Tren di Eropa Makan Pakai Piring Daun Jati

Tren di Eropa Makan Pakai Piring Daun Jati

KORANBERNAS.ID – Salah satu kearifan lokal masyarakat Indonesia terlebih lagi di Jawa yaitu makan menggunakan piring atau alas makan dari daun jati maupun daun pisang saat ini menjadi tren di sebagian kalangan masyarakat Eropa, Jepang dan sejumlah Negara lainnya.

Daun jati hanyalah satu dari beragam permintaan akan kebutuhan barang-barang ramah lingkungan dari Indonesia. Inilah peluang bagi para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk memasarkannya secara online, sebelum peluang itu hilang.

Hal itu terungkap pada Diskusi Publik Bakti Kominfo RI,  Selasa (12/11/2019), di Ballroom Hotel Pandanaran Prawirotaman Yogyakarta.

Seminar dalam rangka kerja sama kemitraan antara Dr H Sukamta dari Komisi I DPR RI dengan Bakti Kominfo RI bertema Pemanfaatan Teknologi Digital untuk meningkatkan SDM dan Wirausaha Unggul kali ini dihadiri tiga narasumber.

Mereka adalah anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PK Dr H Sukamta, Drs Gun Gun Siswadi selaku Tenaga Ahli Redesain USO serta Anom Adi Nugroho, seorang pengusaha muda online.

“Permintaan kebutuhan barang-barang ramah lingkungan di Eropa dan Jepang meningkat sangat tajam. Indonesia kaya potensi itu. Seperti piring dari daun. Tinggal bagaimana kita mengolah dan menemukan pasarnya,” ungkap Sukamta kepada wartawan.

Persoalannya, kata dia, pemerintah belum sepenuhnya mendorong pelibatan UMKM ke pasar digital. Masih terdapat sejumlah kendala di antaranya belum masifnya pelatihan dan pemberdayaan bagi UMKM agar bisa masuk pasar online.

Bagaimana pun, dunia digital saat ini merupakan kebutuhan. Faktanya, sejumlah UMKM yang dilatih pemasara digital mengalami kenaikan omzet sangat besar mencapai 100 persen sampai 200 persen dibanding tidak pakai digital. “Namanya juga usaha kecil menengah ya kasih kemudahan,” ujarnya.

Dia prihatin masih banyak UMKM belum terfasilitasi sarana pembayaran online sehingga kalah kompetisi dengan China. “China itu UMKM-nya mendapatkan subsidi dari pemerintah sehingga mereka bisa menjual barang secara online dengan harga murah bahkan hampir-hampir ongkos kirimnya gratis,” kata dia.

Sukamta. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Sebagai contoh, sama-sama beli barang yang satu ongkos kirimnya Rp 10 ribu sedangkan dari China ongkos kirim hanya Rp 1.500, sudah pasti pembeli memilih yang lebih murah meski barangnya ada di tempat yang jauh.

“Ongkos kirim barang dari China ke Yogyakarta sama dengan ongkos kirim barang dari Yogyakarta ke Solo. Biaya kirim dibebankan ke konsumen sehingga harga barang lebih mahal,” kata Sukamta.

UMKM di Indonesia harus menanggung ongkos bayar secara online lebih tinggi kadang-kadang mencapai 5 sampai 10 persen. Menyiasati itu, sejumlah pelaku UMKM kita berdagang secara online tetapi pembayarannya offline.

“Barang dikirim manual nanti dicek manual begitu sudah sampai baru dikirim. Itu yang menghambat sehingga kita kalah kompetitif dengan China,” tambahnya.

Menurut dia, inilah perang dagang yang sesungguhnya namun pemerintah kurang memperhatikan. “Saya katakan kepada pemerintah ini perang dagang sebetulnya. Kita itu kayak dilepaskan gitu lho. Bayarnya pakai sarana pembayaran online yang mahal. Pengiriman barangnya mahal. Sekarang tiket pesawat mahal sehingga mengirim barang lewat udara lebih mahal. Kan nggak lucu belinya online harus cepet-cepet barang sampai tapi bayarnya offline mengirimnya lebih lambat,” ucap dia.

Pemerintah semestinya serius menyikapi hambatan-hambatan seperti itu. Kalau perlu UMKM diberi kemudahan bertransaksi online, difasilitasi pengiriman, perizinannya dipermudah.

Lantas apa solusinya? Menurut dia, besar harapan pemerintah paling tidak menurunkan harga tiket pesawat atau beri harga khusus untuk pengiriman produk UMKM.

Anom Adi Nugroho. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Sependapat, Anom Adi Nugroho menyampaikan menghadapi persaingan dagang yang ketat ini pemerintah perlu memberikan fasilitasi digital marketing termasuk perizinan dan segala macamnya.

Sebagai pelaku usaha online dirinya memberikan masukan ke pemerintah supaya menggali potensi produk yang bersumber dari kearifan lokal di setiap daerah.

“Itu tadi saat diskusi saya sampaikan banyak hal agar pemerintah lebih kuat mendukung dan mengangkat kearifan lokal,” kata dia.

Anom sepakat untuk melawan arus kapitalisasi yang luar biasa, Indonesia harus bisa mengokohkan sense of belonging, mengangkat potensi yang dimilikinya ke pasar dunia. (sol)