Ada Apa dengan Seragam?

Ada Apa dengan Seragam?

BEBERAPA waktu ini media ramai membincang soal SKB “seragam,” tapi penulis lebih tertarik berkisah “seragam,” yang lain. Pertanyaan mulanya adalah, sejak kita sekolah kita punya berapa potong pakaian seragam. Memasuki bangku kuliah rupanya kita terbebas dari urusan seragam, kecuali jaket almamater. Atau seragam panitia event-event tertentu. Sekarang, coba kita hitung kembali berapa tetumpukan seragam kita?

Pada area terdekat, kita bisa lihat kelompok Dasawisma, PKK, pengajian, arisan, sinoman, seragam atlet, dll, masing-masing punya seragam yang tak pernah sama dengan seragam yang pernah ada dan atau dipunyai kelompok lainnya. Bagi ASN, tentu memiliki aneka seragam: ada keki, lurik, batik, olah raga, bahkan hitam putih.

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata seragam adalah (pakaian) yang sama potongan dan warnanya. Contoh: baju seragam. Arti lainnya dari seragam adalah sama ragam (corak, bentuk, susunan). Pakaian seragam sudah menjadi bagian dari segala jenis pekerjaan. Hal inilah yang menjadikan ciri dan membedakan identitas antara satu, kelompok, profesi, usaha maupun korporat dengan perusahaan lainnya.

Jika di atas ada setumpuk seragam, sekarang seragam pun punya tetumpukan manfaat. Karena pertama, seragam itu sanggup menjadi identitas. Misalnya, PNS yang berseraham korpri, kheki atau lurik, batik maupun hitam putih bahkan memakai baju adat. Soal lurik, batik atau baju adat itu menjadi eksekusi atau praktik gerakan nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI) sesungguhnya di lapangan.

Selain itu, seperti perusahaan swalayan/mal yang mewajibkan karyawannya mengenakan seragam pada hari tertentu, atau kawan-kawan media pun punya seragam dalam mode resmi maupun casual, dll. Maka kemudian, bisa dipastikan kala sesorang mengenakan seragam korpri, sekurangnya dapat dipastikan ia seorang PNS.

Kedua, manakala kita mengenakan seragam, maka masyarakat atau pelanggan akan gampang mengenali kita. Itulah kemudian, seragam menjadi kebutuhan bagi institusi pemerintah maupun swasta yang wajib dikenakan. Anak-anak yang memakai seragam futsal, basket atau sepakbola akan dengan mudah dikenali masyarakat atas kelompoknya, basisnya.

Ketiga, tentu bisa menjadi tools untuk menebalkan motivasi kerja. Misalnya, saat pegawai rumah sakit  dalam bekerja mengenakan seragam sesuai harinya. Apalagi di dadanya bertuliskan sahabat menuju sehat, maka kemudian kita optimis para tenaga medis di sana punya tanggung jawab moral dan motivasi hingga semangat besar untuk tetap merawat integritas dan layanan yang cepat, mudah dan informatif. Menjadi catatan kita, jangan sampai gegara seragam malah membuat jarak antara yang melayani dan yang dilayani (pemerintah dan masyarakat).

Keempat, diakui atau tidak bakal membuat pegawai jauh lebih efektif. Tanpa harus berpikir mau pakai baju apa ke kantor, pegawai bisa lebih banyak menghemat waktu. Tanpa harus memilih corak dan warna tertentu. Inilah salah satu manfaat dari memakai baju seragam saat bekerja. Waktu dan tenaga lebih efisien karena mereka sudah tahu apa yang akan dikenakan ketika akan pergi bekerja. Terpenting tak lupa hari dan jadual seragamnya.

Kelima, dengan berseragam akan memberikan impresi profesional bagi masyarakat. Contoh seragam security, pegawai bank, PNS, perusahaan media, dll. Image yang diberikan positif sekaligus bisa menjadi bagian pemasaran dan membangun citra positif instansi bahkan perusahaan.

Selain itu, seragam harapannya mampu memproteksi pemakainya. Pemilihan baju seragam disesuaikan dengan lingkungan dan cuaca. Maka, seragam ini juga berfungsi dan bermanfaat sebagai pelindung tubuh. Maka sering kita mendengar istilah kemeja PSR, PDH dan kemeja PDL yang didesain khusus sesuai dengan tempat kerja.

Begitu juga, lewat pakaian seragam, yang pasti akan menyorongkan kebanggan tersendiri pada para karyawan. Dengan seragam yang bagus, dan unik rupanya, mampu memberi efek kebanggaan pada profesi, institusi dan tentu saja akan berimbas pada penaikan profesionalisme yang mengarah pada kinerja yang lebih baik dan menaikkan indeks kepuasan masyarakat. Karena sesungguhnya, untuk apa kita bekerja? Selain gaji, pengakuan, ada lagi, yakni kepuasan.

Etos dan Etik

Terakhir, suka tak suka, dengan berseragam, sekurangnya mampu menjadi barrier untuk melakukan sesuatu atau mendatangi tempat tertentu yang bagi khalayak dianggap kontra produktif. Dengan demikian, seragam telah menjadi bagian melempangkan jalan bagi kontingen kebaikan, meski kita akui masih saja ada di antara yang berseragam melakukan pengingkaran atas seragamnya.

Rerupa seragam di atas, rasanya semakin membuat dunia lebih berwarna dengan segala rupa kisah dan reputasinya. Demikian juga Indonesia dengan rerupa keberagaman nampaknya semakin membawa pelangi negeri ini bercahaya. Lalu, bisa saja seragam anak-anak kita “merah putih,” punya kisah spesial pula.

Profesi PNS atau komunitas apapun (mungkin) kita punya seragam yang sama, tapi barangkali kita memiliki kenangan berbeda. Seragam yang kita kenakan menunjukkan siapa kita, membukukan track record kita, yang acap distereotip (gebyah uyah). Maka sudah sepantasnyalah kita merawat “seragam,” dalam etos dan etik kita, karena di dalamnya tersematkan spirit, filosofi, budaya, ruh dan nilai yang abadi.

Stresing kita hari ini adalah bagaimana setiap anggota organisasi itu merasa memiliki (sense of belonging) atas etik dan etos yang disimbolkan pada seragam tadi. Keduanya mesti berjalin berkelindan. Etos tinggi tanpa etik akan menjadi tanpa arah, begitu pula etik bagus tanpa etos menjadi sosok beku dan mati. Pencapaian nilai–nilai tersebut hanya akan terealisasi manakala ada ikatan, kedekatan dan konfirmasi atas makna simbol akan seragam itu sendiri yang kemudian menjelma pada internalisasi dan aware. Jika sudah demikian, maka seragam kita akan jauh lebih bernyawa. **

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng