Urgensi Budaya Sensor Mandiri

Urgensi Budaya Sensor Mandiri

TELEVISI sampai saat  ini dimanfaatkan sebagai media hiburan sekaligus sumber informasi oleh masyarakat. Televisi menjadi media hiburan yang murah, karena masyarakat dapat menyaksikan film, sinetron, pentas musik dan pentas seni lainnya. Televisi juga menjadi media sumber informasi melalui program-program berita yang disiarkan oleh berbagai stasiun televisi.

Saat ini, selain televisi tersedia media streaming seperti Youtube yang memungkinkan masyarakat memperoleh informasi dan hiburan. Akan tetapi media streaming belum  mampu menggantikan televisi . Dari data yang ditampilkan Global Web Index bahwa masyarakat Asia Tenggara rata-rata menonton televisi hampir dua jam dalam satu hari. Durasi itu lebih lama dibandingkan layanan streaming video yang ada di kisaran 1-1,5 jam per hari (Andrea Lidwina, 2021).

Televisi dan media streaming seperti Youtube merupakan salah satu media yang memberikan peluang akses semua kategori umur. Kondisi ini menyebabkan televisi dan media streaming bagaikan dua sisi mata uang, di satu sisi memberikan dampak positif namun juga dapat memberikan dampak negatif. Tayangan hiburan dan berita yang disajikan televisi dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat, karena mampu menjadi sarana hiburan dan media memperoleh informasi yang valid. Dampak negatif  yang mungkin diberikan televisi adalah peluang tayangan yang tidak layak ditonton oleh masyarakat berdasarkan kategori usia. Stasiun televisi di Indonesia memberikan peluang anak-anak menyaksikan film dan sinetron yang sebenarnya hanya layak disaksikan oleh orang dewasa. Padahal film atau sinetron tersebut terkadang mengandung unsur kekerasan, diskriminasi, SARA, pornografi  atau unsur lainnya yang tidak layak ditonton oleh anak-anak.

Film, sinetron atau tontonan lainnya yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak berarti telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Dalam pedoman yang dikeluarkan Komisi Penyiaran  tersebut, jelas tertera dalam pasal 14 Ayat 2 mengenai Perlindungan Anak yang berbunyi ‘‘Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.’’ Stasiun televisi yang melanggar pedoman tersebut seharusnya memperoleh peringkatan dari Komisi Penyiaran Indonesia.

Lembaga Sensor

Dalam Pasal 57 Ayat 1 Undang-Undang perfilman disebutkan bahwa “setiap film atau iklan film yang diedarkan dan atau dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor”. Surat tanda lulus sensor merupakan izin untuk sebuah film atau iklan dapat diedarkan dan dipertunjukkan. Lembaga yang bertugas dan berwenang untuk mengeluarkan surat tanda lulus sensor adalah Lembaga Sensor Film. Setiap film dan iklan akan diperiksa oleh Lembaga Sensor Film dan apabila memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan akan memperoleh surat tanda lulus sensor.

Lembaga sensor film memiliki tugas yang berat untuk melakukan sensor terhadap semua film dan iklan yang akan diedarkan atau dipertunjukkan di Indonesia. Eksistensi media streaming seperti Youtube juga menambah berat tugas lembaga ini. Youtube memungkinkan masyarakat mengunggah film atau konten lainnya  secara mandiri. Konsep tersebut memberikan peluang masyarakat langsung menontot film atau konten yang diunggah. Konten yang diunggah ke dalam Youtube tersebut tidak melalui proses sensor yang dilakukan oleh lembaga sersor film. Kondisi seperti ini akan memberikan peluang konten atau tontonan tersebut dilihat oleh semua anggota masyarakat tanpa ada batasan usia untuk mengakses. Youtube memberikan peluang kepada anak-anak menyaksikan tontonan atau konten yang tidak layak dikonsumsi anak-anak.

Untuk itu anak-anak dan masyarakat perlu diberikan kompetensi sensor mandiri. Kompetensi sensor mandiri merupakan kemampuan untuk memilah-milah film, iklan atau tontonan lainnya sesuai dengan usia. Jika dilihat dari usia masyarakat yang direkomendasikan untuk menyaksikan film, sebuah film dapat direkomendasikan untuk ditonton oleh semua umur, penonton usia minimal 13 tahun atau lebih, penonton usia 17 tahun atau lebih, dan penonton usia minimal 12 tahun.  Masyarakat dan anak-anak mulai diberikan pengetahuan bahwa informasi terkait usia yang direkomendasikan untuk menyaksikan sebuah film atau tontonan menjadi referensi utama dalam mengambil keputusan, apakah film layak atau tidak ditonton. Dari kompetensi secara individu ini, diharapkan akan berubah menjadi budaya sensor mandiri, sehingga masyarakat dapat dengan cerdas memilah-milah tontonan yang akan ditonton.

Lembaga Sensor Film dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk membangun kesadaran pentingnya budaya sensor mandiri. Lembaga Sensor Film dengan berbagai programnya perlu terus mensosialisasikan budaya sensor mandiri. Orang tua juga perlu mendampingi anak-anaknya ketika menyaksikan film dan memberikan pemahaman tentang film atau tontonan lainnya yang dirokemendasikan untuk ditonton berdasarkan kategori usia. Dengan kolaborasi ini maka masyarakat mampu secara mandiri memilih film secara mandiri dan mengambil nilai-nilai positif yang ada dalam sebuah film. **

Heri Abi Burachman Hakim, SIP, MIP.

Pranata Humas ISI Yogyakarta