Anak Usia Dini Belajar Matematika?

Oleh: Sri Wahyaningsih
Anak Usia Dini Belajar Matematika?
Sri Wahyaningsih. (Istimewa).

PENDIDIKAN Anak Usia Dini adalah pendidikan fase fondasi. Pendidikan yang berperan membentuk karakter, menggali potensi dan menentukan watak.  Menurut Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, fase fondasi ini disebut juga sebagai fase puber pertama, fase matang sebagai anak manusia. Apa yang terjadi pada fase fondasi akan mempengaruhi kehidupannya kelak pada kemudian hari. Fase ini hanya terjadi sekali dalam seumur hidup. Sehingga Pendidikan anak usia dini menjadi fase penting dalam kehidupan anak.

Presiden Prabowo mengharapkan ada peningkatan kwalitas sains dan teknologi di tingkat Sekolah Dasar, sehingga ia berharap pengenalan matematika dimulai sejak Taman Kanak - Kanak atau jenjang PAUD. Jika hal ini dimaknai sebagai memberi mata pelajaran matematika di jenjang PAUD, maka salah besar. Anak usia dini belum menggunakan otak untuk berpikir. Menjejali mereka dengan mata pelajaran akan membebani otak mereka.

Pengenalan matematika tidak berarti memberi mata pelajaran matematika. Anak-anak PAUD belum saatnya belajar ilmu pengetahuan, namun yang harus digali adalah rasa ingin tahunya. Melalui panca inderanya mereka belajar tentang apa saja yang menarik baginya. Ketika mereka mendapat ruang yang merdeka maka keinginan untuk belajar tentang apa saja akan berkembang. Mereka akan menjadi pembelajar sepanjang masa. Tidak hanya sains dan teknologi, saya percaya mereka akan belajar sesuai dengan minatnya. Banyak talenta dapat berkembang.

Lalu bagaimana ketika anak-anak harus belajar matematika? Tentu bukan matematika dalam artian mengenal rumus-rumus. Menghafal, menulis (menebalkan) angka-angka. Tetapi anak-anak diajak mengenal konsep-konsep hitungan melalui aktivitas yang mereka sukai. Pembelajaran sambil-menyambil. Guru harus pandai mencari momen memasukkan konsep-konsep ketika anak bermain. Sehingga anak-anak tetap merasa nyaman belajar. Bahkan tidak terasa mereka sudah banyak belajar dari aktivitas bermainnya.

Hakekat belajar anak usia dini adalah bermain dan alat berpikir mereka adalah panca indera. Bermain membuat anak-anak mengalami sukacita. Baik bermain sendiri maupun bersama teman-teman sebaya. Dalam suasana sukacita ide-ide cemerlang akan bermunculan. Mereka akan mencoba-coba sesuatu yang baru yang sebelumnya belum pernah mereka alami. Mereka akan mereka-reka sesuatu, mengulang-ulang apa yang mereka suka, sampai menemukan sesuatu yang mereka inginkan. Hal-hal yang menantang sering kali menjadi pilihannya. Bermain bagi anak adalah alat untuk mendidik dirinya sendiri.

Romo YB Mangunwijaya mengatakan, “Anak adalah maha guru bagi dirinya dan sumber belajar bagi teman-temannya”. Tugas orang dewasa adalah memberi ruang merdeka, sehingga anak-anak akan mekar semekar-mekarnya. Ambisi orang dewasa jangan sampai membelenggu tumbuh kembangnya. Tugas pendidikan adalah mengantarkan anak-anak menemukan jati dirinya, menemukan potensi baiknya, sehingga mereka dapat berperan aktif dalam kehidupannya. Sains dan teknologi hanyalah alat dan bukan satu-satunya yang dapat menjamin kesuksesan. Ketika diajarkan dengan cara memaksa, karena ambisi orang dewasa, yang terjadi justru mencederai tumbuh kembangnya.

Pendidikan anak usia dini harus dirancang sedemikian rupa. Bermain yang menyenangkan mutlak menjadi kebutuhan anak. Bermain yang lahir dari hati nuraninya, bukan bermain atas inisiatif orang dewasa. Dialog adalah cara yang tepat untuk memahami apa yang dimaui anak. Pendidikan dengan cara memberi hafalan-hafalan menjadi tidak bermakna dan mudah lupa. Bahkan dapat membebani otak mereka, sehingga mereka kehilangan gairah belajar. Pengalaman panjang di Indonesia ketika calistung diterapkan di jenjang PAUD apa yang terjadi? Anak-anak menjadi tidak menyukai belajar. Belajar bukan merupakan pengalaman yang menyenangkan, sehingga belajar sepanjang hayat hanyalah isapan jempol.

Ketika anak-anak masuk Sekolah Dasar sudah dapat membaca dan berhitung tidak menjamin tingkat literasi dan numerasinya tinggi. Terbukti hasil tes PISA kita masih rendah setara dengan Palestina yang kondisi negaranya sedang carut marut. Mengapa? Karena proses belajar diberikan dengan cara menghafal, sehingga tidak menjadi pengalaman yang mendalam akibatnya mudah lupa.

Untuk meningkatkan kwalitas pendidikan, terlebih dahulu harus meningkatkan kwalitas pendidikan guru. PAUD di Indonesia sebagian besar diselenggarakan oleh masyarakat dengan biaya swadaya. Masih banyak guru yang honornya jauh di bawah UMR. Guru-guru PAUD tugasnya berada di garda depan karena berada pada fase fondasi, namun nasibnya memprihatinkan. Sudah selayaknya pemerintah memberi perhatian. Meningkatkan kwalitas guru sekaligus meningkatkan kesejahteraan mereka. Kekeliruan dalam pengasuhan pada fase fondasi akan berakibat fatal pada tumbuh kembang anak.

Pengalaman panca indera akan optimal ketika anak-anak bermain dengan sukacita. Guru dan orang dewasa di sekitarnya bertugas mendampingi, membantu memaknai dan memberi penguatan atas pengalaman yang ditemukan anak. Tut Wuri Handayani (Dari belakang memberi penguatan) semboyan dari bapak pendidikan Ki Hadjar Dewantara terasa sangat bermakna. Anak-anak menjadi subyek belajar, guru menuntun dan memberi penguatan.

Tantangan bagi para guru PAUD adalah bagaimana menempatkan anak sebagai subyek belajar. Guru bukan mengajar melainkan menjadi fasilitator. Memandang anak sebagai individu yang berdaya. Guru PAUD jangan terlalu dibebani tugas-tugas administrasi. Tugas utama guru adalah menuntun anak menemukan jati dirinya, menguatkan karakternya, menemukan potensi baiknya.  Membangun ekosistem belajar di lingkungan sekolah wajib diciptakan sehingga anak-anak dapat bermain dengan sukacita dan mereka dapat matang sebagai anak manusia. Siap menjadi pembelajar sepanjang masa. Meningkatkan kwalitas pendidikan tidak semata-mata hanya berpijak pada kwalitas saint dan teknologi belaka, namun meningkatkan kwalitas guru, ekosistem lingkungan sekolah yang nyaman, kerja sama dengan orang tua menjadi faktor yang penting untuk diperhatikan. *

Sri Wahyaningsih

Pendiri Sanggar Anak Alam Yogyakarta.