Aktivitas Sastra di Kotagede Kembali Menggeliat

Aktivitas Sastra di Kotagede Kembali Menggeliat

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Orang bersastra memiliki kemampuan mengkomunikasikan dengan bahasa simbolik. Ini terungkap saat berlangsung Diskusi dan Angkringan Sastra, Jumat (17/03/2023) malam, di Pendopo Sekretariat Sastra Mbeling Kampung Dolahan Kotagede Yogyakarta.

Agenda yang diinisiasi Seksi Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta ini semarak dengan hadirnya ratusan penikmat sastra.

Diskusi sastra disampaikan oleh Achmad Charis Zubair, Erwito Wibowo dan Mustofa W Hasyim, dengan moderator Dinar Setiawan.

Charis kepada koranbernas.id menyampaikan pengalaman bersastra di Kotagede. Sebagai pelaku sastra bersama komunitas sastra yang tumbuh di kampung Kotagede dia menjadi saksi aktivitas sastra yang berbaur dengan warga sejak lama.

Menurut Charis, lingkungan sosial budaya di Kotagede memang mendukung tumbuhnya ekosistem sastra. Dulu di Kotagede tahun 1930-an sudah ada toko buku SN 26 dan toko buku Merpati.

Kemudian, diikuti hadirnya perpustakaan Pemuda Muhammadiyah dan perpustakaan Apik, juga pendapa-pendapa warga yang menjadi tempat aktivitas sastra.

Lanjut Charis, sastra merupakan ekspresi seni budaya yang luar biasa. Orang bersastra memiliki kemampuan mengkomunikasikan bahasa simbolik.

Hingga tahun 1970-an sastrawan besar seperti Linus Suryadi AG, Umbu Landu Paranggi, Emha Ainun Najib, Darwis Khudori, Slamet Kuntohadi Tomo hingga Mustofa W Hasyim tercatat sejarah telah berproses kreatif sastra di Kotagede.

Malam itu, sastrawan muda Noorty Ida Ayu Ningrum membacakan puisi karya Emha Ainun Nadjib berjudul 99 Untuk Tuhanku, Achika Afriyati membaca karyanya sendiri berjudul Bhineka Tunggal Ika, FX Joko Sarwono membaca Geguritan berjudul Bebadra, Angin, Kidung Mawar.

Selain itu, juga ada penampilan pertunjukan Sastra Ngudarasa. Dua karya sastra ngudarasa Mustofa W Hasyim berjudul Ki Ageng Miskin dibawakan oleh Puji Widodo dan Telunjuk Sunan Kalijaga oleh Tegar Imani. Penampilan ini sangat memukau penikmat sastra yang hadir.

Tokoh masyarakat Kotagede Heniy Astiyanto kepada koranbernas.id mengatakan Sastra Mbeling adalah paguyuban seni sastra yang didirikan pada 2015 oleh almarhum Brisman HS dan Aris Purwoko. Saat ini dimotori oleh Erwito Wibowo dan Mustofa W Hasyim.

“Kita berkesenian di Kotagede yang rasa budayanya sangat melekat. Terima Kasih kepada Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta yang telah memfasilitasi agenda ini,” ujarnya.

Erwito Wibowo menambahkan, kedatangan tokoh sastra masa lalu ke Kotagede berpengaruh pada ketertarikan generasi muda pada sastra. Maraknya lomba-lomba sastra membawa pengaruh baik dengan munculnya generasi sastrawan hasil lomba.

“Gelora sastra anak muda di Kotagede perlu ditumbuhkan lagi. Sastra Mbeling memfasilitasi hal ini melalui kegiatan jagongan seni, pelatihan penulisan sastra dan juga pertunjukan. Melalui agenda ini, dunia sastra juga didekatkan dengan masyarakat oleh Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta,” jelasnya.

Kepala Bidang Sejarah Permuseuman Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta, Rully Andriadi, yang membuka acara tersebut menyampaikan ucapan terima kasih atas terlaksananya agenda ini dengan antusiasme penikmat sastra yang menggembirakan.

Upaya pelestarian sastra merupakan salah satu tugas pokok, sedangkan agenda Diskusi dan Angkringan Sastra ini menjadi awalan dari agenda besar tahunan Festival Sastra yang puncaknya akan dilaksanakan Oktober mendatang.

Kepala Seksi Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta, Ismawati Retno, mengatakan pihaknya memiliki semangat yang besar untuk menggelorakan lagi geliat sastra di penjuru Kota Yogyakarta.

Agenda sastra dirancang pada tahun 2023 ini agar aktifivas sastra semakin menyentuh banyak warga kota. Harapannya Yogyakarta kembali menyandang identitas sebagai Ibu Kota Sastra.

Malam yang berselimut mendung semakin membawa kedekatan sastrawan beda generasi yang berbaur menampilkan aksi monolog, baca puisi dan juga diskusi.

Suasana akrab juga terasa tatkala penikmat sastra dari berbagai latar belakang mulai dari warga sekitar, mahasiswa sastra, bahkan turis mancanegara duduk bersila di atas tikar sembari wedangan menikmati menu angkringan.

Panggung sastra bernuansa etnik tradisional Jawa, berupa pendapa limasan yang berhias ornamen unik dan apik mencirikan Kotagede masa lalu. (*)