Pentas Seni di Tengah Pandemi

Pentas Seni di Tengah Pandemi

KORANBERNAS.ID, KLATEN – Pandemi Covid-19 tak pernah menyurutkan nyali anggota Sanggar Seni Bandung Bondowoso di Desa Gondangan, Kecamatan Jogonalan, Klaten, untuk unjuk kebolehan. Secara rutin mereka menggelar pentas wayang kulit setiap selapan (35 hari) yang jatuh pada malam minggu pon.

Pentas wayang kulit pakeliran padat itu sekaligus memberi kesempatan kepada para dalang muda untuk menunjukkan hasil proses belajarnya sekaligus mendapatkan pengalaman pentas di depan khalayak. Yang menarik, beaya pementasan wayang kulit bergilir untuk para dalang muda ini berasal dari saweran para pengurus sanggar maupun donatur.

“Targetnya adalah memberi kesempatan pentas bagi 10 dalang muda di sanggar ini secara bergiliran. Ini agenda satu tahun,” kata Sumarsono Purwoatmojo SSn, Ketua Sanggar Seni Bandung Bondowoso, saat ditemui koranbernas.id di sanggar, Sabtu (25/7/2020) malam.

Pentas kesenian yang menghadirkan banyak orang di tengah pandemi Covid-19 ini memang cukup berisiko. Namun, risiko itu mereka ambil demi memberi kesempatan anggota sanggar untuk menunjukkan hasil ketekunan bereka berlatih.

Tidak bermaksud jumawa. Karena itu, pentas wayang kulit malam itu tetap digelar dengan standar protokol kesehatan. Setiap orang yang datang ke sanggar, malam itu, wajib cuci tangan terlebih dahulu, mengenakan masker serta diukur suhu tubuhnya dengan thermo gun. Bahkan, penonton serta nayaga (penabuh gamelan) tetap mengenakan masker selama  pementasan.

Malam itu, pentas wayang kulit menampilkan dalang muda Angger Argo Sadewo (19) yang membawakan lakon Pandhu Swargo. Lakon ini mengisahkan perjuangan Bima yang rela menceburkan diri ke kawah Candradimuka demi membebaskan ayah dan ibunya, Pandhu Dewanata dan Dewi Madrim, dari siksa api neraka agar segera menikmati kebahagiaan abadi di surga.

Sosok dalang muda Angger Argo Sadewo ini cukup menarik. Lulusan SMK Jogonalan, Klaten jurusan Teknik Komputer Jaringan tahun 2018 ini tak ingin meneruskan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi dan memilih menekuni dunia pedalangan. Uniknya, ia belajar pedalangan dari Youtube. Tentu saja, ia juga ngangsu kawruh dari para dalang senior.

“Dari saluran Youtube saya belajar teknik sabetan dari dalang Ki Manteb Sudarsono dan Ki Bayu Aji,” kata Angger yang sejak lahir hingga lulus SMP tinggal di Bontang, Kalimantan Timur ini.

Sebagai dalang pemula, penampilan Angger Argo Sadewo malam itu cukup memukau. Hanya saja, ia masih terlihat sering menunduk untuk membaca panduan dialog di lembaran kertas maupun di perangkat handphonenya.

Ketergantungan dalang muda terhadap teknologi itu dikritik oleh DR Purwadi M.Hum, pakar budaya Jawa. “Dalang muda itu kudu gelem lara lapa,” katanya saat ditemui di sela pementasan. Artinya, para dalang muda harus berani bersusah payah untuk meningkatkan kemampuan dan tidak selalu menggantungkan pada kemajuan teknologi saat ini.

Menurut Purwadi, seorang dalang harus menguasai empat prinsip dasar. Yakni, tata wicara, tata gending, tata sabet dan tata sastra. “Tanpa menguasai prinsip dasar itu, akan terjadi degradasi estetika. Kebanyakan dalang masa kini runtuh karena jalan pintas akibat mengandalkan teknologi,” tegasnya.

Catatan penting dari pakar budaya Jawa itu tentu akan menjadi bekal bagi Angger Argo Sadewo. Dalang muda ini memang masih butuh jam terbang karena ia baru mengantongi empat kali pentas terbuka. Pentas pertama tahun 2017 pada acara bersih desa di kampungnya. Disusul pementasan kedua tahun 2019, juga masih di kampungnya pada acara satu Suro. Pentas ketiga dan keempat berlangsung di Sanggar Seni Bandung Bondowoso.

Sempat Bubar

Sanggar Seni Bandung Bondowoso mulai eksis pada tahun 1989, saat diberi kesempatan tampil pada pencanangan program B3B di kompleks Candi Prambanan. “Waktu itu gubernur Jawa Tengah masih dijabat pak Ismail,” kata Sumarsono yang juga dosen di ISI Surakarta ini. B3B adalah program bebas tiga buta, yakni buta aksara dasar, buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar.

Baru beberapa tahun eksis, Sanggar Seni Bandung Bondowoso sempat bubar karena persoalan internal kepengurusan. Tahun 1995 bangkit kembali diperkuat dengan pembentukan badan hukum. “Baru pada tahun 2000 mulai tertata. Kemudian tahun 2017 sanggar ini mendapat bantuan dari Kemendikbud sebesar Rp 95 juta,” kata Sumarsono.

Saat ini fasilitas yang dimiliki sanggar seni yang berada di tengah perkampungan penduduk itu cukup memadahi. Ada seperangkat gamelan perunggu, sound system serta halaman luas beratap seng yang menjadi arena gladi kesenian bagi anggota sangar maupun warga sekitarnya.

Kegiatan utama sangar seni ini adalah pada bidang karawitan. Pilihan ini bukan karena pimpinan sanggar adalah dosen karawitan di ISI Surakarta. “Karawitan itu embrio seni,” kata Sumarsono memberi alasan.

Itu sebabnya, Sangar Seni Bandung Bondowoso juga memberi peluang besar bagi seni ketoprak, pedalangan, mocopat, tarian dan dagelan, untuk ikut berkembang. Masing-masing kesenian itu diberi porsi yang sama untuk unjuk kebolehan secara periodik di sanggar ini.

“Konsentrasi saya saat ini adalah pembinaan pada anak-anak muda. Dengan demikian nantinya akan ada regenerasi sehingga tidak selalu didominasi kaum tua. Saya senang karena ternyata banyak anak muda yang tertarik dan tekun berlatih di sanggar ini,” kata Sumarsono.

Buktinya, malam itu juga ditampilkan pentas tari di tengah pementasan wayang. Mereka adalah anak-anak muda yang selama ini tekun berlatih tari di sanggar. Malam itu, anak-anak muda itu menunjukkan hasil ketekunan mereka berlatih di hadapan khalayak. (heru c nugroho)