat tetap eksis di era modern tanpa mengorbankan keaslian dan nilai gizinya.
Keberhasilan program ini diharapkan dapat menginspirasi lebih banyak lembaga pendidikan dan komunitas untuk mengembangkan inovasi serupa, memadukan pelestarian kuliner tradisional dengan kepedulian terhadap lingkungan. (*)